Instagraming

Coretan Tanggal-Tanggal Cinta [by. Riyan Al Fajri]


Hati ana ingin bertanya pada dunia, “apakah embun pagi lebih indah dari cinta ini?”. Terus. Dan terus. Hati ana perlahan tergerus oleh sesuatu yang ana belum boleh untuk mengekspresikannya. Diam. Dalam. Perlahan. Pernah terbersik dipikiran ana, “ana gagal dalam menjaga hati ini.” Tapi jika ana terus berpikir seperti ini, tentu ana akan gagal total. Ana tidak mau itu terjadi. Ana ingin menjadi lebih baik meski sekarang ana jauh dari kata baik.
***
                Pagi 30 Januari 2006.
                “Bagaimana jawabanmu terhadap pertanyaan ku kemarin?” kata ku kepada Annisa.
                Ana perhatikan Annisa mengganggukkan kepalanya. Hancur hati. Ana lakukan ini untuk membuatnya kembali menjadi kekasih sahabat ana. Tapi ana salah langkah. 3 bulan. Ya 3 bulan akan ana buat ia tahu betapa sahabat ana mencintainya sehingga ia akan memutuskan ana dan kembali kepada sahabat ana itu.
                Hari semakin berlalu. Januari, februari, maret. Tepat pada 30 Maret tahun ana jatuh sakit. Seperti biasa sahabat ana memberikan perhatiannya kepada ana. Tetapi ana malah berharap perhatian dari satu orang, Annisa. Ingin ana sela semua pikiran ana terhadapnya. Tapi itu tidak berubah. Tidak bisa berubah lebih tepatnya. Setidaknya untuk satu bulan kedepan.
                Lama ana menunggu pertanyaan darinya, “Arsyam, kabar kamu gimana? Kok ga sekolah tadi? Aku rindu.” Ana menanti pertanyaan itu darinya. Hingga terbit matahari dihari berikutnya ana masih tidak mendengar pertanyaan itu.
                Dengan tubuh setengah sehat itu, ana langkahkan kaki menuju sekolah. Pertamakali mata ana melirik menuju bangku Annisa. Ternyata dia belum datang. Dalam hati ana berkata, “wajar. Kan aku yang selalu datang duluan jam 6.30. baru aku dan anak antaran. Huft. Ga bisa Tanya dia deh.”
                Sedalam hati ana bersambung, ana bertanya tentang perasaannya ke ana. Ana tidak melihat keseriusan diwajahnya. Tiba-tiba ana berpikir, ini telah terlalu jauh. Ana tidak boleh melanjutkan ini lagi. Ketika ana ingin berkata, “kita putus, nis”. Bibir ana beku. Ana malah seperti tunduk dalam irama cahaya wajahnya. “Ana telah jatuh cinta. Tidak mungkin. Kenapa harus kepadanya? Tidak.”
                29 oktober 2006,
                Ana jatuh hati pada nya di 1 april 2006. Hari ini ana putus dengannya. Selesai sudah cerita ini. Tamat.
***
                Selama itu ia hilang. Hingga Agustus 2010 ana mengenalnya lagi. Sayang sekali, ana sudah tidak seperti dahulu. Andai pada saat itu ana masih seperti dahulu, ana tidak akan pernah mengenalnya. Berat hati ana untuk mengenalnya. Bukan karena ana sakit hati tentang keputusan berpisah itu tapi lebih kepada Ana ingin jauh dari orang yang pernah menjadi kegelapan dalam diri ana. Munafik sekali ana. Tidak. Ana tidak munafik. Ana sudah berubah. Ia pernah menjadi teman dekat ana. Kekasih ana. Lalu kenapa ana tidak berteman dengannya lagi? Bagaimanapun ana belum tahu siapa dia dan siapa ana. Siapa yang lebih baik.
                Ana rasa cerita ini sangat tidak nyambung jika ana tidak ceritakan bagaimana proses perubahan ana. Begini kisahnya, bulan Ramadhan tahun 2008. Ana ditampar oleh kata-kata ustadz yang rutin ceramah disekolah. Entah mengapa hidayah seperti datang ke hati ana melalui ustadz ini.
                “Kalian para remaja jangan diperbudak oleh nafsu. Siapa disini yang pacaran?”
                Tentu tidak ada yang mengangkat tangan. Karena HARAM hukumnya pacaran disekolah ana. Hanya ada dua pilihan jika ketahuan pacaran, MENIKAH atau KELUAR dari sekolah.
                “Alhamdulillah. Kalian adalah pemuda yang baik. Terus pertahankan. Jadilah pemuda yang dirindu surga!”
                Dalam hati ana bertanya, apa hubungan tidak pacaran dengan pemuda yang baik? Lalu seperti apa pemuda yang dirindu surga itu? Perlahan ana dekati seorang aktivis dakwah di sekolah ana.
                “Assalamualaikum, Akhi. Ana ingin bertanya.”
                “Waalaikumussalam, akhi. Apa yang bisa saya bantu?”
                Terlintas dibenak ana begitu indahnya wajah akhi ini. Bercahaya. Menenangkan. Sepertinya bekas wudhu benar-benar ada menyinari wajahnya.
                “Tahukah akhi apa hubungan tidak pacaran dengan pemuda yang baik?”
                “Ana tidak akan jawab dengan hokum islam yang mungkin akhi akan bosan mendengarnya. Siapa yang tidak kenal akhi disini. Ckck. Akhi, cobalah renungkan jika bunga belum dipetik bagaimana bentuknya? Masihkah ia akan mekar indah? Bagaimana jika ia sudah dipetik? Apakah ia akan tetap mekar dan indah?”
                “Jika lingkungannya mendukung, sebelum dipetik maka bunga akan tetap mekar dan indah, akhir. Tidak begitu dengan yang satunya. Jika sudah dipetik, bunga akan layu. Perlahan tapi pasti.”
