Instagraming

Menyelamatkan untuk Kembali Membunuh [Riyan Al Fajri]


                “What kind of policy is it? He will kill many people.”, bentak Rushdi setelah membaca surat keputusan. Ia masih dalam heningnya ruangan bermarmer cream itu. Perlahan ia berjalan meninggal prahara yang ada dan mengemudikan mobil Toyota barunya.
                “Saya ingin bertemu bapak.”, ujarnya kepada prokotoler kepresidenan di Istana negara.
                “Saya ingin bertemu bapak secepatnya. Ini darutat.”
                “Iya pak.  Saya akan memanggil bapak.”
                Berjelang beberapa menit muncullah Ghuraruddin As-Sobri
                “Assalamualaikum, Rushdi.”
                “Alaikumussalam, Pak.”
                “Tak usah panggil saya bapaklah. Kita kan se almamater. Memang sih aku kakak tingkatmu tapi ga perlu panggil bapak lah. Umur kita cumin beda 2 tahun. Panggil nama saja.”
                “Tapi kan saya sudah jadi bawahan Bapak.”
                “So itu berarti kita tidak berteman lagi gitu?”
                “Tidak pak. Eh, Ghurar. Bukan begitu maksudnya.”
                “kalau begitu panggil nama saja. oh ya, katanya ada yang darurat. Sampaikanlah!”
                “Iya Rar. Ini terkait surat keputusanmu yang ditebuskan ke kantorku. Ada hal yang perlu diperbaiki.”
                “Kau meragukan kebijakanku?”
                “Bukan begitu maksudnya. Rar. Kau telah memilihku untuk menjadi menterimu bukan? Berarti sudah menjadi tugasku membantumu. Apabila kau benar, aku harus mendukungmu. Jika kau keliru, aku berkewajiban memberikan pandanganku untuk menguatkanmu.”
                “Aku memilihmu menjadi menteriku bukan pengoreksiku! Kalau kau tidak setuju denganku kau saja yang berada diposisiku. Aku memutuskannya untuk rakyatku.”
                “Aku mengerti kau melakukan semuanya untuk rakyat. Tapi kau harus paham, kau mewarisi negeri dalam keadaan resesi. Inflasi yang tidak terkendali serta pengangguran yang menggenaskan. Kebijakanmu itu hanya akan memperkeruh suasana. Dalam setahun pemerintahanmu, kita sudah bisa menurunkan inflasi ke 6,9% pertahun. Kita sudah mulai melakukan pembangunan untuk merangsang perubahan pengeluaran agregat. Secara perekonomian, kita sudah mulai sehat.”
                “Oleh karena itu aku putuskan untuk menaikkan upah minimum agar rakyatku yang terkena dampak inflasi lalu bisa memperbaiki kesejahteraaannya.”
                “Secara teknis benar. Tapi kau perlahan akan membunuh mereka, Rar.”
                “Apa?”
                “Maaf, Rar. Kita bicara dari teman ke teman. Upah minimum yang engkau naikkan memang akan menaikkan kesejahteraan rakyat. UNTUK SEMENTARA. Perekenomian ini akan selalu berjalan dan berkembang. Pada perkembangannya  perusahaan akan semakin selektif dalam memilih pegawai yang berkualitas. Lalu yang kualitasnya rendah akan mengenai dampak negatifnya. Mereka akan di PHK. Masalah baru akan muncul. Pengeluaran agregat akan turun. Untuk merangsang, bank sentral akan mengucurkan dana ke dunia perbankan. Tahu apa yang akan terjadi? Inflasi kembali meroket. Pengangguran sementara akan membludak. Tentu kesejahteraan akan berkurang. Tujuanmu untuk meningkatkan kesejahteraan hanya akan menjadikan boomerang bagi rakyat kita. Kau akan membunuh mereka yang miskin, Rar.”
                “Kau siapkan perhitungannya. Aku ingin kau jelaskan hal ini lebih dalam kepadaku jam  2 siang nanti.”
***
                Cerita ini berawal 20 tahun yang lalu. Dimulai dari sebuah sekolah propinsi. Hari itu adalah adalah hari terakhir ujian kenaikan kelas. Rushdi berlari jauh menyendiri dari keramaian di samping mesjid di sekolah itu.
                “Agggghhhhh… ujianku sialan!!! Ancur!!!”
                Sembari kekesalannya yang tidak beku. Bebatuan bebatuan ia lemparkan ke angkasa melewati pepohonan tinggi di kampus sekolahnya.
                “Rushdi! Hei! Ada apa kawan?”, sapa Rohman yang datang bersama Ridwan.
