Instagraming

Catatan Mahasiswa Galau: Kemungkinan (Riyan Al Fajri)

                Langit sore ini sepertinya tidak sedang menyimpan cerita indah. Begitu gelap, dipenuhi awan-awan berat yang siap menjatuhkan kepingan air ke bumi. Bergerak melaju harmoni dengan hembusan lembut angin. Sudah saatnya langit berpesta kata bathinku.

                Aku mencoba mengingat kejadian yang sama beberapa waktu yang lalu. Disaat pesta sudah dimulai. Aku mencoba mengabadikan memori tentangnya. Melirik kejutaan percakan dibumi dengan bentuk yang khusus. Menyerbu beramai-ramai untuk membantu mengaliri keringnya jiwa-jiwa kesepian. Dimalam yang bahkan bulan pun segan menampakkan senyumnya. “Biarkan malam ini awan menemani hati orang-orang yang kesepian.”, ungkap bulan. Petir mulai silaukan jagad dengan sentakan sesaat yang bersambut-sambut. Duarrr.. duarrr.. bunyinya. Aku meyakini, kesepian hati orang-orang itu sedang dipenuhi putaran DVD memori-memori indah mereka. saat dimana mereka tersenyum, tertawa dan bahagia. Tak tinggal pula saat-saat mereka bertangis ria, bercanda ria, bersedih ria. Semua terpampang dalam jiwa-jiwa mereka yang juga kosong.

                Sampai pada suatu fase dimana mereka siap untuk terjun pada kenyataan bahwa mereka tidak sedang diam. Mereka tidak sedang tidak berbuat apa-apa. Mereka mulai mengeksplorasi kekuatan bathin yang tiada terbatas. Namun, tidak semua mereka sampai pada fase tersebut. Sebagian tertinggal dibelakangnya. Dimana mereka takut, dimana mereka tiada keberanian, dimana mereka benar-benar menjadi pecundang dalam kehidupan mereka. bahkan dalam kehidupan kecilnya pun mereka tiada bisa menjadi aktor utama. Kehidupan yang kecil. Benar yang kecil. Sekecil mereka menyadari bahwa hidup ini jauh lebih kecil daripada daun kelor.

                Berbeda dengan mereka yang telah sampai pada fase tersebut. Hidup bagi mereka bukan berhenti pada suatu bentuk. Bentuk adalah perjalanan mencapai tujuan. Bagi mereka, hidup bukanlah suatu hal yang akan menghentikan langkah –langkah untuk berlari, bukan suatu hal yang menakutkan jiwa-jiwa untuk berbahagia. Meski pada akhirnya mereka akan masuk pada suatu bentuk pengharapan. Mereka akan berdiri dalam diamnya. Karena bagi mereka, diam bukanlah diam. Diam adalah suatu bentuk dari semedi, mungkin juga pertapaan, menuju suatu pemikiran yang akan menyelamatkan jiwa kosong mereka. kekuatan bathin yang mereka akses sedang menuju keterpusatan keyakinan. Keyakinan yang menyatakan masih ada kemungkinan. Masih ada kemungkinan. Kemungkinan untuk tetap berdiri. Kemungkinan untuk tetap bertahan. Kemungkinan untuk terus mencapai impian.

                Muluk, muluk mungkin pemikiran yang hanya berorientasi pada impian. Namun, mereka menyadari. Apa yang terjadi didunia ini semuanya dulu adalah impian. Siapa yang menyangka hari ini kita memiliki penerangan dari listrik sedangkan dulunya orang-orang takut pada kilat, dan seorang yang dianggap gila bermain layangan dimalam hari untuk menangkap kilat. Perkembangannya sekarang adalah listrik. Siapa yang menyangka, bohlam itu ada jika tidak adanya sebuah mimpi seorang pria yang tiada menyerah akan eksperimennya. Siapa yang menyangka lokomotif kereta akan sangat membantu perjalanan jauh jika seorang pria tidak dianggap bodoh karena mengerjakan hal seperti itu. terlalu obsesif dengan mimpi mereka. namun, mimpi menuntun pada pengalamanan. Dimana setiap orang berhak untuk berdiri atas kakinya sendiri. Dimana setiap orang berhak atas impian mereka. jalan mereka dimana setiap orang berhak atas segala kemungkinan yang ia miliki.

