Instagraming

Selubung Iman dalam Pilihan (Saat Suratmu menamparku Part 3 [sudut pandang Ihsan]) [Riyan Al Fajri]


                “Ihsan, kamu pulang ya minggu ini. Abah ingin memberitahumu sesuatu.”, kata abah dalam telepon beberapa menit yang lalu. Akalku bermain dalam khayalku.  “Apa  yang ingin diberitahukan abah kepadaku?”, begitu akal menginterogasiku. Suara abah seperti menyiratkan keseriusan. Adakah suatu hal yang penting? Ah, tentu. Tentu penting. Jika tidak, mana mungkin abah menelponku dan memintaku pulang. Apa abah akan meninggal? Tidak. jahat sekali pikiranku. Aneh lagi. Lalu apa? Apa abah sakit? Aku tenggelam dalam pertanyaan kosongku.
                4 jam perjalanan. Jakarta-pekanbaru-kampung deling. Akhirnya aku sampai di sini. Apa ekspresiku ya? senang? Tentu aku senang. Tapi, aku masih ingat ucapan abah. Apa ku tunda dulu kesenanganku? Tidak. Aku tetap senang disini karena aku akan bertemu abah dan ummi. Aku rindu mereka. Sudah 3 bulan aku tak bertemu mereka sejak mereka mengunjungiku di Jakarta.
                “Assalamu’alaikum”, sapaku diluar pagar.
                “Mas Ihsan pulang! Mas Ihsan udah pulang!”, teriakan bergema dari adik-adikku yang ada di rumah. ”Wah heboh sekali”, pikirku. Ada apa ini? Tidak sepertinya biasanya.
                Baru saja aku menginjakkan kaki melewati pagar. Anna, anak ke 4 dari abah dan ummi, langsung menciumi tanganku, mengucapkan salam, dan bertanya kabar. Hm, Wajar. Aku kan anak ke 2 dan sudah lama tidak di rumah. Wajar dia seperti itu. Itu adalah sikap sopan santun dari seorang adik.
                “Anakku sayang sudah pulang.”, ummi berbicara didepan pintu rumah.
                Aku berlari dan mencium tangan ummi. Ummi menangis bahagia. Aku saksikan itu. Kulihat air matanya menetes perlahan. Senyumannya pun lebar. Diciumnya keningku. Lalu dikibasnya rambutku. Persis seperti aku berumur 7 tahun. Tak lupa abah juga. Kusalami ia.
                “Nah, nak. Sekarang kamu mandi dan istirahat dulu. Nanti malam kita akan mendiskusikan sesuatu.”, abah berucap sambil tersenyum. Aku melihat aura kebahagiaan dari dirinya.
***
                Alhamdulillah. Itu saja yang bisa kuucapkan kali ini. Aku disini. aku sudah bertemu abah dan ummi. Dan dari apa yang akal pertanyakan kepadaku ternyata tidak ada yang tepat. Tapi apa ya yang ingin diberitahukan abah? Apakah ini masalah bisnis abah di Mesir dan Suriah? Ku dengar dari ummi 3 bulan lalu, bisnis abah telah berkembang pesat di sana. Kalau disuruh abah mengurus bisnis nya itu, aku tak akan menolak. Apalagi sekarang aku tinggal menyelesaikan skripsi saja. Tidak susah bagiku untuk membagi waktu.
                “Anakku, kamu tahu kenapa abah panggil kamu pulang?”
                “Tidak, abah.”
                “Menurutmu kenapa?”
                “Abah dan ummi rindu kepadaku. Dan ingin berjumpa denganku.”
                “Itu tentu. Kamu tidak perlu mempermasalahkan itu.”
“Masalah bisnis di Mesir ya bah?”
“Wah, kamu ini semangat sekali ke arah sana. Tenang, sekarang kamu kuliah dulu. Lagiankan kamu calon dokter. Jangan pikirkan bisnis abah dulu.”
“Lalu kenapa donk bah?”
“Begini , San. Sebenarnya abah memanggilmu pulang untuk memperkenalkanmu pada calon istrimu. Abah dan ummi telah melamarkannya untukmu. Dan Alhamdulillah ia menerimamu.”
                Big bang. Ledakan big bang seperti terjadi dalam hatiku. Aku merasa hancur seperti kepingan-kepingan planet yang tersebar di cakrawala. Lagi, kebisuanku meratapi hatiku. Memeluk erat tali-tali emas pikiran-pikiran modern dan kerjaku sebagai aktifis dakwah kampus. Aku aktifis dakwah dan aku telah ditunangkan oleh abahku tanpa pengetahuanku. Tidak. Aku menolak. Tapi kenapa aku menolak? Bukankah bagus untukku. Itu akan menjaga hatiku. Tapi bagaimana dengan cintaku? Ah, cinta lagi. Syaithan sangat menguasaiku saat ini. Annisa. Tak ada yang terpikir olehku selain nama itu. Kenapa aku memikirkannya? Ia bahkan telah menolakku. “Rabb, apa yang harus kulakukan?”, begitu kata hatiku merintih. Aku ingin berkata tidak. Tapi apakah aku memiliki cukup keberanian mengatakan itu pada abah? Tidak. Abah seperti bahagia mengatakan kabar ini. Tidak mungkin aku merusak senyuman itu.
