Instagraming

Disaat Suratmu menamparku, Part 2 [Sudut Pandang Annisa] [by. Riyan Al Fajri]


“kenapa engkau termenung, ukhti?”, sapa Ike merusak lamunanku.
“tidak ada ukhti.”, jawabku singkat.
“ukhti, jika ada batu yang memberatkan engkau, mari kita pikul bersama. Janganlah engkau pendam sendiri. “, mata Ike bercahaya seperti menghipnotis ku.
“ukhti, aku masih memikirkan surat balasanku kepada ihsan. Seperti ada penyesalan dalam hati ini.”
“kenapa ukhti berpikir seperti itu?”, tukas Ike
“Ihsan selalu hadir dalam lamunanku akhir-akhir ini, ukhti. Hatiku seperti berkata, “kenapa kau tolak ia?”. Hati seperti tidak terima ukhti. Terus saja aku memikirkannya.”
“ukhti, jangan-jangan ukhti telah jatuh cinta padanya.”, Ike mencoba menerka apa yang kurasa.

                Cinta. Baru kali ini tubuh terasa dingin mencekik. Bulu roma ku berpacu tegak. Sel syarafku seperti terhempas-hempas dalam jalurnya. Belum lagi terasa alveolusku mengembang kempis laju tak karuan. Tidak. Tubuhku lusuh. Lemah. Sentruman listrik seperti berkonduksasi dalam aliran darahku. Apa ini? Rasa ini begitu berbeda.
                Tidak. Aku ingin mengingkari kata itu. Aku ingin menghindari kata itu. Cinta. Ya Cinta. Aku belum sanggup untuk memberikan itu kepada ikhwan manapun. Tidak mungkin aku telah jatuh cinta. Letih aku menjaga hatiku. Letih aku manata hatiku. Bukan ini yang aku harapkan dari usahaku. Tidak.
                “Siapa yang bisa mendustakan cinta?”, begitulah pertanyaan dari para pujangga-pujangga besar. Bahkan tak ada satupun akhwat yang tidak bermimpi akan jatuh cinta. Aku juga. Aku juga memimpikannya. Tapi apa itu cinta? Kenapa harus hadir sekarang? Tidak. Aku belum siap.  Tapi bukankah biasa wanita jatuh cinta? Buktinya saja Siti Khadijah jatuh cinta pada rasulullah. Aisyah juga. Hafsah juga. Lalu kenapa aku ragu? Kenapa aku benci untuk jatuh cinta?
                Banyak kuperhatikan ikhwan yang insya allah baik agamanya. Atau setidaknya itulah yang aku pikir pada awalnya. Aku kecewa dari jumlah mereka yang ku kagumi itu, banyak yang gugur satu persatu.
                “jika ini bukan suatu yang lancang, ukhti. Aku ingin melamarmu. Wajahmu meneduhkanku. Seringaimu menentramkan bathinku. Suaramu menginspirasikan jiwaku. Ukhti, maukah ukhti memberikan izin padaku”
                Begitu salah satu dari mereka menawariku suatu hubungan sakral. Setiap akhwat bermimpi untuk menikah. Tentu aku jua. Tapi bukan itu masalahnya. Aku akhwat. Aku ingin menjadi istri seorang Ikhwan seperti Umar bin Abdul Aziz. Ia sempurna. Tidak. Terlalu jauh impianku. Aku mengada-ada. Bagaimana mungkin aku bisa bersuamikan ikhwan sehebat itu sedangkan aku hanya lah akhwat yang belum sempurna imannya. Mungkin itu sebab aku belum bertemu dengan ikhwan itu. Mungkin karena ada yang salah pada diriku. Imanku. Amalku. Pasti ada yang salah. Tapi dimana?
                Bingung aku menjawab semua pertanyaan itu. Galau. Kuintip cermin depan mejaku. Cantik. Ya cantik sekali parasku. Tapi paras inilah yang melumpuhkan Ikhwan yang luarbiasa menurutku pada awalnya. Aku bersyukur diberikan paras yang baik. Tapi aku merasa iri. Iri dengan sahabat-sahabatku. Paras tidak menjadikan mereka burung perkutut. Mereka terbang bebas dalam kasih sayang Allah. Lihat saja, Ike, diumurnya yang ke 19 tahun ini, ia telah dilamar oleh beberapa ikhwan shaleh yang masih menimba ilmu di Kairo. Tentu hanya dengan title “Shalehah” yang disandangnya. Aku iri padanya. Untuk paras, ia tergolong yang biasa saja. Tapi hatinya begitu indah. Tiap sepertiga malam, waktunya hanyalah untuk Rabb nya. Air matanya hanya untuk aduannya pada sang maha kuasa. Ia luar biasa. Aku iri.
***
                “Ada yang lain dari Ihsan akhir-akhir ini. Ia tak banyak bicara. Ada apa dengannya? Kenapa ia lebih sering diam?”, pikirku dalam hati. Lah, Kenapa aku malah memikirkannya. Wajar. kan dia adalah saudaraku sesama muslim. Wajar aku berpikir tentangnya. Tapi kenapa aku tidak menganggapnya biasa seperti ikhwan yang pernah mengajakku ta’aruf? Kenapa?
                “Ukhti, kenapa kamu melamun?”,suara ukhti Erna memecah lamunanku. Mataku bingung. Akalku tertidur. bibirku berpikir. Hatiku berkata, “ukhti, aku butuh bantuan”. Tidak. Aku tidak bisa mengutarakan ini di majelis ini.  Aku malu semua orang tahu apa yang aku rasakan.
                Akhirnya liqo pada hati itu berakhir. Gusar hatiku belum berubah.
“Ukhti, bisa kita bicara sebentar?”, ukhti Erna memanggilku. Aku takut ia bertanya perihal lamunanku tadi. Aku ingin sharing, tapi aku belum siap.
“Ukhti, diantara peserta liqo ini, ukhti adalah sosok akhwat yang sangat diperhatikan oleh ikhwan dari kelompok liqo yang lain. Saya senang akan hal itu ukhti. Saya juga mendengar, banyak yang telah melamar ukhti. Dan hampir sebagian besarnya ukhti tolak. Kalau ukhti tidak keberatan, saya bersedia menjadi murobiyah ukhti. Insya allah ukhti akan saya perkenalkan dengan ikhwan yang insya allah ikhwan yang shaleh.”, ukhti Erna menawarkan diri.
Tidak. apa yang harus kujawab? Baru saja bathinku berperang untuk menjaga hati dari ikhwan yang pernah melamarku. Tapi kini ukhti Erna menawarkan diri untuk mencarikan pasangan yang cocok bagiku.
“ihsan....”, spontan bibirku berucap nama seorang ikhwan.
“maaf ukhti.”, respon Ukhti Erna penasaran.
“ukhti sudah punya calon?”, sambungnya.
“eh, tidak ukhti.”
“lalu?”
“itu nama seorang ikhwan yang pernah melamar saya ukhti. Dan saya menolaknya”
“kenapa ukhti mengatakan namanya? Ukhti jatuh cinta padanya ya.”
“ah, sulit saya menjawabnya ukhti. Saya tidak tahu jenis rasa yang saya rasakan. Takut. Galau. Bimbang. Bingung. Sensasi nya begitu berbeda ukhti.”
Tiba-tiba sms masuk ke HP ukhti Erna. Ia tersenyum. Aku dihadapannya. Membatu. Tak bersuara.
“Ukhti, Ihsan yang ukhti sebutkan tadi adalah akhi Ihsanul Hakim? Ketua Dakwah Islam Remaja kampus ini ukhti?”
“iya ukhti”, bibirku terpacu menjawabnya
“Alhamdulillah. Saya baru dapat kabar gembira. Akhi Ihsan terpilih untuk Study Dakwah Bersama di Kairo untuk 1 bulan, ukhti.”
Ihsan pergi? Begitu Tanya hatiku terkejut. Aku sedih. Tidak. aku bahagia. Aku bisa menenangkan hatiku disaat ia tak ada dikelembagaan kampus. Tapi apa ini? Kenapa aku berpikir seperti ini. Hatiku benar meracau. Meracau tak karuan. Ingin ku berteriak keras. Tidak. aku tidak akan melakukan perbuatan memalukan itu. Jadi apa ekspresiku. Aku bingung. Dia. Dia telah menjadikan aku beda. Aku harus menjaga hati lagi.
“Tentu ia akan pergi lama”, hatiku bertanya. Lagi. Lamunanku terganggu lagi. Tapi kini berbeda. Aku tersenyum ketika ingat namanya. Aku bahagia. Allah lindungi aku.
***
                Iseng kuperhatikan secarik kertas untuk kutulis. Pensilku mulai dengan startnya. Kata awal yang sempat membekukanku karena sebuah nama. Cinta.

