Instagraming

Sofyan, Terima kasih (Sebelum Pergi, Ia bersama Tuhannya) [by. Riyan Al Fajri]


                Subuh ini kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri sosok tubuh lusuh sedang berdiam diri di mesjid. Bermunajat mengharap kasih dan ampunan Rabbnya.
                7  Januari 2009,
                “Hei, Kub. Melamun saja antum ini. Orang-orang udah pada ngumpul tuh. Ayo mulai acaranya!”
                Lamunanku terhenti saat Rahmat menyapaku. Hari ini adalah acara keagamaan disekolah ana. Seperti biasa, ana selalu dikorbankan untuk jadi Host untuk sebuah acara karena satu alas an simple. “Yakun, antum kan pernah bawa acara dan tata bahasa antum lebih bagus dari yang lain. Antum jadi pembawa acara ya untuk acara kali ini.” Satu alasan yang sama untuk semua acara yang aku pimpin.
                “Ndeh, acara agama terus ma. Bosan aku. Apa gunanya sih? Siswa juga ga mendengarkan. Parah Rohisnya nih. Bikin acara seenak perutnya.” Cetus Sofyan berada 3 langkah didepanku. Mungkin dia dan teman-temannya tidak sadar bahwa ana ada dibelakangnya.
                Ketika acara dimulai, “Sahabat sekalian, cinta kepada Allah bisa dibuktikan salah satunya dengan kalian berbahagia berada dalam majelis Allah. Dan sekarang, kita semua berada di majelis Allah. Tempat dimana terjadi perpindahan ilmu. Dari seorang yang Alim kepada seorang yang faqir. Kesabaran dan keuletan kalian dalam menimba ilmu di acara ini akan membuktikan sejauh mana kalian rela untuk meluangkan waktu kalian demi berada dalam majelis-majelis Allah yang lain disuatu masa nanti.”
                “bullshit. Tak penting sekali dia bilang seperti itu. Bentuk sudah baik saja dirinya”
                “Sahabat sekalian, jika suatu masa kalian akan dikatai oleh sahabat kalian sebagai orang yang sok alim atau sok taat, jangan lah minder. Jawablah dengan senyuman, “orang yang sok alim seperti aku saja belum pasti masuk surga. Apalagi kalian yang sok kufur?””
                Sudah tidak terdengar lagi ocehan kecil itu dari sudut sofyan duduk bersama teman-temannya. Setelah ana rasa cukup mengobok-obok ocehan mereka, ana mulai acaranya.
                Keesokan malamnya, sofyan yang ketus melangkahkan kaki menuju mesjid. Ia melakukan shalat isya berjamaah bersama dengan jamaah lain. Seperti biasanya, ana bersama 3 orang sahabat ana berkumpul dulu sharing ilmu dan evaluasi diri setelah isya di mesjid. Pemandangan yang tidak biasa adalah sofyan juga ada disini tetapi tidak berada satu lingkarang dengan kami. Namun ia berada dalam lingkaran sharing kelompok lain bersama seorang mahasiswa fakultas tarbiyah semester 6 dan 3 orang siswa SMA ini. Kami dalam yang sibuk melakukan evaluasi untuk hari itu sedikit terganggu dengan teriakan-teriakan sofyan yang sepertinya ia sedang berdebat dengan si mahasiswa. Tak lama kemudian sofyan mempraktekkan shalat sunnah.
                “seperti itu shalat sunnah itu.”
                “Cara mengangkat tangannya lemes gitu? Tak sempurna gerakannya.”
                “nde, biasa ini. Banyak orang juga seperti ini”
                “Banyak dilakukan orang bukan berarti benarkan? Jika benar, berarti jika banyak orang berzina, berarti zina itu dihalalkan kan?”
                Ketika ia rukuk, ia juga diprotes. Banyak dari gerakannya yang diprotes. Setelah itu ia membaca beberapa ayat. Juga seperti itu. Tetap diprotes.
                “susah kali islam tuh ma. Banyak kali aturannya.”
                “siapa bilang susah? Kalau susah, tak mungkin ada orang yang bisa melakukannya.”
                “tapi sedikitkan yang bisa?”
                “wajar donk sedikit, kan. Kan manusia lebih cinta dunia ketimbang akhiratnya.”                
                Sejak kejadian itu, Sofyan juga belum berubah. Ia masih ketus. Tidak terlihat sedikitpun perubahan dalam dirinya. “Semoga Allah memberikan hidayah kepadanya dengan cara yang tidak terduga”, doa ku dalam hati setelah mengakhiri shalat isya malam ini.
***
                “Creng…creng…”, jam ana berbunyi.