                “Jika abah telah menyetujuinya, aku akan menuruti itu”, tuturku penuh hormat.
                Tidak. kata munafik ini akhirnya ku ucapkan. Aku hina. Bahkan kepada Abah aku tidak berani jujur. Harus kupertanyakan title aktifis dakwah dalam diriku. “Abah, beri aku kebebasan untuk memilih istri.”, pekikku dihati. Ingin ku ekspresikan kesedihanku. Tapi bukan kesedihan. Tapi senyuman manis yang kuberikan pada abah dan ummi. Ya Allah, aku begitu hina. Bermuka dua.
                “Dia anak pertama Kiyai Hassan, Pimpinan Pondok Pesanteran KH.Ahmad Dahlan. Insya allah, wanita yang kami pilihkan ini shalehah. Dan ia juga kuliah di Jakarta. Sama sepertimu. Persiapkan dirimu karena kita akan bersilaturrahim dengan keluarga mereka malam besok”, ujar ayah berikutnya.
***
                “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh”, abah memanggil seseorang dari sebuah rumah besar di sudut pondok pesantren ini.
                “Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, ya Khairul Mukhlis.”, balas Kiyai Hassan.
                “Silahkan duduk”
                “Bagaimana bisnis di Mesir?”
                “Alhamdulillah. Lebih lancar. Itu juga atas bantuan antum yang mengenalkan ana pada perusahaan partner disana.”
                “Ah, itu biasa. Itu guna teman bukan?”
                “Tentu. Hassan, antum pernah menanyakan seperti apa anak ana kan? Ini anak ana. Ihsanul Hakim. Insya allah shaleh dan sekarang kuliah di UI di pendidikan dokternya.”
                “Subhanallah, Rul. Tidak hanya shaleh, tapi juga tampan. Alhamdulillah. Semoga ia menjadi dokter yang shaleh. Karena kita butuh mereka. Betul kan nak?” sapa Kiyai Hassan kepadaku.
                “Iya, Kiyai”, ujarku.
                “Jangan panggil kiyai. Panggil saja bapak. Kan insya allah kamu akan menjadi menantu saya.” Sambut Kiyai Hassan.
                “Amin ya Allah.”, responku.
                Lama kami berbicara. Pada akhirnya Kiyai Hassan dan abah sepakat untuk mengenalkan aku dengan anaknya kiyai.
                “Raudah, panggil anak kita!”, kiyai memanggil istrinya yang sedang sibuk berbicara dengan ummi di dapur.
                Dari bilik rumah terlihatlah beberapa wanita muncul perlahan. Mataku binar. Ragaku berguncang. Seperti berada disebuah taman bunga edellweis. Keindahan terasa abadi. Muncul Annisa dan Eki bersama dengan pakaian yang indah. Mereka begitu indah. Tidak. Annisa lebih indah. Detak jantungku seperti irama music underground. Tak karuan. Ternyata wanita itu Annisa. Pikirku pendek. Senangnya diriku.
                “Ini anakku yang akan kamu nikahi, Jamilatun Nisa.” Ujar kiyai.
                Jamilatun Nisa? Siapa? Annisa? Tidak. itu bukan nama annisa. Annisa bernama Annisa Widyasari. Lalu siapa? Eki? Tidak. tidak ada kata Jamilatun Nisa yang berhubungan dengan Eki.
                “Maaf, Kiyai. Siapa tadi?”
                “Jamilatun Nisa.”
                “Assalamualaikum. Perkenalkan saya Jamilatun Nisa. Atau biasa dipanggil Eki. Itu nama pena saya mas. Karena itu teman-teman memanggil saya Eki”, Eki memotong pembicaraan.
                Mataku sayu. Ternyata bukan Annisa. Tidak kusangka. Aku ingin berlari dan berlari meninggalkan ruangan ini. Tak sanggup aku melewati sensasi ini. Aku seperti ingin menangis. Tidak. aku lelaki. Aku tidak boleh dan tidak akan menangisi nasib anehku ini. Mungkin Eki lebih baik untukku. Tapi kenapa Eki? Dia itu dekat dengan Annisa. Menjadi suami Eki sama dengan mendekatkan diri dengan Annisa. Ini akan membuatku makin mencintainya. Tidak. Itu hanya tipu daya syaitan kepadaku. Aku kuat. Jika Eki yang terbaik untukku, maka ialah yang terbaik dan tentu bukan Annisa.
***
                Sudah hampir 1 jam kami berada di rumah Kiyai Hassan. Ya tentu pak kiyai bertanya banyak hal kepadaku. Wajar ia berbuat seperti itu. Ia ingin anaknya mendapatkan pasangan terbaik. Dan sekali-kali pembicaraanpun melenceng ke bisnis ayah dan kondisi pesantren. Memang kedua orang tua ini terlihat kompak. Pembicaraan mereka seperti tidak akan habis. Mungkin karena faktor satu almamater di Mesir beberapa puluh tahun yang lalu.
