Instagraming

Pesona Cinta dalam Kasih Allah [by. Rafael Napoleon]


Aku pernah melihat dengan mata dan kepala ku sendiri sebuah kisah cinta yang sangat mengharukanku. Kisah yang membenturkan isi kepalaku. Menutup semua kekosongan jawaban yang aku pertanyakan. Kisah itu antara hidup mereka. Hidup mereka yang berwarna yang merubah jalanku.
Malam itu, bulan masih malu untuk keluar mengintip kami semua. Bintangpun juga demikian. Aku bertanya pada hatiku. Ini malam apa ya? Kenapa seperti nya gelap sekali? Kulangkahkan kaki mengikuti irama semilir angin menyapu rerumputan malam.
“Raihan!”, sapa seseorang kepadaku. Kutolehkan wajahku kebelakang.
“Oh, kamu Zai. Ada apa?”
“cepat banget sih pulangnya?”
“ya harus cepatlah Zai, kalau lama tak enak sama abah dan ummi. Aku kan tak pernah keluar sampai selarut ini. takutnya tidak dapat izin lagi.”
“Ah, kamu ini bagaimana, ini kan acara islami. Pastilah abah dan ummi mu ngerti.”
“Nah, itu yang salah Zai. Karena ini acara islamilah  kita harus sadar. Bukannya rasulullah menganjurkan untuk tidur dipercepat dan bangun disepertiga malam? Terkadang kita tertipu oleh suatu hal yang kita anggap penting dan bernilai ibadah sedang kita melupakan hal yang lebih berharga. Shalat malam. Ya ga Zai?”
“Ya ya. Ampun Pak Ustadz! Saya ngikut aja deh. Baru jam 10 udah pulang. Nasyidnya asyik tadi. Huft...”
“Zai.zai. Ikhlas donk. Kan lucu saja Zai, gara gara nonton nasyid kita ga bisa shalat malam.”
“Ampun Pak Ustadz. Jalan deh! Bisa ketiduran aku diceramahin dalam perjalanan ini.”
Masih dalam jalan panjang yang kutelusuri dengan Zai malam ini. angina bertiup begitu kencang menusuk bulu romaku. Mungkin pengaruh hari yang mendung pikirku.
“Tidak! Tolong!”, suara teriakan menggema memecah ketenangan perjalanan kami.
“Han, suara minta tolong. Cari asal suaranya!”
“Ku kira dari sana.”
Bagai ducati terbaru, kaki kami bergerak garang. Kami temukanlah seorang wanita yang sedang dalam dekapan seorang pria di pelataran gubuk lusuh. Secepat kilat Zai menyerang si pria. Terjadi perkelahian hebat. Memang Zai adalah juara karate di kabupaten kami. Wajar kalau dia bisa melakukan perlawanan.
Plak... bruk... trak... Si pria jatuh dan lari pontang panting.
“Hei, Jangan lari!” pekik Zai.
“Sudah Zai. Jangan dikejar!”
“Maaf. Ukhti baik baik saja?” Tanya Zai kepada wanita itu.
Kulihat wanita itu sungguh sempurna parasnya. Cantik. “Astaghfirullah, apa yang kupikirkan?”, bathinku berontak.
“Terima kasih Akhi. Terima kasih sudah menolong saya dari penodong itu.”
“Ga apa-apa ukhti. Seharusnya ukhti tidak jalan sendirian disini.”
“ukhti dari mana? Kenapa malam malam begini masih diluar rumah?”, selidikku kepada sang wanita.
“Saya dari konser nasyid Ar-Rahmat, akhi.”
“Sendirian?”
“Saya pulang dulu dari teman-teman. Karena saya takut sudah terlalu larut saya diluar.”
“Seharusnya ukhti tidak ikut di acara itu.” balasku dingin.
“Han, Apaan sih!” Zai memukul dadaku.