                “pasti Ujian kan? Haha. Santai masbro. Kita senasib. Aku juga galau. Anjirrr susah sekali soalnya tadi.”, ujar Rohman.
                “Kita ke parkiran ujung yok?” ajak Ridwan.
                “Keliling refreshing donk. Bosan nih.”
                “Tupai galay!!! hahaha”
                “of course kita udah 2 tahun disini, tapi kita ga pernah cerita-cerita kan? By the way, cita-cita kalian apa nih?”
                “Aku sih tetap jadi Gubernur Riau!”, ujar Rohman.
                “Cieleeehhh… kamu gubernurnya gimana rakyatnya ya? ckck”, sahut Rushdi.
                “Hei, ga boleh gitu donk. Gitu-gitu Rohman kan orangnya jujur bin amanah. Kalau dunia dibalik balik sih. Hahaha” sambung Ridwan.
                “Dalam banget dah. Ckck. Meski aku banyak pelanggaran. Tapi asalkan kalian tahu aja. Itu bukti eksistensi aku disini. Kalau aku ga melanggar, lalu apa kerja Pembina coba?”, tukas Rohman.
                “Kacau.kacau.kacau. ndak tega aku melihat rakyat kau nantinya man. Ckck”
                “By the way, Di. Cita-citamu apaan?” Rohman balik bertanya.
                “Apa ya? Jadi menteri kesehatan kali ya?”
                “Apa? Menteri kesehatan?” Ridwan terkejut.
                “Iya. Mang kenapa?”
                “Bisa berdebat semua orang sakit dengan dokter tentang penyakitnya ntar. Haha.”
                “kok gitu?”
                “ya iya lah. Wong kamu ga pernah berhenti berdebat kalau dah bicara.”
                “Itu namanya diplomatis, mas.”
                “Diplomatis atau sok diplomatis?? Haha”
                “Tapi kamu lebih cocok jadi menteri politik dan HAM deh, di.”
                “Kok bisa?”
                “Kan keahlianmu mempengaruhi orang dengan tetek bengek yang kau punya”
                “Oh tidak bisa. Saya mau jadi menteri kesehatan. ckck”
                “Kau apa wan?”
                “Aku mah pengen jadi Enterpenuer aja. Ingin membangun Riau dengan kualitas bisnis dan ekonomi yang kuat.”
                “Cie.. mulia sekali niatmu.”
                “Iya donk. Kan kita semua disini untuk Riau.”
                “Betul itu. Siapapun kita dimasa depan. Seperti apapun kita dimasa depan. Serta kemampuan apapun yang kita miliki dimasa depan. kita harus kembali ke propinsi yang telah membiayai kita. 3,5 M setiap tahun bang. Untuk mendidik anak negeri membangun negeri. Kita harus berikan yang terbaik.”, tukas Rushdi.
                “Pasti lah. Intinya kita jangan sampai jadi benalu dan gila kekuasaan. Kenapa? Untuk membangun negeri, kita perlu orang kita untuk membangun dari dalam pemerintahan itu sendiri. Tapi tak perlu banyak. Nanti berebut kuasa pula sesama kita. Ada baiknya satu saja dari kita mencalonkan diri jadi gubernur dan bupati-bupati. Setelah itu yang lain jadi bisnisman serta sebagian jadi orang pusat di Jakarta. Lalu harus ada yang jadi ilmuwan dan dokter. Kalau semua dah lengkap, kita bisa membangun propinsi ini secara bersamaan. Sama seperti mereka membangun kita secara bersama-sama.”, ridwan menyampaikan pikirannya.
                “Gua setuju banget dah.”
                “Satu Untuk Riau.”, sahut Rushdi
                “Satu Untuk Riau”, sahut mereka bertiga.
                “Tunggu dulu. UNTUK INDONESIA.” Ujar Rushdi.
                “Untuk INDONESIA” mereka mengulanginya sekali lagi.
***
                Tiba sudah hari kelulusan mereka. Setiap orang berdiri diatas bahunya masing-masing dengan masing-masing impian. Mereka akan berjuang melalui satu gerbang lagi sebelum mereka bisa membuktikan pengabdian mereka. Gerbang itu bernama UNIVERSITAS.