                Bosan kuberada diantara mereka, kumeminta izin untuk memisahkan diri. Kulangkahkan kakiku ke balkon rumah. Kuperhatikan seorang wanita sedang berada disana. Siapa dia?
                “Assalamualaikum, ukhti.”
                “Alaikumussalam, Akhi.”
                Annisa. Ya dia Annisa. Kulihat butiran air mata di bola matanya. Ada apa dengannya? Apa ia menangis? Jika ia kenapa ia menangis?
                “Ada apa ukhti?”
                “Tidak ada apa-apa.”
                “Kamu tahu tidak jika seseorang berbicara bohong itu termasuk ciri orang munafik? Nah, ukhti. Jika ukhti tidak mau memberi tahu saya tentang apa yang terjadi, ku mohon janganlah berbohong.”
                Dengan rasa kaku aku pergi.
                “Maaf Akhi.”, sapa Annisa memberhentikan langkahku.
                “Aku tidak bermaksud membohongimu, tapi ini adalah sesuatu yang tak seharusnya engkau ketahui.”, jelasnya data.
                “Yang sesuatu itu berhubungan dengan CINTA!”, sambung suara wanita merusak suasana dingin malam itu. perlahan ku palingkan wajahku. Kusaksikan Eki disampingku. Ialah yang berkata seperti itu. ada apa dengannya? Kenapa ia berbicara seperti itu di depan calon suaminya? Keadaan seperti arena perang dunia. Kita sebut panas, tidak. Kita sebut kacau, tidak.
                “Karena Annisa mencintaimu Ihsan!”, Eki menegaskan statementnya.
                Annisa berlari meninggalkan kami. Aku ingin mengejarnya. Tapi tubuhku seperti telah terpaku dengan kehadiran Eki. Aku tidak berani berbuat apapun.
                “Andai kau tahu, andai orang tua kita tahu, andai aku diberi kesempatan untuk berbicara, mungkin Annisa yang akan engkau nikahi, San.”
                “Apa maksudmu, Jamilatun Nisa?”
                “Ihsan! Nisa! Kemari.”, abah memanggil kami. Dan tentu saja memotong pembicaraan kami.
                “Bagaimana perkenalannya? Kalian sudah kenal satu sama lain bukan? Nah, sekarang kita masuk ke acara inti. Hassan, kami berniat menikahkan Ihsan dan Nisa. Tapi sebelum menikah tentu ada mas kawin yang harus Ihsan siapkan untuk Jamilatun Nisa. Kira-kira apa yang perlu anak kami persiapkan?”, kata abah memulai pembicaraan.
                “Wah, rul. Kalau untuk itu, biarlah Nisa yang menjawabnya. Kan dia yang akan menikah.”, kiyai menjawab datar.
                “Ayo nak Nisa. Mahar apa yang nak inginkan?”
                “Nisa hanya minta 1 mahar dan 2 perjanjian pernikahan dari Ihsan.”
                “Apa itu nak? Ihsan akan menyanggupinya.”, jawab abah penuh keyakinan.
                “Pertama, Alat shalat. Kedua, jika telah menikah nanti, Ihsan tetap mengizinkan saya untuk melanjutkan study. Ketiga, Nisa baru akan menikah jika Annisa Widyasari telah menikah.”
                Terkejut. Shock. Apa hal yang bisa menggambarkan hal ini? Semua mata memandang Annisa. Memandang Nisa bertanya kenapa. Tidak ada yang bersuara.
                “Nisa, aku bisa memenuhi syarat pertama dan keduamu, tapi bagaimana dengan syarat ketiga? Kurasa itu syarat yang mengada-ada.”
                “Tidak, ini tidak mengada-ada. Ana ingin melihat sahabat ana berbahagia terlebih dahulu.”
                “Tapi ini tidak disyariatkan agama.”
                “Tidak. Memang tidak. tapi ini adalah permintaan ana sebelum anta memperistrikan ana. Dan itu adalah syarat ana. Jika anta tidak ingin memenuhi perjanjian ini. Mungkin masih banyak wanita lain yang bisa menerima cinta anta.”
                “Insya Allah akan aku selesaikan kewajibanku sebelum aku menikahimu, Nisa.”, tiba-tiba kata-kata ini terlontar dari mulutku. Tidak. kenapa harus keluar. Kenapa harus kukatakan?
***
                “Apa yang harus aku lakukan?”, tanyaku dalam hati. Kini tubuhku telah terbaring di atas kasur kesayanganku. Mataku menerawangi langit-langit rumah yang petak. Hanya berisi pertanyaan kosong tak beratur. Kenapa aku berada dalam “Drama” ini? Berada diantara Nisa dan Annisa.


Cinta
Bukan kuasa yang menaklukkan bumi
Bukan masa yang berkuasa akan hati
Cinta
Bukan lembayung senja yang menenggelamkan cahaya
Bukan bintang yang menghiasi malam
Cinta
Dan cinta.

Komentar

Postingan Populer