                “sial. Udah pukul 04.00. ana belum mandi lagi. Hari ini ana mau dapat azan. So harus duluan kemesjid. Kalau datangnya jam 4 begini pasti tak ada orangnya.”               
                Setelah mandi dan selesai semuanya, ana langkahkan kaki menuju mesjid tepat pada pukul 04.30.
                “Kayaknya subuh ini dapat pahala orang shalat nih. Masa sahabat ku saja yang selalu dapat pahala orang shalat? Saya juga mau ma. Apalagi 2 minggu lagi UN. Udah lama tak azan subuh. Mungkin sekarang waktu yang tepat. hehe”
                Sampai dimesjid,
                Dalam hati ku berkata, “loh? Lampu mesjid kok masih nyala? Wah, kalah start ana ini. Kalau tak irfan pastilah zulkarnain yang udah disana. Gagal nih meraup pahala banyak subuh ini.”
                “loh siapa itu? Dia tidak seperti irfan atau sahabat ana lainnya? Ada orang luar ya? Ya kesempatana ana sudah diambil dia, shalat sunnah aja dulu ah.”
                Ana dekati ia, “Sofyan?”
                Ana terkejut bercampur senang bercampur bingung. Apa drama yang terjadi subuh ini? Sofyan yang sering datang shalat jamaah masbuk sudah ada disini sendiri dijam segini. Subhanallah. Alhamdulillah. Wallahu Akbar.
                “Eh, yakub. Apa kabar? Gimana tidurnya malam ini?”
                Santun, berwibawa, dan menenangkan. “ana baik. Semua berjalan dengan baik sesuai kehendak Allah. Btw, tumben sekalin antum datang cepat kemesjid? Apalagi jam segini kan? Tobat mau UN ya? hehe”
                “antum bisa saja, akhi.”
                Subhanallah. Bahasanyapun sudah berubah. Sudah pakai arab-arab pula. Ana yang sudah berusaha bicara seperti ini saja belum bisa menyesuaikan dengan baik.
                “Ana sudah bertaubat tadi malam. Ana telah berjanji pada Allah bahwa ana akan berubah menjadi lebih baik. Oleh karena itu, ana mohon ampun padanya.”
                “Alhamdulillah. Ini kabar baik untuk subuh seperti ini, akhi.”
                “Kisahnya gimana, akhi?”
                “nanti ana ceritakan. Waktu shalat sudah mau masuk. Oh ya, akhi. Izinkan ana yang azan subuh ini ya. Ana ingin merubah diri ana nih. Ana butuh latihan.”
                “silahkan.”
                Niatku untuk azan subuh itu malah tergantikan oleh kebahagiaan. Memang untuk urusan ibadah kita dianjurkan mendahulukan diri sendiri dari pada orang lain. Sedang mendahulukan orang lain adalah makruh, tapi subuh ini ana hanya ingin melihat sofyan menjadi seorang terbaik. Sehingga ana bisa menjadi saksi hidup bertaubatnya teman ana ini dan ketika di akhirat nanti dipertanyakan tentang taubatnya ia, ana siap menjadi saksi akan hal itu kepada Tuhan.
***
                Subuh telah habis. Tiba saat yang ana tunggu. Cerita bertaubatnya sofyan.
                “Assalamualaikum, akhi.”
                “’Alaikumussalam. Saya sudah tidak sabar nih akhi.”
                “Terlihat begitu penting sekali kisah ana ini bagi akhi?”
                “Tentu. Jika tahu kisah akhi, ana bisa sebarkan kepada sahabat yang lain. Insya allah akan jadi teladan bagi yang lain.”
                “Begini akhi. Ana jatuh cinta pada seorang wanita. Suatu hari ana ungkapkan rasa ana itu. Dia menggantungkan jawabannya. Beberapa hari ana tunggu, ana putuskan untuk bertanya langsung kepadanya.”
                “lalu?”
                “dia bilang seperti ini, “Sofyan, berubahlah. Jika kamu berubah, aku akan buka hati ini untukmu.” Berubah. Kata-kata itu membayangi ana selama 2 hari terakhir ini akhi. Apa yang harus ana rubah? Piker hati ana. Padahal ana sudah mencintainya dengan tulus. Lama ana renungkan, akhi. Ternyata ana lupa dengan akhirat ana. Pesan wanita itu ternyata menginginkan ana untuk ingat masalah akhirat ana. Sungguh ana sudah terlampau jauh dari Allah. Jika ditanya apakah ana cinta kepada Allah, ana bisu akhi. Ana tidak merasakan hal itu sama sekali. Lalu bagaimana ana bisa menolong orang tua ana di akhirat kelak? Bagaimana ana bisa bahagia dengan Allah, akhi?”
                “Pintu taubat selalu terbuka, sofyan.”