                Setiap orang masuk ke jurusan mereka pilih. Mereka menikmati dan berbahagia akan hal itu. Berbeda dengan Rushdi. Ia sendiri duduk kosong dalam pikirannya. Ia lulus di salah satu Perguruan Tinggi terbaik di Negeri ini. Hal yang tidak bisa ia percayai adalah ia lulus di jurusan Akuntansi. Jurusan yang sama sekali tidak pernah terbayangkan dalam pikirannya akan ia pelajari dalam hidupnya. Disinilah ia bertemu dengan Ghurar. Ghurar tergolong siswa yang pendiam di kampusnya. Tapi dari sikap pendiam ini lah yang membuat ia kenal dengan Rushdi. Semua orang tahu Rushdi adalah orang yang paling banyak bertanya jika dalam kuliah. Rushdi menjadi daya tarik bagi Ghurar karena ia melihat Rushdi sebagai orang yang energik dan tergolong berani karena berani mendebat dosen dengan pembuktian rumus matematikanya yang sebenarnya tidak perlu dilakukan dijurusan akuntansi. Rushdi bagi Ghurar terlihat sebagai ilmuwan yang tersesat di dunia Akuntansi. Tapi ketersesatannya itu lah yang memabuat Rushdi lebih baik dalam belajarnya. Memang ia bukan pemuncak. Tapi setidaknya, logika anak IPA masih melekat pada dirinya itu bisa menyelamatkan nilai-nilai nya.
                “Hei, Aku ghurar. Tingkat 3. AKuntansi.”
                “Oh kak, aku Rushdi tingkat 1. Akuntansi.”
                “kamu yang ikut PAS kan? Pre-Army for Stock Investment itu..”
                “Iya kan. Aku freshman. Baru gabung nih. Belum paham bener tentang saham.”
                “Ikut UKM apa aja dik?”
                “KRU [Klub Riset Universitas] dan klub Sastra kak.”
                “Waw, menarik. Ga kelabakan tuh?”
                “Easygoing aja kak. Secara kan kita ga sesibuk anak kedokteran kuliahnya. Ckck.”
                “Ya ela, bandinginnya ama anak kedokteran. Tapi jangan salah ya. Ntar pas kerja kita ketemu kemaslahatan umat. Salah aja kita ngasih kebijakan, bisa lumpuh negara ini. Itulah tugas akuntan untuk negara.”
                “Kakak ingin mengabdi untuk negara ya? Kan gajinya kecil.”
                “Iya. Tak masalah gaji kecil tapi kakak bisa menyumbangkan pengetahuan kakak untuk negara. Kamu ga?”
                “aku iya kak. Tapi dengan cara yang beda. Sekarang aku lagi ngembangin konsep ekonomi syariah untuk usaha kecil dan menengah. Tapi belum dapat titik terang kak. Karena kalau ekonomi syariah diterapkan, salah satu penyedia dana bagi usaha kecil, Rentenir, itu akan dilarang. Padahal di desa-desa, rentenir ini lah yang. Perbankan jarang masuk untuk mengabulkan pinjaman dalam jumlah kecil. Bank pembangunan desa pun tidak ada disetiap desa. Apalagi yang terisolir. Wah, mustahil deh kak. Sementara sih saya lagi focus ke pengembangan konsep koperasinya kak.”
                “waw, nice. Sesekali ajak kakak gabung donk dalam surveynya.”
                “Belum Survey kak. Sejauh ini masih mengandalkan data dari BPS ditambah biayanya juga terbatas.”
                “Minta permohonan dana aja.”
                “Yah, ga usah kak. Saya ga mau penelitian saya diperjualbelikan. Saya ingin 100% ini gratis untuk rakyat.”              
                “Ini dia nih yang diperlukan bangsa. Pemuda tanpa pamrih.”
***
                Dua tahun yang lalu. Indonesia mengalami resesi hebat. Inflasi melonjak naik. Pengangguran tidak dapat dihindarkan. Kemakmuran menurun. Rushdi sedang berada di Saudi Arabi menyelesaikan studi kasus Ekonomi Syariahnya dalam pengembangan ekonomi di timur tengah. Rushdi kini telah menjadi ilmuwan ekonomi.
                “Rushdi!”, sapa Ridwan dan Rohman setelah Rushdi memberikan kuliah umum di Universitas Darul Qura, Madinah.
                “Ridwan… Rohman. Assalamualaikum. Apa kabar ya saudaraku?”
                “baik kawan. Wah, sudah jadi orang pintar saja kau.”
                “Ah.. tidak lah. Aku masih cecurutnya saja. Kalian bagaimana? Apa yang kalian lakukan di Saudi ini?”
                “Wah, Alhamdulillah Di. Seperti mimpi kita, Aku sekarang jadi Gubernur dan Rohman sekarang jadi Diplomat negara kita.”
