Instagraming

101 MENJADI BAPAK MUDA : Menikah atau Tidak Menikah














Jadi laki-laki itu sulit, kalau gampang, sudah banyak wanita yang mau jadi lelaki
Sebagai laki-laki, hidup normal itu idaman. Kita sekolah, kuliah, punya teman, travelling, beberapa kali ganti pasangan, udah cukup. Hanya, kadang keluarga yang bikin susah hati dan jiwa. Tamat SMA misalnya, sudah ditanya “kapan lanjut kuliah? Kemana kuliah?”. Padahal bisa jadi kita mau rehat dulu sejenakkan.

Tuntutan bertubi-tubi menyerang kita. Anak lelaki harus pintar, harus merantau, harus bisa ini-itu, harus mandiri, dsb. “Tanggung jawab anak lelaki itu besar!”, kata orang-orang. Dia pemimpin keluarga, harus pandai membawa diri, berprestasi. Bosan pasti mendengar tuntutan-tuntutan itu. Tamat SMA anak lelaki biasanya masih diumur 18 tahun. Anak remaja yang masih sangat belia. Yang isi kepalanya mayoritas ya untuk senang-senang saja.

Ada anak lelaki SMA yang SMA nya tidak bahagia, di-bully terus misalnya, tapi dia tetap remaja. Dia akan lebih suka yang senang-senang dan santai-santai saja. Hidup masih panjang, kenapa harus disegerakan pula mencapai apa-apa yang diinginkan orang-orang disekitarnya. 

Kemudian kuliah, beberapa anak lelaki mulai dibebaskan hidupnya. Beberapa anak lelaki masa kuliah ini masa merantau mereka pertama kali. Ada yang mulai belajar bisnis, organisasi, sosial, atau bahkan pacaran. Hidup mulai terasa menyenangkan pada ini masa. Usia masih muda, energi masih purna, nafsu lagi diubun-ubunnya, semangat pun menggelora. Beberapa muda ini ujungnya, ada yang liar hidupnya, ada yang terkontrol hebat dunianya, ada yang penuh perjuangan jalannya, ada juga yang setiap detiknya berharga karena penuh cinta dan tipu daya.

Namun, anak lelaki itu masih muda. Tetap muda. Tamat kuliah paling tua dua puluh lima. Paling muda kira-kira dua puluh dua. Tuntutan setelah kuliah adalah “kerja dimana”. Ada anak lelaki yang sudah punya kerja bagus, gaji ok, tapi karena orang tuanya ingin anak tersebut kerja di perusahaan x, semua capaian hebat anak lelaki itu seperti tak diakuinya.

Ada juga loh anak lelaki yang ingin istirahat dulu. Lelah belajar terus, ingin mengembara, ciut hatinya. Eh, oleh tetangga dicemooh, disangka pengangguran karena tak punya daya dan usaha. Kuliah pasti hanya main-main saja. Wong, kerjanya Cuma jalan-jalan saja. Akhirnya anak lelaki itu pun kerja. Yang sudah kerja tapi belum disukai keluarga, pindah kerja. Yang belum kerja karena belum mau kerja, akhirnya nyari kerja. 

Setelah mulai bekerja, baru juga satu tahun atau dua-tiga. Pertanyaan setiap kumpul keluarga berikutnya adalah “Kapan kenalian pacarnya? Kapan nikah?”. Kalau untuk sekolah, belajar, kuliah, organisasi, pasangan monyet bercinta, sepertinya sah-sah saja untuk diikuti. Kalau untuk menikah?

Oke, kita sepakati dahulu bahwa menikah itu panggilan, bukan perlombaan. Seseorang tidak bisa dinilai telah mencapai hasil terbaik karena duluan menikah ataupun belakangan menikah, melainkan saat meninggal ia masih didalam pernikahan yang sama dan ia bahagia.

Itu tidak bisa kita bandingkan dengan dapat juara dikelas, banyaknya kegiatan sosial yang sudah dilakukan, banyaknya pacaran monyet yang terlaksana, atau bahkan pekerjaan yang dengan gaji-gajinya. 

Menikah itu tidak gampang. It is a big deal. Kamu harus siap paripurna. Hati, mental, fisik, dan kemerdekaan. Bagi lelaki, satu langkah ia bersetuju untuk menikah artinya satu langkah ia akan mengikatkan dirinya pada pasangannya selamanya. Maka dari itu, menikah itu tidak segampang membuat quote-quote indah. Melakukannya satu atau dua jam saja, sekali, tapi perjalanan yang akan dihadapi itu selama-lamanya. 