Cinta. Aku telah terbenam dalam cinta. Kata mereka.
Apa itu cinta?
Akalku malu ketika disuruh untuk mendefenisikan cinta
Lidahku kering ketika bicara cinta.
Cinta.
Banyak pujangga yang mendefenisikan cinta.
Tapi cinta punya banyak defenisi.
Seperti angka dibagi nol.
Hasilnya tak terdefenisi.
Mulai aku mencoba melukiskan apa itu cinta
Mungkin akan membantuku memahami cinta
Gambar pertama ternyata tulisan Allah, Kemudian Muhammad.
Gambar berikutnya adalah putih.
Putih.
Pensilku berhenti ketika ingin menambahkan yang lain
Seperti supernova,diawal kuat, akhirnya hilang.
Diawal kuyakin akan tergambar, tapi akhirnya hanya Allah dan Muhammad-lah hasilnya
Apa itu cinta?
Hatiku masih bertanya
               
                “Apapun yang engkau rasa akan cinta. Cukup Allah dan Rasul nya menjadi pembatas dalam cintamu. Sungguh, cintamu akan indah sepanjang masa. Jika engkau melangkauinya, sungguh Allah dan Rasulnya tidak pernah merugi.”, tiba-tiba sms ini masuk ke HP ku. Siapa pengirimnya? Setelah kugerakkan kursor HP ku. Terpampanglah nama seorang ikhwan, Ihsanul Hakim_sahabatmu. “Do’akan aku pergi dan kembali tetap dalam rahmat Allah, teman-teman”
                Bibirku pun hanya bisa berucap, “Ya Allah, berikanlah ia pasangan yang terbaik menurut engkau. Lindungilah ia. Dan sayangilah ia ya Rabb. Tidak ada lagi beban dihati ini selain kebahagiaan melihatnya pergi dan berjuang dalam dakwah Allah dan rasulnya.” “Inikah yang dinamakan cinta, ya Rabb?”, tanyaku menyelidik dalam hatiku.

Komentar

Postingan Populer