Instagraming

Dia Mereka dan Cinta ku [By, RIyan Al Fajri]


                Pintu kamar ana tiba-tiba terbuka. Sembari masih bingung ana langkahkan kaki menuju ruangan tengah. suasana malam ini sedikit berbeda dari sebelumnya. Hawa panas dan dingin ana rasakan bertubuhkan kulit tipis ana. Perlahan ana lihat serpihan cahaya menembus celah-celah mushalla yang ada di rumah ana. Ana intip dari celahnya.
                “Astaghfirullah. Seorang wanita sedang shalat.”, hati bergumam melihat pemandangan di depan mata ana.
                “Siapa wanita ini? Apakah ia bidadari? Kenapa bidadari shalat di Mushalla rumah ku ini? Tidakkah ia bisa menemukan mushalla yang lebih indah dari rumah biasa ana ini.”
                Ana hapus pikiran an dan beralih ke tempat wudhu yang memang tersedia dikamar mandi dekat dapur di rumah ana.  Air pertama masuk ke mulut ana, “Ya allah, dengan air ini sucikanlah lisanku.” Segar rasanya seluruh bagian mulut ana. Sembari membasuh muka, jiwa ana seperti melayang merasakan sensasi yang bahagia. Sensasi yang ana sendiri tidak tahu darimana datangnya.
                Ana buka pintu mushalla itu, wanita itu masih melanjutkan shalatnya. Ingin ana mengintip wajahnya. Siapa gerangan wanita ini. Tidak. Niat itu ana batalkan. Siapapun ia, ia ingin beribadah kepada Allah dan ana tidak boleh menganggu kekhusyukannya.
                “Allahuakbar”, shalat tahajud ana lakukan.
                “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh”
                Selesai shalat ana berdoa bermunajat kepada Allah sang maha penguasa atas segala sesuatu.
                “Ya Allah, siapakah gerangan wanita yang ada disampingku ini ya Allah? Apakah ia bidadari yang ingin engkau hadiahkan kepadaku? Tidakkah janggal jika engkau membalasku dengan bidadari di Dunia sedang aku selalu berharap kepadamu akan kebahagiaan akhiratku? Engkau yang maha tahu ya Rabb. Tunjukilah jalanku.”
                Kubalikkan tubuh ana. Astaghfirullah wanita itu menunggu ana di belakang ana.
                “Assalamualaikum, mas.”
                Direngkuhnya tangan ana. Diciumnya. Persis perlakuan seorang istri kepada suaminya. Ana terkejut. Segera  ana tarik tangan ana sebelum terlalu lama bersentuhan dengan kulitnya. Dan ada hal yang membuat ana lebih terkejut lagi, wanita yang di depan ana ini ternyata Annisa, sahabat ana.
                “Ada apa, Mas? Kok seperti itu? Ada yang salah kulakukan sebagai seorang istri kepadamu, mas?”
                “Istri?”
                “Iya mas. Lupa atau pura-pura lupa?”
                “Tidak. Mas Cuma bercanda.”
                “Subhanallah. Annisa adalah istriku? Bagaimana caranya? Kenapa aku tidak ingat?”, hati ana bertanya, sementara ana pergi meninggalkan Annisa yang sedang bersiap membaca Al Qur’an.
                Tidak mungkin ana bisa lupa begitu saja pernah menikah dengan Annisa. Tapi kenapa ana tidak ingat dia istri ana? Ana periksa surat-surat berharga ana. Ana temukan surat nikah dan benar. Disana ada foto ana dan foto Annisa bersebelahan sah sebagai pasangan suami istri.
                “Ya Allah, kenapa aku lupa? Apa yang terjadi?”
***
                Pagi sudah menjelang dan ana belum ingat apa-apa. Ana ingin sampaikan ini pada Annisa. Tapi ana tidak berani menyampaikannya. Tidak mungkin ana sampaikan, “Annisa aku lupa kalau kau istriku.”. bayangkan bagaimana perasaannya jika mendengar kata-kata itu. Ana pun tidak ingat apakah ana punya anak darinya atau tidak.
                “Ummi sayang, anak kita dimana?”
                “Abi ngomong apa sih? Aneh sekali. Tapi pagi ngomongnya pakai aku-kamu. Lupa kalau ummi istrinya abi. Sekarang lupa kalau si anak tersayang sedang di pondok pesantren. Ga lucu tahu bi percandaannya.”
                “Astaghfirullah mi. abi lupa.”
                “Udah rindu ya sama Hasan dan Latief?”
                Mungkin ana punya dua anak dari Annisa. Ini sudah sangat keterlaluan lupanya ana. Tidak boleh dibiarkan begini saja. Ada baiknya ana bertanya pada Annisa.
                “Ummi, ada yang lupa ya hari ini?”
