Instagraming

Catatan Mahasiswa Galau: Asa Seorang Supir Taksi (RIyan Al Fajri)

                Setelah hampir sebulan lebih mendekam di rumah tercinta pasca liburan sekolah, aku kembali tergerak untuk berangkat menuju proses yang saya inginkan untuk menjadikan siapa saya dimasa depan. Perjalanan dimulai dari sebuah kota kecil (kota?) Duri. 160 Km dari Pekanbaru. Mobil Xenia merah papa membawa saya menuju Bandar Udara untuk terbang ke Jakarta siang ini. Sepanjang perjalanan, ya seperti biasa, papa selalu memberikan wejangan kepada anak sulungnya ini. Setelah sampai di Jakarta, ambil bagasi, beli tiket. Well, tinggal pulang ke kosan. Ya setidaknya itulah kebiasaan saya kalau dari bandara jika masih sore. Namun sayang seribu sayang, bus ditunggu hingga 2 jam baru nongol. Alhamdulillah akhirnya saya tiba di lebakbulus sekitar pukul 18.35 WIB.

                “Wah, sial. Udah malam. Blu*bird, kemanakah dikau?” saya bertanya-tanya dengan membawa koper seberat 17 kg. hampir 30 menit menunggu, tak jua ada taxi blu*bird yang lewat hingga saya meyakinkan diri saya untuk naik disebuah taksi yang aku sendiri tidak tahu merk nya.

                “Pak, Ke Bintaro sector 5 ya.”

                “Oh, boleh. 50 ribu ya dik?”

                “Ha? Ga pakai argo saja pak? Argo nya ada kan?”

                “Ada dik. Tapi… gimana kalau Rp 40.000 saja?”

                Dengan menggunakan Argo, perkiraan dari lebak bulus ke kosan saya hanya Rp 25.000. muncul pertanyaan di benak saya, kenapa bapak ini ingin menaikkan harganya? Apa yang salah? Mungkin bapak ini menyangka saya adalah orang sumatera atau pelosok jawa yang pertama kali datang ke Jakarta. Jadi bisa dimainkan sedikit. Apalagi dengan jaket hitam yang selalu saya gunakan ketika masih aktif menjadi Aktivis Dakwah Kampus. Tampaklah kekunoan saya. Terekspose sekali dengan wajah yang bisa dikatakan tidak ganteng dan bentuk tubuh yang tidak atletis. Menyedihkan sekali. Namun, saya tidak mempersalahakan gaya kuno saya atau “pengkibulan” harga oleh bapak ini, saya lebih berpikir pada motif, kenapa bapak ini ingin menaikkan harganya? Saya urungkan naik taksi bapak itu lalu kembali menunggu di tepi jalan raya. Semoga saja ada blu*bird yang lewat. Taksi langganan saya kalau sudah kemalaman diluar kosan.

                Hampir 10 menit saya menunggu, lewat taksi yang lain. Tanpa pikir panjang karena sudah agak malam menurut perhitungan saya (walau pukul 19.15 belum azan isya di Duri, Riau tapi kalau di Jakarta ini sudah sangat malam sekali menurut saya) saya naik ke taksinya. Alhamdulillah, saya lihat argo si bapak hidup. Muncul lagi pertanyaan yang mengganggu kepala saya. Saya rasa ini bukan grup taksi yang seterkenal blu*bird, namun kenapa bapak ini tidak seperti bapak tadi? Awalnya saya agak ragu memulai pembicaraan karena bapaknya sudah tua sedangkan saya sangat muda (ya masih 18 tahun, itu muda kan? Hehe), saya pikir kalau ngomong sama bapak ini paling sama seperti bicara sama orang tua lainnya. Ngasih nasihat lah, wejanganlah, apalah namanya. Namun, saya sudah terlalu penasaran. Akhirnya dimulai pertualangan yang sebenarnya (istilahnya seperti itu karena saya rasa malam itu sepertinya cepat sekali saya sampaik kosan diantar bapak ini)

                “Wah, Pak, macet nih. Ga dari bandara ga sampai disini, padahal hari minggu ya pak?”

                “Oh, emang dik. Kalau daerah pinggiran Jakarta ma hari libur yang macet dik.”

                “Tak kesal dengan macet ini pak?”

                “Mau dibilang kesal, kita tak bisa buat apa-apa, mau diterima, dongkol jugalah dik”

                “Udah lebih 1 bulan saya ga balik kesini Pak. Berlibur. Hehe”

                “Adik kuliah ya? Kuliah dimana? Jurusan apa?”

                “STAN, Pak. Akuntansi.”

                “Kenapa ga ngambil Management aja?”

                Saya mulai menyedihkan posisi almamater saya, bahkan orang Jakarta saja tidak tahu menahu tentang STAN. Apalagi orang Riau? pantaslah kita dari propinsi Riau dari 5000-an lebih mahasiswa hanya ada 21 orang saja. Itupun sekarang sudah tersisa 16 orang. Karena 5 orang sudah menyelesaikan kuliahnya sebagai mahasiswa STAN.