                “Waduh waduh. Sudah sukses saja dua sahabatku ini. Bagus sekali.”
                “Apa cerita seorang gubernur dan diplomat datang ke Saudi?”
                “MInum dulu yuk. Ke restoran padang kita.”
                “Restoran padang? Ada emangnya di Madinah?”
                “Ada lah. Orang padang itu ada di seluruh dunia. Ckck.”
                Sesampainya di restoran padang mereka memesen ruangan VIP.
                “Sampai mesan ruangan VIP segala. Kaya bener lah kawan-kawan aku ini.”, sambung Rushdi.
                “Ya ela. Kayaan kau di. 26 perusahaan internasional serta investasi di beberapa negara. Serta menjadi ilmuwan ekonomi ternama. Apa kurangnya coba?”
                “Ah, berlebihan kamu, wan. Oh ya, ada apa?”
                “Makan dulu donk.”
                “Ok”
                “Gini, kamu tahukan kondisi negara kita hampir masuk ke jurang resesi. Kita ditugaskan untuk ngebawa kamu pulang.”
                “Kenapa?”
                “Kondisi politik yang tidak stabil serta perekonomian yang gonjang ganjing menghasilkan keputusan pemilihan umum yang dipercepat di. Semua elit politik sudah setuju, siapapun presidennya nanti, mereka akan memanggil kamu sebagai mengeri koordinataro perekonomiannya. Ini kesempatanmu untuk mengabdi bagi negara di.”
                “Aku sudah dibuang.”
                “Di, peristiwa 8 tahun yang lalu di Indonesia yang tidak menerima gagasanmu itu aku bilang salah. Mereka salah Di. Buktinya pemerintahan mereka goyang dan pemilihan umum dipercepat. Negara butuh kamu Di. It’s Ok kamu tersinggung. Tapi jangan kamu korbankan rakyat Indonesia Di.”
                “Indonesia punya banyak ekonom yang lebih ahli dari pada aku.”
                “Ya memang. Tapi tidak ada yang secinta engkau terhadap INDONESIA.”
                “Semua penelitianmu. Semuanya objeknya INDONESIA. Meski pemerintah tidak mendengar peringatan darimu. Tapi rakyat mendengarmu Di. Ini bukan keinginan elit politik saja. Ini untuk Rakyat Di.”
                “Kau punya nama di dunia internasional. Jika kau jadi menteri, Indonesia akan mulai dipercaya lagi. Kau tahu tahu apa efeknya? Investasi akan meningkat.”
                “Ya ya ya ya. Investasi meningkat, suku bunga turun, pengeluaran agregat naik. Pendapat masyarakat naik. Sikap konsumerisme terkendali. Citra. Memang Citra.”
                “Memang cara yang tidak elit. Tapi negara butuh kamu.”
                “Ingat janji kita bersama di Parkiran ujung kampus kita, Di?”, sambung Ridwan.
                “ Satu untuk Riau. Untuk Indonesia. Ya aku ingat.”
                “Sekaranglah membuktikan janji itu.”
                “Sekaranglah waktunya, Di!”
                “Let’s do it!”
                 Yah!!!!
***

                “Rar, ini semua penjelasanku tentang kebijakanmu. Disini aku menawarkan opsi kalau kita membangun infrastruktur di pedesaan. Mungkin akan sedikit controversial. Tapi ini akan memacu migrasi juga. Penduduk kota akan berbondong-bondong mencari kerja untuk pembangunan desa. Hasilnya apa, Transmigrasi dengan biaya minimal. Selain kita mendapat kenaikan pada pengeluaran agregat, kita juga dapatkan pembangunan social masyarakat. Simplenya, sekali dayung 2 – 3 Pulau terlampaui. Inflasi naik beberapa persen tapi akan mendorong penerimaan tenaga kerja. Suku bunga naik akan menambah jumlah tabungan yang berarti jumlah uang yang tersedia untuk dipinjamkan untuk Investasi naik. Dan bingo! Untuk sementara, kita akan membangun dengan pesat. Untuk inflasi sendiri, tidak perlu dikhawatirkan karena Bank Sentral akan melakukan Operasi pasar. Jadi Inflasi akan terkendali secara maksimal dengan pembangunan maksimal yang kita lakukan.”
                “Kau tahu kenapa elit politik memilihmu sebagai menteriku? Karena kau seorang yang berobsesi tinggi serta peduli pada rakyat Indonesia. Dan itulah yang dibutuhkan bangsa ini. Kita bangun Indonesia. Karena Indonesia bisa.”
                “Indonesia Bisa!”

Komentar

Postingan Populer