                “Hari ini? Apa ya bi? Hm.. ini nasi gorengnya bi tanpa ketimun.”
                “Makasih, ummi sayang.”
                “Oh ya bi, hari sabtu ada acara di pondok tempat Hasan dan Latief belajar bi. Hm, kalau tak salah hari ini ada acara pernikahan teman SMA abi si Fitra yang kemarin datang itu loh bi dengan Etika.”
                “Etika Rahmah?”
                “iya bi.”
                “Ada suratnya mi?”
                “Tunggu ummi carikan bi.”
                “Fitra dan Etika menikah? Subhanallah. Memang jodoh tak tahu di mana ketemunya. Allah yang punya kuasa akan itu.”
                “Abi, ini surat dari ponpes dan ini surat undangan pernikahannya.”
                Ana baca surat itu. Dan subhanallah, betapa membanggakannya ana. Nama yang ada dalam undangan itu Hasan Al Basri Al Fajri dan abdulLatief al fajri akan diwisuda dan termasuk santri yang hafidz 15 juz Al qur’an. Meski ana tidak ingat anak ana ini, sungguh air mata ana tidak berhenti bercucuran bahagia. “Ya Allah, sungguh kebanggaan bagiku engkau titipkan aku anak-anak yang hafidz kata-katamu. Semoga mereka menjadi pemuda yang dirindu surgaMu.” Hatiku berdoa.
                “Abi, nangis lagi.” Annisa memelukku.
                “Ummi tahu abi senang dan bahagia, tapi jangan keterusan nangis abi. Ummi jadi cemas.”
                “Maaf, mi. abi merasa terharu. Abi bangga punya anak seperti mereka.”
                Siapa yang tidak bangga dan akan bereaksi seperti reaksi yang ana lakukan jika seseorang itu lupa kalau dia punya anak sedang setelah ia diberitahu anaknya seorang hafidz Al Qur’an. Siapa yang tidak terharu akan kenyataan ini? Siapa?
                “Abi jangan lupa ntar bawa yang untuk pernikahan etika dan fitra ya? Abi pelupa sih.”
***
                “Selamat ya Akhi wa ukhti. Semoga pernikahan kalian selalu dibahagiakan Allah dan dikaruniakan anak yang shaleh dan shalehah. Amin”
                “Amin ya Allah. Semoga saja akhi. Tapi kalau tak ya seimbang seperti yang akhi dapat. Dua anak shaleh yang hafidz al Qur’an.”
                “Akhi bisa saja. Allah menjaga mereka. Ana hanya asbab nya.”
                “Selamat ya Etika. Kalau si Fitra mangut-mangut nasehatin aja”, ujar Annisa.
                “Ukhti nisa bisa saja. Semoga pernikahan ini adalah jalan terbaik ana menuju surga.”
                “Amin ya Allah.”
                Ana langkahkan kaki ana dan berjalan. Mata ana kabur tak bisa melihat lagi. Ana takut. Apa yang sedang terjadi ini? Lailahaillallahu muhammadurrasulullah. Sudah tidak ada lagi yang ana lihat.
***
“tug…tug…”, suara gemericik air membangunkan ana.
“Astaghfirullah. Dimana ini?” ana kebingungan mencari dan mencari batas pengetahuan dimana ana. Yang pasti dihadapan ana ada padang bunga yang indah yang mencengangkan ana menuju suatu keikhlasan. Hati ana tenang disini. Ditempat ini.
“Antum tidak ingin balik?” suara aneh baru saja mengejutkan ana. Dan ana tidak tahu dari mana arahnya.
“siapa kamu? Dimana ini?”
“Ana dibelakang antum.”
Terlihat lah seorang lelaki berjenggot berpakaian putih dihadapan ana. “siapa antum?”
“ana Zulkifli. Sahabat antum dari Grenada.”
“kenapa ana tidak ingat punya sahabat seperti antum dari Grenada?”
“kita bertemu ketika antum menunaikan haji tahun lalu. Ketika antum melihat seorang kakek terpapah jatuh dan antum menolongnya. Ana adalah anak dari kakek itu.”
“Subhanallah, anak kecil itu?”
“Tapi bukankah kamu bukan seorang muslim?”
“Ana sudah mendapat hidayah dari Allah.”
“Alhamdulillah.”
“Antum baliklah. Ada yang harus antum kerjakan.”
“Apa? Antum akan temukan setelah antum bangun dari tidur antum.”
Tiba-tiba tanah runtuh. Lubang hitam mengisap ana. Jauh. Jauh.
***
                “Yaaiyuhalladzi naamaanu …..”
                Suara seorang wanita membaca al quran mengema diruangan sempit. Ana kira ini sebuah rumah sakit. “Ummi”
                “Abi? Suster. Suami saya sudah sadar. Cepat datang kesini.”
