Anak-Anak dan Impian mereka (Riyan Al Fajri)
“Aku ingin jadi Dokter!”
“Aku ingin jadi Presiden!”
“Aku ingin jadi Pilot!”
Sahut anak-anak dengan lucu di sekolah. Setiap anak memiliki cita-cita. Mere ka menemukan cita-cita itu dengan berbagai cara. Ada yang dengar-dengar dari kawan, ada yang dari televisi, ada yang dari buku komik bahkan ada yang mendapatkan cita-citanya dari film kartun. Cita-cita itu lahir menyentuh sanubari mereka. Cita-cita itu berkata, “Hei, kawan. Ayo kita bermain. Kalau kamu bisa menjadi aku, kamu pasti bahagia”.
Perlahan. Perlahan. Cita-cita itu tumbuh menguat. Anak-anak merangkai senyumannya bermain bersama sahabat dengan setumpuk cita-cita di punggung mereka. Mereka memupuk cita-cita itu.
“Ayo, kita main polisi-polisian”, sahut seorang anak.
“Loh kenapa? Kan bosan main polisi-polisian terus”, sahut yang lain.
“Ya. Main polisi-polisian ya. Soalnya aku mau jadi polisi. Nanti aku tolong kamu”.
“Tapi aku ga mau jadi polisi. Aku mau jadi presiden”.
“Ah, ga apa apa. Aku jadi polisi nya, lalu kamu presidennya. Kamu kasih perintah deh ke aku.”
“Eh iya ya, ok. ^_^”
Di pupuk. Dipupuk. Dipupuk. Cita-cita itu terus dipupuk dalam permainan-permainan yang kita anggap aneh. Ya aneh bagi orang-orang yang sudah dewasa seperti kita. Mereka mencoba mengembangkan cita-cita mereka dengan perbuatan mereka sehari-hari. Coba kita lihat lagi beberapa orang anak kecil yang hobi bermain mobil, ia akan senang mengatakan, “brummm. Brummm. Mobil super mau lewat. Awas. Awas. Brummm”. Masa anak-anak membesarkan cita-cita mereka.
Akan tetapi seiring tumbuhnya anak-anak itu muncul masalah. Ada masalah yang muncul dari mereka sendiri yakni hilangnya kepercayaan diri, ada yang muncul dari system yang mendidik mereka atau bahkan muncul dari orang tua mereka sendiri.
Beberapa anak-anak takut menunjukkan diri mereka kepada umum. Mereka terkadang bersembunyi dibawah bayang-bayang ketidakmampuan alam pikiran mereka. Mereka ingin tetapi tidak ada yang mendukung mereka. Ketika mereka berdiri sendiri, mereka ketakutan. Bahkan cita-cita menjadi presiden pun bisa pupus hanya karena tidak ada kepercayaan diri. Andai pada saat mereka butuh dukungan ada yang berkata, “Anakku, lihatlah kelelawar yang terbang di langit malam itu. Tidak peduli langit menjadi gelap, ia tetap terbang. Anakku, lihatlah kura-kura yang jalannya begitu lambat, meski ia lambat berjalan, ia bisa berenang dengan kencang di dalam air. Anakku, lihatlah semut itu. Badannya kecil, tapi kok bisa mengangkat benda yang lebih besar daripada dirinya ya?”. Andai orang-orang dewasa disekitar mereka ada yang mengatakan itu.
Anak-anak meyakini bahwa suatu hari nanti mereka bisa mencapai cita-cita mereka. Ya cita-cita mereka untuk jadi polisi, cita-cita mereka untuk jadi pelaut, dan cita-cita mereka lainnya. Keyakinan mereka mengantarkan mereka pada sekolah. Mereka yakin dengan sekolah mereka akan bisa mewujudkan cita-cita. Akan tetapi, andai sekolah menjadi lahan bisnis, bagaimana cita-cita anak dari keluarga yang tidak mampu? Cita-cita mereka hanya akan menjadi seperti air yang mengalir disungai. Segar dan suci di hulu dan hilang tak bergelombang di hilir. Perlahan akan mengkikis hati mereka dan mengotorkan kesucian itu. Akan tetapi, andai sekolah mengajarkan anak-anak untuk curang, bagaimana cita-cita anak-anak yang ingin jadi polisi dan hakim? Mereka ingin menegakkan kebenaran tapi. Tapi. Tapi. Mereka dididik bukan dengan kebenaran. Andai sekolah tempat yang tepat bagi mereka untuk bisa mewujudkan cita-cita.
Anak-anak dengan polosnya berkata, “Eh, besok kalau aku jadi dokter, aku pengen bantu orang miskin yang sakit seluruh dunia”. Mereka menyimpan cita-cita mereka dengan rapat dan memupuknya dengan segala upaya. Akan tetapi, tumbuhnya usia mereka, ayah dan ibu datang kepada mereka menyodorkan cita-cita yang mereka sendiri tidak punya pikiran untuk ke sana. Ayah dan ibu mengatakan, “Anakku, kamu kan sudah SMA. Ayah pengen kamu ambil jurusan bisnis agar bisa melanjutkan bisnis keluarga. Kamu yang rajin ya belajarnya”. Siapa anak yang berani menolak permintaan orang tua yang disampaikan dengan penuh harapan? Andai mereka tahu apa yang ada di dalam hati anak mereka.
Anak-anak dan segudang cita-cita mereka. Melihat kedepan dengan penuh harapan. Mereka menitih impian. Satu per satu dengan usaha dan kemampuan mereka. Tetapi terkadang tidak ada yang mendukung mereka. Tetapi terkadang sekolah menghancurkan mereka. Tetapi, terkadang orang tua merusak impian mereka. Anak-anak memiliki impian. Lalu kenapa harus ada yang merusak impian-impian itu? Kenapa anak-anak tidak dibiarkan meretas impian mereka hingga keujung dunia dengan bebas?
Siapa yang salah jika mereka sudah tidak memiliki impian?
Anak-anak dan impian mereka bukan sekedar obsesi dan cita-cita kosong. Cita-cita itu adalah impian yang membentuk mereka. Membentuk siapa mereka. Dengan kebahagiaan dan dengan senyuman.
[Riyan Al Fajri. Dalam ketidakkhusukan shalat maghrib ini. 21 Juni 2011. 19.43 WIB]
[Riyan Al Fajri. Dalam ketidakkhusukan shalat maghrib ini. 21 Juni 2011. 19.43 WIB]
Komentar
Posting Komentar