Instagraming

Cinta itu Rahasia [Ghuraruddin Ar- Rushd]

               Malam itu, tetasan air mata Annisa mengalir dalam indahnya malam. Tubuhnya mengikuti alur gerakan indah shalat. Doanya melunturkan hatinya yang galau. Perlahan ketenangan mulai mencapai puncak dalam dirinya. Allah.
            Ketidaktenangan berlalu sudah. Buku diari Ihsan telah sampai kedalam hatinya. Annisa menatap kembali buku itu sekali lagi. Membacanya sekali lagi.
Ada hal yang bisa diungkapkan dan ada hal yang tidak bisa diungkapkan. Mencintaimu adalah bagian tersulit bagiku untuk mengungkapkannya. Akan datang suatu masa engkau akan pertanyakan sikapku. Tentu. Bagimu ini begitu dingin dan tidak sama sekali menunjukkan cinta dan sayang. Bingung. Aku tidak punya cara yang lebih baik selain mencintaimu dalam diamku. Ini adalah caraku. Aku belum diperbolehkan memperlihatkannya. Bagaimana mungkin aku bisa mengumbar perasaanku kepadamu sedangkan aku belum diperbolehkan melakukannya? Aku takut. Aku takut ketika aku mengungkapkannya aku tidak bisa berada di sampingmu untuk selamanya. Kau pernah merasakan kehilangan orang yang engkau cintai, tentu bukan aku orangnya. Aku tidak akan membuatmu merasakan hal itu lagi. Oleh karena itu, aku tidak pernah menjelaskan secara gamblang tentang perasaanku. Aku tidak ingin engkau berlebihan mencintaiku karena engkau belum halal untukku dan belum tentu aku bisa hidup hingga esok. Aku hanya bisa menemanimu yang terkadang engkau tidak menyadarinya, mengingatkanmu yang terkadang engkau meremehkan hal itu, memberikan contoh untukmu yang meski terkadang engkau menganggap aku hanya berpalsu ria sehingga muncul pikiran munafik olehmu tentangku serta mendiamkanmu ketika aku tidak tahu bagaimana lagi menyentuh hatimu untuk tidak terlalu jauh melangkah.
            Permasalahannya simple. Semua kesalahan ada padaku. Aku hanya terobsesi dengan satu titik. Allah. Mungkin engkau akan menganggap aku kuno atau katrok tapi inilah aku. Aku hanya seorang pria biasa. Memang, cerita 4 tahun lalu aku adalah orang yang bisa merayu puluhan wanita tapi kini aku hanya berdiri di kaki sendiri. Aku punya teman, sahabat serta orang-orang yang membenciku. Tipe kehidupan seperti inilah yang aku senangi dan butuhkan. Aku tidak butuh kekasih karena waktunya belum tiba. Tentu engkau juga tidak membutuhkannya tapi jujur aku tidak suka caramu mencintaiku. Caramu itu lebih dekat kepada orang yang berpacaran. Itu membahayakanmu, sahabat. Aku tidak menyalahkan perasaanmu. Tidak. Engkau punya hak memilikinya karena aku juga memilikinya tapi ketika engkau memiliki perasaan cinta itu, kuasailah. Kuasailah dengan imanmu. Aku suka caramu mengingatkanmu tapi aku tidak suka engkau membalasku. Aku suka engkau marah akan sikapku tapi aku tidak suka alasan kemarahanmu. Yuk, luruskan lagi hati ini.jangan sampai terlalu jauh melangkah.
            Ada yang salah. Tentu. Selalu ada yang salah. Selalu ada yang perlu diperbaiki. Membaca diari ini pun tentu salah. Ini ulah Nurul yang memberikan buku itu padanya.
            “Nis, gimana diari si Ihsan”
            “Hm, ini.”
            “Loh kok kasih ke aku?”
            “kan kamu yang kasih ke saya, jadi saya kembalikan.”
            “udah kamu bacakan yang bagian aku tunjukkan?”
            “hm, btw emang boleh baca diari ihsan itu?”
            “boleh donk.”
            “Kok bisa?”
            “Dia kalah taruhan sama aku.”
            “Ihsan taruhan?”
            “Eh, bukan ihsan yang punya diari. Tapi ihsan temannya ihsan kamu. Ihsan kurniawan. Bukan Ihsanul hakim.”
            “oh, wawan. Hm, ihsan saya?? Emang kapan saya punya ihsan?”
            “sok sok tak paham dia.”
            “Lalu kok ini diari ihsan ??”
            “Taruhannya kalau aku menang dia ngambil diari ihsan untuk kubaca.”
            “jadi Ihsan ga tahu kalau diari nya dibaca orang lain?”
            “Ga. Nyantai aja kali. Ginikan kita tahu kalau dia suka sama kamu. Kamu senangkan?”
            “Kamu jahat ya Rul.”
            Berlarilah Annisa menelusuri koridor biru kampus bersama air mata yang menemaninya. Belum lepas ketenangan sebelumnya ia dapatkan kini ia sudah didatangi kebingungan hebat. Apa yang akan dipikirkan ihsan tentangnya. Tanpa izin ia membaca rahasia milik sahabatnya itu
            “Assalamualaikum, Nisa!”
            “Ihsan.”
            Bergetar kebingunganlah Annisa berada dalam kondisi ini.
            “Ini makalah untuk Nurul, titip ya. Saya permisi dulu.”
            “Ihsan.”, Annisa menghentikan langkah Ihsan yang sudah mendahuluinya
            “ya. Ada apa nis?”
            “Ga ada apa-apa.”
            “Saya tidak suka dengan orang yang berbohong. Jika engkau belum siap untuk membicarakan sesuatu yang engkau anggap penting, tidak perlu mengatakan hal yang lain.”
            “Maaf San. Ini buku diarimu.”
            “Inikah buku yang hilang kemarin? Kamu nemu dimana? Makasih ya…”
            “Hm, san. Sebenarnya…”
            “Sudahlah. Santai aja. Tidak perlu dijelaskan. Saya takut akan terjadi fitnah. It’s OK. Yang penting sekarang buku nya udah ditemukan. Terima kasih ya.”
            “permisi.”
            Ihsan berlalu.
            “Oh ya, saya lupa nis. Andai kamu membaca tulisan dibuku ini, jangan diambil hati ya.”
            “Iya. Ga apa apa kok.”
            “Biarlah yang rahasia tetap menjadi rahasia. Biarlah waktu yang akan mengungkapkannya. Jika kamu butuh teman sharing. Saya free. Hubungi aja.”
            “ok. Good luck untuk aktivitas pagi ini.”
           
            “Ihsan, selalu saja kamu tak pernah memikirkan hal yang sebenarnya menurut orang lain itu perlu dipikrikan. Aku mencemaskan hal ini tapi kau mengentengkannya. Atau engkau menyembunyikan perasaan cemasmu itu dariku? Ada banyak kemungkinan. Yang terpenting sekarang kepadaMu, Ya Allah , aku pertanyakan inikah cinta karena Mu? Sehingga tiada yang tahu bentuk luar dari cinta dari hambaMu itu. Bisakah aku seperti itu?”, ungkap Annisa dalam hatinya.

Komentar

Postingan Populer