                Setelah suster memeriksa. Ana bertanya kepada ummi apa yang terjadi. Ternyata ana pingsan setelah di pesta fitra. Ummi mengatakan bahwa ana kelelahan dan harus istirahat.
                kuperhatikan hasan dan latief tertidur disebelah ranjangku.
                “Mereka berdua kok disini ummi?”
                “Abi itu sudah tak sadar 2 hari. Makanya ummi kasih tahu mereka. Mereka datang kesini.”
                Ada sesuatu yang harus ana kerjakan. Apakah ada hal yang ana lupakan dari semua ini? Tapi apa? Apakah anak ana adalah jawabannya? Ana elus kepala mereka.
                “Ya bunayya, bangunlah.”
                “Abi.” Serentak keduanya memelukku dengan penuh kasih dan cinta.
                “Apa hal yang bisa abi dengarkan dari kalian setelah kalian sudah lama di pondok?”
                “Latief dulu ya bi. Alhamdulillah latief hafal 15 juz. Dalam menghafal itu banyak sekali cobaan yang latief dapat bi. Tapi ternyata dibalik cobaan itu ternyata Allah ingin menguatkan kita agar selalu konsisten atau istiqomah dalam keislaman kita bi.”
                “Alhamdulillah. Lalu bagaimana denganmu hasan?”
                Tanpa bersuara hasan memelukku erat. Isak tangisnya lahir sekejap masa. Suasana berubah menjadi dingin. Annisa pun bisu tak tahu berkata apa yang ia lihat detik ini.
                “Hasan melakukan kesalahan bi.”
                “Apa anakku?”
                “hasan dengki dan iri hati kepada Latief bi. Sejak Latief abi kirim ke ponpes yang sama dengan hasan, setiap abi mengunjungi kami abi selalu menggendong hasan. Sedangkan aku hanya abi peluk biasa. Padahal dulu ketika abi mengunjungiku di ponpes abi langsung lari memelukku.”
                “Astaghfirullah. Hasan. Abi tak bermaksud seperti itu.”
                “Sejak saat itu hasan jadi benci sama abi. Hasan menghafal dengan hati berat. Ingin membuktikan bahwa hasan lebih baik. Lalu”
                “Lalu apa anakku?”
                “Ketika mendengar kabar dari ummi abi sakit, hasan rasa tak ada gunanya lagi hasan berbuat seperti ini. Ketika pulang ke rumah, hati hasan masih terluka. Pasti siumanpun abi akan langsung memeluk latief. Bukan hasan. Ketika itu latief sudah dijemput. Kemarin tepatnya. Tinggal hasan sendiri yang di rumah. Iseng hasan masuk ke kamar abi. Dan hasan temukan ini. Harapan-harapan Abi.”
                “Harapan terbesarku.
1.       Istri yang shalehah yang membantuku menemukan surga untukku dan anak-anakku
2.       Anak yang shaleh dan shalehah yang mampu menyelamatkan aku dari nerakanya
3.       Sahabat yang shaleh yang selalu ingatkan aku untuk selalu berada dijalan yang benar
4.       Jiwa yang damai yang selalu dirahmati oleh Mu, Ya Rabb
Aku bangga punya anak seperti hasan. Jadikanlah ia seperti umar bin khattab ya Allah. Tegas dalam perkataan dan tindakannya serta lembut dalam hatinya. Sungguh ia adalah putra terbaik yang pernah engkau titipkan kepadaku.
Kebahagiaanku engkau tambahkan dengan nikmat dengan lahirnya latief, Ya Allah. Engkau perbanyak nikmatmu untukku dan keluargaku. Engkau buat hatiku mudah menerima AlQuran dalam setiap lisanku.
Ya Allah, jikalah engkau berkenan berikanlah aku hadiah atas nikmat yang telah engkau berikan. Seperti kata utusanmu jika aku tak salah menafsirkannya, anak lelaki adalah nikmat. Dan anak perempuan adalah hadiah. Allah memberimu nikmat dan meminta pertanggungjawabanmu kemudian allah akan berikan engkau hadiah atas tanggungjawabmu itu.”
                “abi. Hasan janji tidak akan berpikir negative lagi terhadap abi. Karena hasan sayang abi karena Allah.”
***
                “Abi. Malam sabtu ini Abi gagah sekali malam ini.”
                “Ummi malam ini juga cantik sekali.”
                Tiba-tiba lampu mati. Kegelapan memenuhiku. Ku buka mataku.
                “Astaghfirullah. Udah jam 4. Ah, kacau nih. Ga dapat shalat tahajud. Aduuuh.”
                Ternyata semua itu hanyalah mimpi.
                Subhanallah. Meski hanya mimpi. Tapi ini sungguh indah. Luar biasa indah. Alhamdulillah.

Komentar

Postingan Populer