                “lalu jika akhi adalah pemilik kebun bunga itu, apakah akhi akan membiarkan orang lain memetiknya?”
                “tentu tidak.”
                “lalu jika akhi bertemu dengan bunga itu dijalan, apakah akhi akan memetiknya?”
                “ia sudah memperindah tempat itu, aku akan datang melihatnya setiap hari. Tapi bukan untuk memetiknya.”
                “itu lah akhi. Jika akhi menjaga diri akhi, akhi akan melindungi bunga-bunga yang ada dijalan itu. Akhi marah jika bunga akhi dipetik. Jika akhi pacaran dengan seorang wanita, bagaimana perasaan orang tua yang telah bersusah payah menanam bunga dan memelihara bunga itu? Akhi memetik bunga itu sebelum mekarnya memperindah taman si pemilik. Tidakkah akhi akan memperlayu bunga itu dan merusak keindahan taman si pemilik?”
                “aku speechless”
                “Akan terus seperti itu ,akhi.”
                “Maksudnya?”
                “nafsu akhi akan selalu menolak kebaikan yang disampaikan oleh sahabat-sahabat akhi. Yuk, kita sama-sama menata hati. Saya dan teman-teman juga sedang berusaha. Mungkin kita bisa saling membantu. Meski tidak aktif disini, semua orang disini tahu jika akhi bagus pengetahuannya tentang islam.”
                “aku tahu sedikit tapi jarang mempraktekkannya.”
                “Bergabunglah dengan kami. Mari kita praktekkan pengetahuan islam akhi tersebut.”
                Luntur terasa dosa-dosa ana selama ini. Dalam proses yang panjang ana berusaha memperbaiki diri. Perlahan dan insya allah masih berlanjut. Meskipun belum sepenuhnya baik, ana tetap berusaha.
                Kembali kepada cerita semula. 2 tahun ana habiskan waktu untuk memperbaiki diri. Satu demi satu pengalaman berharga bertemu dengan ana. Tidak ana sangka ana akan punya sahabat beriman seperti mereka sedangkan ana masih cetek iman dan ilmunya.
                Perubahan ana dan pertemuan ana dengan Annisa lagi menjadikan dua kutub berlawanan berhadapan. Ada ikatan tarik-menarik dalam 2 hal ini. Ana bertemu dengannya. Ketika ana sudah sampai masa menamatkan sekolah ana, dan ana kembali mengenal wanita ini.
                Pertama ana hanya menganggapnya sama seperti lain. Masih memadu kasih dengan ikatan yang tidak jelas. Tapi perlahan ana tahu, bahwa ana adalah kekasih terakhirnya. Satu tamparan bagi ana. Ternyata ia lebih baik dari ana. Banyak perubahan yang ana rasa darinya. Cinta pertama ana. Dan ana rasa, kisah tamat sebelumnya yang ana katakan adalah awal dari sebuah kisah baru yang akan lalui.
                Tidak ingin terpenjara oleh kata “cinta sebelum waktunya”, jika sudah tamat kuliah nanti, ana berniat untuk menikahinya. Itupun jika ia tidak menolak lamaran ana atau jika ia belum dilamar orang. Aneh memang, Dulu ana jatuh cinta padanya karena nafsu ana. Ana akui itu. Tapi sekarang, semua tidak lebih kepada Allah. Hanya kepada Allah. Bahkan ana tidak berani melihat wajahnya ketika ada kesempatan untuk melihat wajahnya. Ana tidak ingin mengggangunya. Perasaan ana ini biarlah ana simpan hingga waktu nya tiba. Itulah yang ana piker sekarang. Apakah ini cara yang benar? Mencintainya karena Allah dalam diam? Setidaknya itulah yang pahami.
Sejauh ini, sampai bulan maret 2011 ini sejak ana mengenalnya lagi di agustus 2010. Ana hanya melihat kebaikan iman dalam dirinya. Ana tidak tahu apakah ini bumbu-bumbu manis setan yang mengatakan ia baik untuk menjerumuskan ana ke jurang yang lalu atau ini kabar dari Allah bahwa ia baik. Entahlah. Yang pasti ana tidak boleh berpacaran dengannya. Ana harus menjaga hati ana dalam Iman dan Islam. Karena ana bercita-cita menikahinya. Amin. Dan juga jika ingin menikahinya suatu saat nanti, ana harus semakin memperbaiki diri. Karena:
                “Allah S.W.T berfirman, “Perempuan yang jahat untuk lelaki yang jahat dan lelaki yang jahat untuk perempuan yang jahat, perempuan yang baik untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik untuk perempuan yang baik.” (an-Nur':26)”
                Insya allah ana lihat ia perempuan yang baik. Lalu apakah ana lelaki yang baik? Ana harus tetap memperbaiki diri ana. Karena tidak mungkin ana berbangga dengan iman dan ilmu secetek ini. Ata menurut ibnu athoilah, “barang siapa yang telah menganggap dirinya sudah tawadhu’, sungguh ia telah takabbur”. lagipula dalam keadaan seperti ini ana rasa masih jauh dari kata “Baik”. Jauh bermil-mil jaraknya. Semoga saja ana dilindungi untuk menjaga hati, terhindar dari takabbur dan menuntut ilmu. Amin.
***
“Ikhwan, yuk kita jaga diri. Sekarang dan sebelum terlambat untuk menjadi Pemuda yang di Rindu Surga”

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer