Instagramming

Ketika Pengemis Punya Shif Kerja (Riyan Al Fajri)



                Judul di atas terlihat begitu lebay untuk dimaknai secara sempit. Bagaimana mungkin pengemis ada shif kerja? Seperti karyawan toko saja. Namun kali ini saya benar-benar ingin memaknai judul di atas secara sempit. Kenapa? Hal ini terjadi karena temuan saya selama beberapa minggu terakhir ini. Berikut kisahnya.

                Sejak duduk di bangku kuliah di semester 1, sebagai seorang rantauan baru di Jakarta saya membuat daftar rencana tempat yang akan saya kunjungi secara berkala setiap minggunya. Temuan menarik pertama saya tidak terjadi secara tiba-tiba dengan rencana yang saya buat itu. Beberapa minggu saya melakukan perjalanan keliling ibu kota saya tidak memperhatikan hal yang begitu aneh dalam setiap perjalanan saya karena kebetulan saya tipe orang yang tidak terlalu peka terhadap lingkungan baru yang saya singgahi. 

Temuan menarik baru saya temui ketika saya berencana untuk mengunjungi bogor untuk kali pertama dalam hidup saya. Ini terjadi di semester 2. Pagi pukul 6.00 saya berangkat dari kosan menuju bogor dengan memulai perjalanan dengan jalan kaki melalui trotoar di Jalan Bintaro Utama Sektor 3A. Mata saya cukup terganggu melihat seorang wanita tua yang mengemis di trotoar itu. Sudah 1 semester saya selalu bertemu dengan wanita ini mengemis disini. Muncul sebuah pertanyaan yang mengganggu pikiran selama perjalanan. Apakah tidak terjadi perubahan apapun pada kesejahteraan wanita tua ini? Padahal beberapa waktu lalu ada pemilukada di kota ini. Apakah dia tidak dilirik oleh calon-calon yang ada untuk dibantu untuk menaikkan pamor mereka?

                Saya berpikir dari pada saya memikirkan wanita tua itu lebih baik lupakan saat itu. Saya kan ingin bertamasya, kenapa harus merusak hari itu dengan pemikiran  yang tidak terlalu penting? Alkisah puaslah saya berkeliling Kota Bogor dalam 1 hari yang singkat. Saya pulang. Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 21.00. saya berjalan di trotoar yang sama pada malam itu. Tahu apa yang saya temukan? Pada titik dan tempat yang sama wanita tua tadi duduk dan mengemis sekarang digantikan oleh seorang pria tua. Saya berpikir seketika, “hm, mungkin ibu tadi cari tempat lain dan kebetulan bapak ini ketemu posisi ngemis yang pas. Positif thingking saja lah.”

                Minggu berikutnya saya berencana keliling Jakarta. Dan saya menemukan hal yang sama. Pagi ada wanita tua, malam ada Pria tua yang mengemis. Kebetulan sekali saya kosong kuliah pada hari rabu. Isenglah saya mengobservasi kejadian kecil ini. Tahu apa yang saya temukan? Pagi hari pria tua, dan malam wanita tua yang mengemis. Kemudian saya berpikir, apa sebenarnya yang terjadi disini. Kenapa bisa berubah orang-orangnya? Apakah pria dan wanita ini berhubungan? Hampir satu bulan saya mondar mandir pagi dan malam pada waktu libur saya di tempat ini untuk memastikan hal ini. Yakinkanlah saya bahwa mereka memiliki waktu tertentu pada titik yang sama untuk mengemis. Saya meyakini mereka punya schedule yang terbagi bagaikan jam kerja karyawan dalam mengemis di tempat tersebut.

                Dari masalah pengemis yang unik ini, alam pikiran saya bertanya apa yang sebenarnya terjadi disini? Siapa mereka? Kenapa mereka bisa mengatur jadwal mengemis di titik yang sama? Apa hubungan mereka? Suami-istrikah? Atau pengemis yang berafiliasi dan membentuk suatu asosiasi? Pertanyaan ini saya rasa cukup menggelikan untuk dijawab. Akan tetapi, pertanyaan diataslah yang menunjukkan masalah apa yang sebenarnya ada pada masyarakat kelas bawah di Indonesia. Saya memiliki sebuah hipotesis dalam hal ini. Saya menyangka para pengemis itu menjadikan profesi pengemis sebagai bisnis yang akan mendatangkan mereka pendapatan yang tetap. Yang perlu mereka lakukan adalah duduk dan mengadahkan tangan dengan pakaian lusuh dan robek untuk menarik simpati orang yang lewat. Jika benar hipotesis saya ini, teranglah Indonesia tidak hanya sedang menghadapi masalah disintegritas dengan muncul rumor tentang NII saja tapi juga menghadapi persoalan moral yang menyentuh lapisan bawah masyarakat.

                Ketika mengemis menjadi bisnis, dimana letak harga diri untuk dipertahankan? Tidakkah ini akan menjadikan bangsa ini perlahan menjadi bangsa pengemis? Semoga ini hanya menjadi bayang-bayang yang tidak pernah terjadi. Lalu apa solusi dari hal ini? Kan tidak mungkinlah kita mengkritisi suatu hal tanpa memberikan solusi. Apakah solusi yang terbaik adalah membumi hanguskan seluruh pengemis? Saya rasa tidak, ini bertentangan dengan norma pancasila. Lalu bagaimana? 

                Dalam mencari solusi untuk masalah unik ini, saya mengapresiasi tinggi Perda Kota Pekanbaru yang melarang pemberian uang pada pengemis di tepi jalan. Saya rasa ini cukup recommended untuk diterapkan tetapi dengan catatan pengemis dan gelandangan dicari, dikejar, ditangkap dan dibina oleh dinas social atau dinas yang terkait untuk bisa berkarya di masyarakat. Setidaknya mereka bisa diajarkan menjahit, memasak, atau kegiatan usaha kecil lainnya. Penjara saja punya usaha bisnis untuk membina narapidana, masa dinas sosial tidak ada? Semuanya harus dimulai dari sekarang dengan dukungan seluruh elemen. Mulai sekarang STOP MEMBERI UANG PADA PENGEMIS. Laporkan mereka pada dinas terkait. Insya allah itu akan lebih baik bagi mereka. Apalagi ini ibu kota Negara. Propinsi dengan APBD terbesar di Indonesia. Lalu kenapa tidak menyisihkan sedikit uang untuk membina para pebisnis pengemis ini?

“Ketika Pengemis sudah menjadi profesi dan keahlian. Dimana letak harga diri untuk dipertahankan?”

Riyan Al Fajri. Duduk diantara kumpulan kabel-kabel di malam yang sunyi. 11 Juni 2011.

Komentar

Postingan Populer