                “Hm, Pak. Di STAN ga ada manajemen pak. Tak sama dengan tempat kuliah lain.”

                “Iya, yang sekolah Gayus itu kan?”

                Makin terlukalah saya malam ini. Benar kata pepatah, gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga. Semoga kita tidak jadi nila yang setitik itu.

                “Hm, dulunya Pak. Tapi itu kan kembali pada pribadi kita Pak” usahaku mengembalikan nama baik almamater

                “Kalau menurut saya dik, mungkin di STAN itu, yang kayak gitu Cuma Gayus aja kali ya? Soalnya yang korupsi itu ga boleh dikaitkan dengan sekolah dik. Coba lihat koruptor sekarang, itu si Nazar lulusan universitas mana? Banyak lagi yang korup, mereka dari universitas mana? Itu Cuma akal-akalan orang tak mampu lulus STAN aja makanya di jelek-jelekkannya sekolah itu.”

                “Hehe. Saya setuju itu pak.” Kebahagiaan mulai muncul dari hatiku karena si Bapak berpikir positif.

                “Tapi saya tak menyangka saja, kok masih ada anggota dewan yang korup dan pegawai negeri yang korup dik? Padahal gaji mereka udah besar-besar. si gayus ajalah, belasan juta dia gajinya. Tapi korupsi juga. Anggota DPR, puluhan juta malah, ada pula korupsi berjamaah disana. Apa kurang cukup memberikan kesengsaraan bagi orang kecil kek kami ini dik?”

                “Kurang Iman kali ya Pak?”

                “Coba kita bayangkan dik, mobil dikasih. Rumah dinas, dikasih. Gaji, besar. tapi korupsi juga. Dikau besok kalau jadi pemimpin jangan jadi kek gitu ya. Kamu calon pegawai tuh ha. Kalau jadi orang besar, ingatlah kami nih.”

                “Amin pak. Doakan saja lah Pak. hehe”

                “Jangan jadi DIluar baik tapi dalamnya busuk kayak pejabat sekarang. Gaji jalan tapi tugas tidak. Jakarta masih macet juga tapi mereka dapat gaji kan? Jakarta banjir juga tapi gaji mereka tetap kan? Kalau kita orang kecil nih dik, tak dapat penumpang tak dapat setoran, kena marah kita sama bos. Selamatkanlah kami dik.”

                “Bapak Pemerhati politik juga ya?”

                “bapak memang tidak sekolah dik. Tapi kalau dah masalah kebenaran, itu tak bisa dibohongi dik. Semua tahu. Ya kan?”

                Setelah sampai di kosan, saya lihat argo Rp 24.500.

                “berapa pak?”

                “di Argo Rp 24500 dik.”

                “Ga digenapkan saja Pak?”

                “Itu udah genap dik.”

                “OK”

                Timbul pikiran dalam kepala saya, bagaimana mungkin saya mengatakan saya seorang mahasiswa jika saya tidak bisa melebih bapak yang tidak bersekolah ini. Seorang bapak yang jujur terhadap argo nya. Seorang bapak yang meresahkan krisis negaranya. Seorang bapak yang inginkan keadilan dan kebaikan dari pemimpin bangsa. Si Bapak mungkin tidak pernah merasakan bangku sekolah, namun ia sudah lebih dari seorang yang pernah sekolah. Banyak yang sudah bersekolah tapi tidak bisa membedakan halal dan haram. Banyak yang sedang menimba ilmu tapi melakukan pengkhianatan terhadap waktu pelajaran. Banyak yang sudah terdidik tapi masih memandang “rendah” orang lain tanpa memahami hal yang terdapat pada orang lain tersebut. Apakah kita tidak perlu sekolah untuk bisa menjadi seperti si Bapak? Oh itu tidak sepenuhnya benar. Yang harus kita pikirkan dan yakini adalah seorang yang tidak sekolah saja bisa menjadi sangat luar biasa dan memiliki keprihatinan yang kuat terhadap bangsa, lalu bagaimana dengan kita?

Terkadang kita tidak lebih baik dari mereka. Terkadang kita tidak lebih sempurna dari mereka. mereka belajar dari kehidupan. Kita belajar dari buku. Mereka belajar dari pengalaman. Kita belajar dari pendapat ahli. Andai kita menggabungkan semuanya. Tentu kita bisa mewujudkan asa mereka. untuk hidup yang lebih baik. Untuk bangsa yang lebih baik. Bersama. Kita dan mereka. bukan. Bukan kita dan mereka lagi. Namun, kita semua. karena mereka adalah kita. dan kita adalah mereka. bersama. Kita bangun bangsa untuk lebih baik. Hidup mahasiswa!!!

Riyan Al Fajri, saat membaca "Opera Van Gontor" jadi kepengen nulis kisah yang sama. Senin, 26 September 2011. 22.40 WIB

Komentar

Postingan Populer