Suasana berubah menjadi dingin sejak kalimatku itu berwujud menjadi frekuensi sedang memasuki gendang suar kedua insan ini.
                Malam masih larut dan akan tambah larut. Kami putuskan untuk mengantarkan si Ukhti kerumahnya. Tidak kusangka ia adalah anak dari Kiyai Rasyid, ulama besar didaerah ini. “Astaghfirullah. Kenapa anak kiyai bisa keluar sampai selarutnya ini ya?”, pikirku dalam hati.
***
                “Han, kamu ditanyain oleh si Nur tuh.”
                “Nur? Siapa?”
                “iya, nur. Aisyah Nurrahmah. Itu perempuan yang kita tolong seminggu yang lalu.”
                “kamu kenal dia?”
                “Kenal donk. Udah seminggu ini aku sms-an sama dia.”
                “wah, bisa bahaya dia tuh.”
                “Bahaya maksudnya?”
                “Bisa terperangkap setannya kamu. Haha”
                “Mulai deh.”
                “Nama yang bagus ya?”
                “ayo. Naksir ya! Haha. Eh, kamu jangan naksir dia ya. Soalnya aku sudah jatuh hati padanya.”
                “Siapa?”
                “Nur.”
                “Siapa Tanya? Haha”
                “Awas ko!!”
                Beginilah awalnya kisah ini. tidak kusangka sebelumnya, temanku,Zai, bisa berhubungan dengan anak Kiyai Rasyid. Padahal aku ketemu pak kiyai saja tak berani. Sudah jatuh duluan mentalku. Pak kiyai ini orangnya sangat berkarisma. Sehingga kalau dekat dengan beliau orang-orang takut berbuat salah. Satu lagi yang buat aku tidak percaya, ternyata anak pak kiyai itu cantik luar biasa. Tidak pernah aku melihatnya sebelumnya. Pikirku wajar saja itu terjadi. Dia kan anak pak kiyai pasti dijaga ketat oleh abahnya.
                “Nak Zai! Kemari lah.” Pak Kiyai memanggil Zai yang sedang duduk diwarung.
                “Bapak ada urusan mendadak. Nak Zai bisa carikan pengganti bapak untuk pengajian ibu-ibu sore ini?”
                “Maaf kiyai, saya ingin membantu kiyai. Tapi saya tidak tahu siapa yang cocok menggantikan kiyai. Karena kebanyakan yang saya kenal teman-teman masih berumur 19 tahun, kiyai. Pantaskah anak berumur 19 tahun memberikan pengajian di majelis taklim ibu-ibu kiyai?”
                “Siapa bilang tidak pantas? Ilmu itu tidak diukur dari ilmunya, anakku.”
                “Kalau begitu kiyai, diantara semua murid pak kiyai yang seumuran dengan saya mungkin Rayhan yang paling cocok kiyai. Diakan paling baik hafalannya dan paling baik ilmunya diantara kami.”
                “Rayhan? Anaknya yang mana itu? saya lupa.”
                “Itu loh anak Pak Usman, kiyai.”
                “Oh, anak Pak Usman? Boleh. Kamu panggil ia dan suruh menghadap padaku.”
                Akhirnya aku menghadap pak kiyai dan mengisi pengajian majelis taklim ibu ibu. Setelah melaksanakan tugas dari beliau tidak puas hatiku jika belum melapor kepada beliau. Ku yakinkan dalam hati untuk berkunjung ke rumah pak kiyai dihari esoknya. Tentu saja aku meminta Zai menemaniku.
                “Assalamualaikum.”
                “Waalaikumussalam. Eh, bang Raihan. Masuk Bang. Cari abah ya? Duduk dulu bang. Nur panggilkan Abah.”, sapa Nur membukakan pintu. Memang Nur telah mengenalku sejak dipanggil Kiyai menghadapnya kemarin. Zai disampingku bingung melihat kejadian ini.
                “Assalamualaikum, kiyai.”
