Instagraming

Di antara Dua Purna [Sudut Pandang Annisa] (ketika suratmu menamparku Part 4)


                 
“Alhamdulillahi lladzii ahyanaa ba’da maa amaa tanaa wailaihinnusur. Segala puji bagi Allah, yang membangunkan kami setelah ditidurkanNya dan kepadaNya kami dibangitkan. “
                Ku hela nafasku. Perlahan kucoba untuk mengembalikan kesadaranku. Kaki ini kujejaki ke lantai tertuntun oleh alam pikiran yang hanya tertuju kepada Allah. “Aku ingin curhat dengan Rabb-ku malam ini.”, tekadku. Aku sudah lelah berdiri sendiri. Peristiwa kemarin malam itu seperti membunuhku. Peristiwa ketika Eki menyatakan ia akan menikah ketika aku sudah menikah. Eki. Dalam keteduhan hatinya itu, ia selalu berbuat sesukanya. Aku bahkan tidak mengerti jalan pikirnya. Ingin sekali kutanyakan, “Kenapa begitu menjunjung kata cinta, Eki?”. Padahal, ia sendiri yang mengajarkan aku tentang bagaimana menjaga hati ini. Ku pikir, suatu kebodohanlah ia mengatakan kepada Ihsan bahwa aku mencintainya. “Apa yang kau pikirkan, Eki?”, mataku terpaku di bingkai fotoku bersamanya.
                Aku sudah berada di rumahku sejak dua hari yang lalu. Ku nikmati indahnya sejuk angin desa tanda kasih sayang Allah pada makhluknya. Disubuh kelam ini, tiada kuperhatikan gerak-gerik makhluk hidup lain selain bapak-bapak dan anak remaja yang baru akan pergi ke masjid untuk shalat subuh.benar benar suasana yang membangun jiwa. Alamnya indah, shalat berjamaah banyak makmumnya, pengajaian sore, dan cerita membangun dari ibu-ibu desa. Terkadang aku dibuat malu pada diri sendiri oleh ibu-ibu ini karena mereka berharap aku bisa menikah dengan seorang ustadz muda. Ketika kutanya kenapa, mereka jawab sederhana,
“Mbak kan anak Pak Kiyai, baik, cantik, shalehah lagi. Kalau dipasangkan sama ustadz muda yang ganteng, pintar dan shaleh, wah saya jamin deh mbak, mbak dan pasangan akan jadi pasangan sempurna”
Salah satu dari mereka berkata,”Eh, buk. Gak ingat apa kata Pak Kiyai waktu ceramah kemarin? Pasangan yang sempurna itu kan bukan lahir dari ketampanan, kekayaan, dan kehebatan masing-masing pasangan yang begitu sempurna, buk. Tapi pasangan sempurna itu lahir dari 2 pasangan yang saling mencintai karena Allah dan berusaha saling mengisi kekurangan masing-masing pasangan, buk.”
Ibu-ibu ini sangat perhatian kepadaku. Inginku tertawa dalam hati mendengar cerita-cerita mereka. Tapi setelah kupikirkan ternyata tidak ada yang salah juga. Kupikir, mungkin sudah nasib putri kiyai harus menikah dengan ustadz. Bukan nasib. Tapi aku yang bercita-cita untuk itu. Tapi bukan hanya seorang ustadz yang aku impikan. Meski ia bukan seorang ustadz di pondok pesantren manapun, asalkan ia baik imannya dan fasih qiraah alqurannya serta dalam ilmu agamanya kurasa itu sudah cukup untuk membimbingku menuju jalan surga Allah.
Masih disubuh yang sama disaat shalat subuh telah berlalu, kududukkan tubuhku diatas bangku depan rumah. Melihat sekitaran rumah berlagak gaya abah. Minum teh dan sambil baca buku agama. Persis sekali gaya abah kulakukan. Apalah nanti kata abah kalau ia tahu anak gadisnya duduk termenung di sini.
“Eh, anak abah menung nih. Ada apa nak?”, tutur abah mengganggu lamunanku.
“Abah mau jawaban jujur apa bohong?”, lagakku seperti anak kecil.
“Masa sih anak abah mau berbohong ke abah?”
“Ih, abah nih. Yang bohong dulu ya, bah. Aku lagi baca buku ini. Bulughul maghram. Rajinkan nisa bah?”