                “ya, itu lah yang ana piker. Sebelum semua terlambat. Sebelum kesempatan menjadi pemuda yang dirindu surga tertutup. Ana harus berubah akhi.”
                “Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, "Tujuh orang yang dilindungi Allah dalam naungan-Nya pada hari tidak ada naungan selain naunganNya. Yaitu,
·         imam (pemimpin) yang adil,
·         pemuda yang tekun beribadah kepada Tuhannya
·         orang yang hatinya terpancang (terpaut) di masjid
·         dua orang yang saling mencintai karena Allah yang berkumpul dan berpisah karena Allah
·         seorang laki-laki yang diminta (diajak) oleh oleh wanita yang berkedudukan dan berparas cantik untuk memenuhi nafsunya namun ia menjawab, 'Sesungguhnya saya takut kepada Allah'
·         seorang laki-laki yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dinafkahkan oleh tangan kanannya
·         dan seseorang yang berzikir kepada Allah di tempat yang sunyi lalu matanya mencucurkan (air mata)."
Semoga kita termasuk orang seperti ini akhi.”, ungkapku.
“bantu saya untuk berubah ya akhi.”
“kita saling membantu. Saya bahkan masih sangat faqir.”
“oh ya, Lalu bagaimana dengan wanita itu?” lanjutku.
“semoga ia mendapatkan pria terbaik menurut allah, akhi.”
“apakah antum bertaubat ini karena dia? Saya takutkan nantinya antum rugi akhi.”
“kenapa?”
“Hadits riwayat bukhari muslim, “Sesungguhnya amalan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barang siapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya (akan diterima) sebagai hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang hendak dinikahinya, maka ia akan mendapati apa yang ia tuju.”
“Astaghfirullah. Ana akan perbaiki niat ana. Terima kasih akhi.”
***
                Waktu berjalan tanpa bosan dan tanpa bisa dihentikan. Kami sudah berpencar kemana-mana. Sudah masuk masa kuliah. Hal yang membuat ana bangga adalah Sofyan. Sejak peristiwa taubatnya itu, ia menjadi teduh. Sepertinya Allah menerima taubatnya. Dan mungkin saja ini yang dinamakan taubat nasuhah itu. Ana jadi iri. Tapi ana bangga bisa jadi saksi hidup kisah ini. Bersama sebelum tamat SMA ana dan ke 7 sahabat ana bersama sofyan menimba ilmu agama. Persaingan untuk azan dimesjidpun jadi bertambah. Jika sebelumnya ada 5 orang, dan karena satu orang Drop Out, maka tinggal 4 orang. Sekarang setelah hadirnya sofyan, jumlah itu tetap 5. 2 sahabat lagi tidak ikutan dengan kami. Karena mereka berdua lebih sering jadi imam shalat. Ana pahami itu karena diantara kami mereka lah yang paling bagus bacaannya dan paling banyak hafalannya. Bersama selama 1 bulan kami bertukar pikiran. Seharusnya kami yang mengingatkan Sofyan, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Ilmu yang dasar malah sofyan yang mengingatkan seperti menjaga wudhu yang merupakan ciri ahli surge dan lainnya. Subhanallah, engkau adalah rahmat dari Rabb, ya Sofyan.
                Suatu ketika, sofyan jatuh sakit. Semua berdoa untuk kesembuhannya.
                “Sofyan, semoga Allah memberikan yang terbaik bagimu. Karena sungguh Allah tahu yang terbaik untukmu sahabat.”
                2 hari setelah pesan itu ana sampaikan, Sofyan menghembuskan nafas terakhirnya dalam kalimat La Illaha IllAllah. Muhammadurrasullah.
                Bersama Allah memanggil Sofyan. Memanggilnya dalam kepasrahan kepadanya. Menjadi seorang pemuda terbaik. Dan menjadi yang semoga menjadi pemuda yang dirindukan surga.
                “Sofyan, Semoga Allah selalu mencintaimu seperti kami mencintaimu. Salam rindu dari sahabatmu.”
Bunga itu telah pergi.
Bunga yang memberikan keharuman setiap subuh
Bunga yang melembutkan kasih dalam harapan
Menemani sejuk dan dingin
Berhawakan mentari bersulam emas
Bersamamu
Dalam singkat, kami rasakan indahnya iman itu bunga.
[didedikasikan untuk sahabat terbaik dan sahabat seperjuanganku, Almarhum Yudi Sandya. Semoga Allah memberikan keindahan Akhirat kepadamu, sahabat. Kurasakan senyumanmu dari alam sana. Semoga Aku juga dipanggil dalam keindahan engkau dipanggil oleh Allah. Amin]

Komentar

Postingan Populer