                “Waalaikumussalam. Duduk. Duduk. Ada apa ini tumben sekali berkunjung tanpa disuruh?”
                “Mau memberitahu kalau kemarin pengajiannya sudah diisi, Kiyai”
                “Oh itu. terima kasih nak. “
                “Abah, aku pergi dulu ya.”, Nur datang minta izin.
                “Mau kemana?”
                “Ini bang furqon suruh beli pipa untuk perbaikan saluran air yang rusak kemarin.”
                “Biar kami saja dik Nur. Kebetulan kami mau ke took bangunan juga. Mau mengurusi alat untuk pembangunan TPA. Tadi Pak Usman nyuruh Raihan untuk mengurusinya.”, Zai langsung menawarkan bantuan.
                “Betul Nak Rayhan?”
                “Betul Kiyai. Jika diizinkan biar kami saja yang membelinya.”
                Setelah pamit dari rumah kiyai, ku jalankan sepeda motorku menuju tokoh bangunan terdekat. Memang daerah kami jauh dari toko bangunan. Karena ini adalah daerah komplek perumahan. Harus menempuh jarak kurang lebih 2 km baru bisa menemukan toko bangunan terdekat.
                “Hei, mau ke Toko Serba Bangunan? Itu mahal loh. Ke Jaya Bangunan saja.”
                “Itukan agak jauh dari sini.”
                “Kan abahmu ga nentuin tempatnya. Ayo, kalau bisa murah kenapa harus yang mahal?”
                Bruk. Prak. Druk. Motor kami jatuh setelah disenggol oleh mobil pribadi. Aku tak sadarkan diri. 5 hari dalam perawatan aku tidak tahu apa yang terjadi di dunia luar. Ku ketahui lah dari abah dan ummi bahwa akibat kecelakaan itu aku mengalami shock. Spontan aku bertanya dimana Zai? Sahabat terbaikku. Alhamdulillah abah memberi tahu ia hanya luka kecil. Sebenarnya aku juga tidak parah tapi karena terbentur batu makanya kurang keseimbangan.
                Mataku mencari-cari dimana Zai. Hingga akhirnya aku putus asa menemukan sosoknya dalam sorot mata ini. sudahlah. Mungkin Zai sedang ada dirumah. Tentu ia sedang mengistirahatkan dirinya. Lagiankan besok aku juga sudah bisa pulang. Aku harus bertemu Zai.
                Di kampus kulangkahkan kakiku melihat sosok pria yang ku kenal,Zai.
                “Zai.” Sapa ku. Ia membuang muka. Berlari. Tentu aku mengejarnya.
                “Zai! Kenapa sih kamu lari?”
                “Sudahlah, Han. Kita bukan teman lagi.”
                “Kenapa? Apa karena kecelakaan itu? bahkan dalam kecelakaan itu kamu tak terluka separah aku.”
                “kamu tahu tidak, Han? Aku tidak terluka oleh sayatan pedang atau kecelakaan apapun. Yang membuat aku terluka kamu Han! Kau tahu aku menyukai Nur kan? Tapi kau hancurkan itu!”
                “Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.”
                “Oh wajar kamu tidak ingat. Kamu pingsan. Ketika kamu tidak sadarkan diri Kiyai Rasyid sekeluarga datang kesini. Tahu apa yang kusaksikan? Nur menangisi kamu Han! Nur menangis! Dia peduli kepadamu. Dia terlihat begitu memperhatikanmu.”
                “Bukannya wajar, Zai? Diakan saudariku sesama muslim.”
                “Wajar? Ya wajar untuk menyakiti diriku. Kau tahu tidak. 2 hari setelah kau dirawat di rumah sakit. Ku kirim surat cinta kepada Nur. Tahu apa balasannya? Ia mengembalikan surat itu tanpa dibaca! Dan dikirm bersama surat baru! Apalagi yang meyakinkan aku selain kau sudah menkhianatiku. Kau merebut cintanya dariku!”
                Plak.. tak sadar tanganku menampar Zai.
                “Cinta. Kau Naif, Zai! Kau lupa Al-isra ayat 32. Kau lupa siapa dirimu. KAU MUSLIM, ZAI! pantaskah muslim sepertimu mengirim surat cinta kepada seorang yang bahkan belum halal untuk mu? Setelah kau kirimkan surat itu kau malah merendahkan iman sahabatmu. Pantaskah kau Zai!??
                Kau tahu apa yang seharusnya yang kau lakukan? Kalau kau mencintainya, khitbah ia. Tunjukkan niatmu kepada orang tua atau walinya. Lindungi ia. Cintai ia dalam ikatan yang halal. Zai, kau seorang muslim. Seorang Pria. Generasi muda muslimin. Wajar kau mencintai, tapi sayang, kau salah mengekspresi. Permisi. Oh ya, terima kasih atas ucapan “pengkhianat” mu.”
                Kurang dari 3 minggu, aku berangkat ke Mesir. Aku lulus program beasiswa. Meski sudah 1 tahun kuliah di jurusan yang sama di Indonesia, aku lebih senang jika menimba Ilmu di Al-Azhar.
“Zai, sudah 3 minggu kita tidak bertemu. Semoga suatu hari nanti kita berjumpa.”, hatiku berkata sesaat aku mau check in.
“Han! Tunggu!”
“Zai.?”
“Han, maaf. Selamat ya kamu bisa kuliah di Mesir. Semoga kita tetap bisa berteman.”
 “Kau tetap teman terbaikku, Zai. Oh ya, bukannya kau lulus yang untuk ke Darul Quro University di Madinah?”
“Alhamdulillah iya. Aku salah. Aku banyak menuruti nafsuku. Terima kasih kau telah banyak mengingatkan aku. Aku bahagia punya sahabat sepertimu, Rayhan.”
“Sampai ketemu lagi, Sahabat”
“Sampai jumpa dalam Rahmat Allah.”
***
                “Habis. “, pak kiyai menutup cerita yang dibacanya dari buku itu.
                “Kiyai, kata kiyai itu kisah nyata. Gimana akhirnya kiyai? Bagaimana dengan Nur, Zai dan Rayhan?”
                “Ya, ini adalah kisah nyata. Rayhan akhirnya menjadi ulama besar di Indonesia. Ia menikah dengan Siti Rukayah, anak Kiyai Rasyid yang kedua. Dan Zai sekarang juga ada di Indonesia. Setelah lulus dari Darul Quro, ia mengkhitbah Nur. Akhirnya mereka menikah. Dalam pernikahan itulah Rayhan bertemu dengan Siti Rukayah. Sungguh sebuah drama yang indah dari Allah.”
                “Lah. Kiyai tahu dari mana kalau Rayhan itu ketemu anak kedua Kiyai Rasyid itu di walimah Zai?”
                “Tentu saya tahu. Karena Zai itu adalah Saya. Zainal Arifin.”
                Kiyai Zainal membuka tasnya. Dan disana terdapat buku-buku agama dan sebuah surat yang diletak dibagian atas dalam tasnya. Ya. Itu adalah surat dari Nur.
                Assalamualaikum Akhi.
                Maaf, bukannya saya tidak berlaku sopan. Tapi saya takut untuk membuka surat yang akhi kirimkan itu karena di depan surat itu tertulis “surat cintaku untuk Aisyah”. Saya takut setelah membaca surat itu iman saya menjadi lemah dan tidak dapat menjaga diri saya. Akhifillah, sungguh kehormatan bagi saya bisa menerima surat itu darimu. Sekarang aku kembalikan surat ini kepadamu agar kamu menyimpan hingga tepat pada waktunya.
                Dari seorang yang masih lemah Imannya, Aisyah Nurrahmah
Assalamualaikum.”
***

Komentar

Postingan Populer