“Jujurnya?”
“Jujurnya, apa ya bah? Malu.”
“Kenapa malu? Atau mau cerita sama ummi? Biar ummi saja yang akan cerita ke abah.”
“Ah, ga ah. Ntar aja deh. Kedalam dulu ya bah. Mau bikin sarapan pagi. Kan udah lama aku ga bikin nih bah.”
Saat ku mulai melangkahkan kaki ke dapur, ku kira aku yang pertama ke dapur subuh ini. aku tidak menyangka ummi telah duluan.
“Assalamualaikum Ummi. Wah, ternyata Ummi istri yang shalehah”, gurauku.
“Ya harus dong. Kalau tidak, Abahmu pasti menasehati Ummi sampai matahari terbenam pun ia akan selalu bicara tak henti-hentinya.”
“Bagus dong mi. Kan abah jadi perhatian sama Ummi.”
“Baguslah. Tapi kita sebagai wanita harus jadi lebih baik dari suami kita, nisa.”
“Loh kok gitu Ummi? Bukannya Lelaki itu kepala keluarga?”
“Benar. Lelaki harus juga menjaga keluarganya. Tapi kamu juga harus ingat, bahwa istri harus bisa menjadi penawar bagi suaminya yang hatinya dirundung penyakit. Contoh: ketika suami marah, istri datang sebagai obat pendingin hati suaminya. Dan tentu istri harus lebih bisa menjaga dirinya. Kalau istri juga cepat marah, kan jadi susah rumah tangga itu.”
“Oh ya, Ummi. Dulu pas Ummi masih muda Ummi pernah jatuh cinta ga?”
Ummi terdiam. Kulihat sinar mata Ummi berubah. Aku jadi bingung akan suasana ini. Aku  canggung untuk melanjutkan pembicaraan. Aneh, baru pertama kalinya kulihat Ummi berubah ekspresi. Apakah pertanyaanku salah?
“Nak, Ummi pernah jatuh cinta.”
Lega rasanya hati ini mendengar jawaban Ummi. Tapi tidak kusangka juga Ummi pernah jatuh cinta pada masa mudanya. “Wah, gimana ekspresi Abah ya jika tahu hal ini?”, kataku dalam hati.
“Dan kalau tidak salah, pertama kali Ummi jatuh itu sama seorang pria yang datang ke rumah angguik (Kakek dalam bahasa setempat) melamar Ummi. Dan kamu tahu siapa? Dia adalah abahmu. Kenapa kamu bertanya seperti itu? Kamu lagi jatuh hati ya? Siapa pemuda itu Nak? Biar Ummi dan Abah cari tahu dia dan lamarkan dia untuk kamu.”
“Eh, kok gitu Ummi. Masa keluarga kita yang ngelamar? Aku kan perempuan Ummi?”
“Bukan melamar nisa. Tapi memberitahukan keinginan kamu untuk dipersunting oleh dia. Kalau dia juga mau kan bagus. Syukur-syukur dia belum punya calon istri. Kalau diinfokan tentang anak Ummi yang shalehah ini siapa yang ga mau coba?”
“Ah, Ummi. Bagaimana kalau dia udah punya calon Ummi?”
Ummi terdiam sejenak. Dalam diamnya aku terus memperhatikannya mengaduk nasi goreng kesukaan ayah. Sepertinya untuk jadi istri yang shalehah aku harus serajin Ummi supaya kelak suamiku bahagia memiliki aku sebagai istrinya.
“Yah sudah. Lepaskan saja dia. Kan banyak pria lain di dunia ini. kecuali kamu rela dimadu. Kalaupun kamu mau apakah kamu tidak kasihan nantinya sama Istri pertama si lelaki. Sebagai wanita kamu seharusnya memahami perasaan wanita lain.”
“Bagaimana kalau mereka sama-sama tidak mau menjadi suami istri sedangkan orang tua mereka menghendaki lain?”
“Kamu harus berada di Jalan Allah, nak. Satu hal yang harus kamu ketahui, pernikahan tidak hanya menyatukan dua hati tapi juga menyatukan dua keluarga besar. Kalau dua keluarga sudah bisa bersatu, Ummi rasa kedua hati itu akan bersatu juga pada akhirnya. Kalau perlu kamu bantu kedua hati itu untuk bersatu.”
“Ummi, bilangin sama Abah ya. Kan 3 tahun lagi insya allah aku jadi dokter tuh. Kalau ada orang datang meng-Khitbah tolak dulu ya. Nisa masih ingin belajar.”
“Umur kamu udah 21 loh nak. Tidak baik bagi perempuan menikah lama.”
“Yang terbaik bagi nisa kan Allah yang tahu mi.”
“Anak ini bisa saja melawan kata orang tua.”
“Kan anak Ummi. Hehe”
***
                “Apa yang tersimpan dibenak ku ini?”, pikir hatiku. Eki baru akan menikah jika aku sudah menikah. Sedangkan aku meminta Ummi untuk menolak semua lamaran yang datang untukku hingga 3 tahun kedepan. Kupikir aku jahat juga. Itu sama seperti aku menjadi penghalang bagi pernikahan mereka. Aku pun bingung apa yang harus ku perbuat. Andai aku tidak pernah mengenal kedua ciptaan manusia itu, pastilah hidupku tidak akan semembingungkan sekarang.
                Hidup adalah hidup. Kita harus survive dalam hidup ini. Allah selalu memberi kita ujian karena ia tahu kita pasti bisa melaluinya. Aku percayakan semua ini padanya. Dan aku yakin ini akan berakhir dengan indah.
***
                “Assalamualaikum, Nisa.”
                “Waalaikumussalam, Eki. Sudah 2 minggu tidak ketemu kamu semakin berisi ya?”
                “Ah, kamu bisa saja Nis. Wajahmu semakin cerah nih.”
                “Alhamdulillah.”
                “Nisa, kamu mencintai Ihsan?”
                “Udah deh, Ki. Itu bukan sebuah pertanyaan yang harus dijawab. Pertanyaan itu akan ditumpangi oleh syetan, Ki. Sahabatku, Eki yang manis, Ihsan itu tunangan kamu. Kamu harus yakinkan dirimu bahwa kamu adalah wanita terbaik di dunia ini.”
                Kutinggalkan Eki. Aku melangkah disaat bunyi ponsel Eki berdering. Berjalan ku telusuri kanopi kampus yang panjang.
                “Nis.”
                Kenapa lagi Eki memanggilku. Tidakkah ia tahu bahwa aku sedang tidak ingin berbicara tentang Ihsan. aku tahu bahwa aku mencintainya. Tapi sekarang ia adalah tunanganmu, Eki. “Ya Allah, bagaimana caraku menyadarkan sahabatku ini. “, hati berbisik. Pura-pura tidak mendengar aku meneruskan langkah ini.
                “Nisa........” Eki berteriak mendekatiku dengan wajah cemas dalamnya.
                “Nisa, Ihsan kecelakaan. Dia tertabrak motor. Sekarang di RSUD.”
                “Ki, sabar ki. Tenang. Ayo kita kesana. Insya Allah, Allah akan memberikan yang terbaik bagi Ihsan.”
                Wajah Eki. Wajah Eki. Ia begitu cemas. Seperti terpukul. Benar kata Ummi. Jika dua keluarga telah bersatu, dua hati perlahan juga akan bersatu pada akhirnya. Melihat wajah ini aku bukan sedih. Tidak. “Ya Allah, andai saja engkau tidak membuat Ihsan kecelakaan hari ini pasti aku tidak akan bisa melihat wajah cemas dari sahabatku, Eki, ini ya Allah.”
                Eki. Allah hanya ingin menguatkan hatiku untuk membuat kalian bersatu, sahabat. Allah tidak akan mengambil Ihsan terlalu cepat. Aku percaya itu karena Allah perlihatkan aku bahwa kau peduli kepada tunanganmu itu. Eki, aku akan mendoakanmu bisa bahagia dengan Ihsan seizin Allah. Amin.

Ketika dua bunga dikoulasi
Dua batang pohon akan bersatu
Dua dahan akan berdampingan
Bersama satu akar yang saling menguatkan
Ketika dua keluarga ingin bersatu
Dua hati akan ikut menyatu
Dua kehidupan akan lahir dengan keindahan baru
Bersama Iman dan Islam yang akan mengindahkannya
Bukan.
Sedih bukan karena cinta yang tidak diinginkan
Karena cinta akan lahir dalam keseharian.
Cinta akan lahir dalam rahmat tuhan.
BersamaNya.
selamaNya.

Komentar

Postingan Populer