Instagraming

Anak-Anak itu tidak bersekolah (Hari Kelahiran Pancasila)


Well, apa kabar teman-teman? Semoga saja dalam keadaan baik dan sejahtera. Kali ini saya mengajak teman-teman menikmati kenyataan yang sedang kita hadapi. Ya, kenyataan. Kita semua berada diantara pilihan untuk maju dan kenyataan yang kita hadapi. Terkadang itu bisa begitu saling mendukung, namun bisa juga saling meniadakan. Sebagai contoh kecil saja, ada sebagian teman-teman yang baru menyelesaikan pendidikan SMA nya sekarang menghadapi hal ini. Mereka punya pilihan untuk berjuang masuk perguruan tinggi tapi mereka juga dihadapkan dengan kenyataan bahwa kondisi keuangan keluarga mereka yang tidak mengizinkan mereka. Pilihan yang sulit tentunya.

                Contoh lainnya adalah sebuah kejadian sedikit menyentuh hati saya beberapa waktu yang lalu dihari Sabtu ketika saya sedang menuju ke Terminal Lebak Bulus Jakarta Selatan. Saat itu saya naik angkot. Naiklah seorang anak kecil, saya taksir umur anak itu sekitar 5 sampai 7 tahun. Saya kira dia akan menumpang angkot yang sama dengan saya dan menujur terminal untuk melanjutkan perjalanan tapi ternyata dia memberikan saya dan penumpang lainnya sebuah amplop putih yang kecil. Lalu dia menepuk tangannya sambil bicara kecil yang saya tidak jelas mendengarnya. Yakinlah saya bahwa ia akan minta sumbangan. Sebenarnya saya tidak terganggu jika ada yang melakukan itu karena tentu saya tidak akan memberikan “uang” sedikitpun untuk mereka karena di Pekanbaru ada Peraturan Daeraj yang melarang memberikan uang pada pengemis. Tapi karena ini Jakarta, saya tidak tahu aturannya secara gamblang, saya berikan beberapa rupiah. Yang mengganggu pikiran saya adalah kenapa anak seusia dia berada diluar rumah dijam sekolah? Saat itu masih jam 08.00. bukankah pemerintah republik sudah mewajibkan pendidikan 12 tahun? Kenapa? Apakah program ini tidak berjalan di Jakarta? Saya tidak percaya. Ini ibu kota, kawan. Orangnya jauh lebih maju dari pada kampung saya. Dikampung saya saja anak-anak dibawah 12 tahun dicari-cari untuk disekolahkan. Ini masa dia harus mengemis dijalanan disaat dia harus sekolah? Kita harus pertanyakan ini pada pemerintah, ”Dimana keadilan untuk mereka? “

Akan ada selentingan yang berbicara seperti ini, “Pemerintah sudah berusaha sekuat tenaga, mereka saja yang tidak mau. Alasannya mereka tidak butuh pendidikan, mereka butuh makan”. Tidak salah. Kesalahan bisa muncul dari segala sisi. Akan tetapi, bukan itu masalah utamanya. Pemerintah bukan hanya sekedar melayani apa yang dibutuhkan masyarakat, tapi juga menyiapkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dimasa depan. 

Menyalahkan pemerintah juga pun tidak terlalu berguna saat ini karena kenyataannya mereka tidak bersekolah meskipun kita sudah menyalahkan pemerintah. Kita butuh langkah kongkret. Saya tertarik dengan sebuah film diperbatasan Indonesia-Malaysia di utara Kalimantan yang berjudul “Batas”. Ada lembaga yang mensponsori pendidikan di tanah dayak. Pendidikan gratis untuk anak rimba didaerah perbatasan. Andai kata lembaga-lembaga ini lahir menjamur di Indonesia, pendidikan untuk mereka akan sangat terbantu.

Kita harus concern dengan pendidikan mereka karena kita ini satu bangsa. Saya yakin mereka ingin belajar, ingin sekolah, tapi keadaan yang memaksa mereka memilih untuk mengemis, memilih untuk menjual es keliling, memilih untuk menjadi pengamen, memilih untuk bekerja diladang membantu orang tua mereka. Kita harus tanamkan kepada mereka tentang arti kehidupan dan batas-batas kehidupan karena mereka generasi harapan Indonesia. Mereka adalah asset kita. Jangan sia-siakan. Jika mereka bingung antar pilihan untuk maju atau kenyataan hidup, kita harus meyakinkan mereka bahwa mereka tidak sedang bingung memilih pilihan untuk maju atau kenyataan hidup yang harus mereka hadapi tapi mereka memiliki pilihan untuk maju untuk menghadapi dan merubah kenyataan hidup mereka. Untuk Indonesia, untuk keadilan, untuk kita semua.

“dalam segala kondisi, kita bukan memilih antara pilihan atau kenyataan tetapi kita punya pilihan untuk menghadapi dan mengubah kenyataan hidup.”

Keadilan untuk Pendidikan untuk anak 12 tahun, Hari Kelahiran Pancasila, 1 Juni 2011.

Komentar

Postingan Populer