Kita tidak bisa menikah dengan alasan “itu orang agamanya bagus ya, aku mau menikahinya”. Ukuran agama bagus itu hanya dinilai dari yang terlihat saja. Betapa banyak orang-orang yang mengaku taat agama, tapi istri dan anaknya tersiksa dengan kekerasaan rumah tangga. 

Kita tidak menikahi agamanya, tapi manusianya. Jika agama terlihatnya memperbaiki sikapnya, itu kebaikan baginya. Jika agama terlihatnya tidak mempengaruhi kebaikan sikapnya, tentu, ada banyak orang lain yang lebih elok sikapnya yang layak kita berikan hati kita kepadanya. Ukuran agama yang terlihat itu bukan memoles baiknya seseorang untuk dinikahi, melainkan kewajiban yang harus dipenuhi sebelum diseleksi lagi.

Ingat betul kita, menikah itu pilihan. Pilihan itu bisa iya bisa tidak. Tidak ada setengah-setengah. Setengah menikah, setengah single. Tidak ada. Yang namanya pilihan tentu adalah hasil dari alternatif kejadian yang ada. 

Alternatif pertama, status quo, tidak menikah, tetap single seperti awalnya. Hidup kita dalam waktu dekat tidak akan ada perubahan. Tidak ada orang baru disebelah kasur tiap pagi. Tidak ada komitmen yang harus kita buat-buat agar bisa menyenangkan seseorang. Tidak ada perubahan yang berarti. Hanya, hidup ini dinamis. Kita bisa bahagia. Tapi sesuai dengan teori penurunan kebermanfaatan. Semakin lama kita menikmati hal yang sama, kenikmatannya tidak akan sama. Cepat atau lambat, kita akan bosan tetap sendiri. Cepat atau lambat, kita akan muak dengan hidup yang sendiri melakukan segalanya. Manusia suka mencoba hal-hal baru dalam hidupnya.

Cepat atau lambat, kita pasti akan memikirkan untuk menikah.

Alternatif kedua, menikah. Perlu kita camkan, menikah itu bukan demi orang lain. Bukan demi orang tua, bukan demi keluarga, bukan demi pak dosen, atasan atau bahkan mantan kekasih yang meninggalkan kita. Menikah itu harusnya karena diri kita sendiri. Patokan pernikahannya pun adalah kita sendiri. Kita tidak bisa mencontoh keluarga selebritis kedalam urusan pribadi kita loh. Menikah adalah urusan pribadi. Urusan yang harus kita set standard nya sendiri, versi kita sendiri dan dengan cara kita sendiri.

Meski ada rambu-rambu yang bisa kita jadikan patokan untuk menikah itu. Semisal memilih pasangan. Ada 4 hal yang bisa anak lelaki perhatikan betul sebelum memutuskan siapa yang berhasil lolos seleksi ke tahap akhir sebagai calon istri. 

Pertama, wajah dan fisiknya. Kita manusia. Punya nafsu ya. Wajah dan fisik penting. Yang baik wajah dan fisiknya, setidaknya memberikan sejuk untuk melihatnya dari segi fisik saja.  Kedua, hartanya. Bilamana calon pasangan kita ini mandiri, punya harta sendiri, setidaknya keluarga yang kita bangun lebih kuat pondasinya. Ketiga, keturunannya. Calon pasangan cari yang sehat dan mampu memberikan keturunan. Selain itu, ia lebih baik berasal dari keluarga yang baik dan sehat pula. Keempat, sikap dan agamanya. Ini yang menyelimuti semua hal tadi. Selama kita menikahi karena pertimbangan sikap dan agamanya, kita akan baik-baiknya. 

Wajah itu bisa bikin bosan kalau kita perhatikan lama-lama. Harta bisa habis dan tak kekal keberadaannya, jadi pemicu pertengkaran dirumah tangga pula. Keturunan yang tidak didapat bisa diakali dengan adopsi anak untuk keluarga. Sedangkan sikap dan agama, itu yang buat kita nyaman untuk selalu berada disekitarnya.

Toh, kita ingin seseorang disamping kita karena kita nyaman dengan sikapnya kan, bukan karena wajahnya ataupun hartanya. Miliki 2 dari 4, pernikahanmu punya 100:100 hasil baiknya. Karena pernikahan itu 100:100, bukan 50:50. Tidak ada kemungkinan dalam pernikahan, yang memungkinkan itu perceraian. Bisa terjadi bisa tidak. Pernikahan bila sudah terjadi, kita harus bisa bahagia atas pilihan kita tersebut, yaitu pernikahan kita.

Dari semua cara memilih tadi itu, yang paling penting yang harus kita ketahui adalah bahwa yang terbaik bukanlah yang datang dengan segala kelebihannya. Melainkan, yang tetap bertahan dengan segala kekurangan kita.

Kewajiban memperbaiki diri, menjadi lebih baik, adalah kewajiban kita. Bukan pasangan. Kita yang harus menjadi lebih baik untuk diri kita sendiri. Kita tidak bisa menuntut pasangan kita harus jadi A karena kita B. Kita yang harus baik, sehingga pasangan mendapatkan manfaat dari kebaikan sikap kita.

Jadi, menikah itu beratkan? Pertama kita harus tahu motivasi kita, lalu tentukan pilihan kita, lalu pertanyakan betul apakah kita benar-benar sudah mampu melakukannya. Jadi untuk menjawab pertanyaan “kapan nikah”, kita tidak bisa benar-benar segera melakukannya. Sebaiknya juga, jangan diburu-buru ditanya pada anak lelaki kita. Iya kalau sudah matang dipertimbangkan, menikahlah ia. Kalau belum? Dia pasti sedang mengambil suatu keputusan yang tersulit dalam hidupnya. Jika itu sulit, ia salah mengambil keputusan. Siapa yang akan bertanggung jawab atas hal tersebut?

Memang benar, hidup ini bukan soal bagaimana mengambil keputusan yang benar saja, melainkan juga tentang bagaimana bersikap jika kita mengambil keputusan yang salah. Hanya, jika kita bisa pertimbangkan betul keputusan kita dengan matang dan baik untuk mengurangi kemungkinan salah, kenapa harus digesa dengan pertimbangan yang tidak purna?

Ambil waktu sebanyak-banyaknya untuk mempertimbangkan untuk menikah atau tidak. Jika sudah yakin akan menikah, pilih dengan pertimbangan terbaik pasangan yang akan dinikahi. Cinta saja tidak cukup. Memang tidak ada kebahagiaan yang lebih purna daripada dua pasangan yang saling mencintai dan saling menikahi. Tapi terkadang, cinta dan menikah bukan satu paket yang harus ada dalam suatu hubungan nyata.

Menikah itu pilihan, cinta itu nasib. Kita bisa memilih orang yang akan kita nikahi, tapi hati kita tak bisa memilih kemana ia melabuhkan cinta ini. Karena hati itu dipilih, bukan memilih. Kita bisa menikahi siapa saja, tapi kita takkan mampu rencanakan siapa yang kita cinta. 

Suatu ungkapan manis dari Prof. Dr. Quraish Shihab tentang cinta setelah menikah, “Tidak ada istilah jatuh cinta, karena jatuh itu tidak disengaja. Sedangkan cinta harus diusahakan untuknya”. Cinta karena menikah bisa kita asosiasikan kepada pernikahan. Pernikahan itu tidak dilakukan dengan “tidak disengaja”. Itu disengaja dan diusahakan bersama. Memilih termasuk salah satu usaha untuk mempertahankannya.

Setelah memilih, kita harus pastikan pilihan kita itu akan membawa kita pada bahagia. Setelah menikah, pernikahan kita itu haruslah menjadi cinta. Ia adalah misaqan ghalidzan (ikatan yang kuat). Kuatnya karena cinta. Cinta itu indah. Jika pernikahan kita tidak indah, mungkin, mungkin saja, kita telah salah dalam memilihnya.

Jika kita merasa kita telah salah, hormati keputusan yang kita buat sebelumnya. Usahakan untuk pertahankan dengan tanpa mengorbankan kebahagiaan yang kita inginkan. Kita makhluk hidup yang berhak bahagia. Hubungan yang tidak membawa pada bahagia, bukan hubungan yang sehat untuk kita. Kita patut mengubah arah hubungan kita. Kita harus coba pendekatan berbeda agar bisa membuat hubungan tersebut berhasil. Lakukan percobaan dari segala arah. Anggap itu adalah kompensasi dari kesalahan dalam pengambilan keputusan saat kita masih single dahulu kala. 

Ketika hati sudah lelah, usaha sudah purna, hubungan juga tidak membaik sebagaimana harapan kita, kuatkan hati untuk bahagia. Ambil keputusan “bahagia” diatas segalanya. Hidup cuma sekali, kenapa harus sengsara?

Komentar

Postingan Populer