                Aku mulai meyakini, terkadang memang perjalanan tidak semulus yang kita harapkan. Benar. Tentu tidak semua perjalanan begitu sederhana. Ada konflik bathin, antar individu, antar kelompok, bahkan individu-kelompok. Namun, sekali lagi aku harus berpikir. Jika memandang lebih jauh lagi, itulah yang disebut perjalanan. Bahkan lewat jalan tol saja di Jakarta ada macetnya. Kenapa kita begitu kesal jika jalan yang kita hadapi itu tiada macet namun hanya berlobang kecil saja? Semua yang dibutuhkan hanyalah bagaimana kita mampu mengatasi hal tersebut. Macetnya sama. Waktu yang habis sama. Namun, kualitas saat kita menunggu macet itu yang berbeda. Siapa yang sangka disaat macet ada yang membaca buku? Siapa yang sangka disaat macet ada yang sedang makan? Siapa yang sangka disaat macet ada yang menggerutu? Siapa yang sangka disaat macet ada yang mencari rezeki? Siapa yang sangka? Macetnya sama. Kualitasnya berbeda. Begitulah perjalanan. Macetnya sama, namun, menunggunya itu yang berbeda.

              Ada kalanya disaat perjalanan tersendak, orang-orang mulai marah, mulai menyalahkan orang lain, mulai menggerutu, mulai kesal atas orang lain atau bahkan diri mereka sendiri. Tidak jarang pula, disaat yang sama, ada yang berzikir, ada yang merencakan perkerjaan untuk hari esok, ada yang sedang mengurusi perusahaan. Ditempat yang sama dan disaat yang sama dengan kondisi yang sama. Hasil tentu berbeda.

              Langit begitu adil dengan sengaja menghamparkan seluruh tubuhnya kepada bumi. Namun, mereka yang di bumi terlalu enggan mengakui luasnya langit. mereka lebih suka berharap menerobosnya dan membuat tanda untuk sejarah dirinya. Dengan membatasi dirinya, mereka telah menutup kemungkinan lain untuknya. Mereka mulai membangun. Mengotak-ngotakkan dirinya menjadi besi-besi dan batu-batu. Lalu mereka marah ketika mereka tiada memiliki kemungkinan. Padahal, langit begitu luas. Padahal, kemungkinan begitu banyak. Namun mereka yang membatasi sendiri.

              Aku melihat keangkasa. Seakan bernostalgia, memori-memori mulai menari menemani hamparan yang sedang berdansa bersama alam pikirku. Seakan-akan aku sedang memegang erat seseorang dan tiada melepaskannya. Saat udara-udara kebebasan mulai masuk kedalam jiwa ini, aku mulai berpikir, langit sama seperti peluang. Ia dengan adil membujur dan melintang diseluruh semesta. Dimana setiap orang berhak untuk menggapainya. Aku, terkadang begitu naïf. Aku hanya menuju satu titik dilangit sedangkan langit menyediakan banyak ruang untukku.

             Pada diriku aku berkata, andai aku menyadari ini maka aku tidak akan berkata, aku gagal. Karena disaat aku tersendat. Langit masih memberikan keluasannya padaku. Artinya, kemungkinan itu masih luas. Sebenarnya aku tidak tersendat. Hanya pikiran kecilku lah yang mengatakan aku tidak bisa bergerak. Dan disaat aku mulai menyadari luasnya alam ini, aku akan berkata “Tidak ada kata Berat untuk setiap masalah yang memiliki jalan untuk diselesaikan”. Aku meyakini, aku akan tetap meyakini jika aku sampai pada fase ini, karena langit akan tetap luas untuk setiap alasan. Langit akan tetap luas meski manusia menutup dirinya dibawah atap yang membuatnya tiada bisa melihat luasnya langit. Kemungkinan begitu banyak meski manusia tertalu naïf pada dirinya sehingga mengunci nya dengan alam pikirnya yang kecil. Dan aku akan tetap meyakini jika aku sampai pada fase ini.

“Kemungkinan akan selalu ada. Sama seperti luasnya langit. Ia adil menghamparkan tubuhnya. Membujur dan melintangkannya kepada bumi. Namun, manusia terlalu takut mengakuinya sehingga mengkerdilkan harapan mereka. sama seperti mereka membangun atap-atap untuk mereka sehingga mereka tiada bisa melihat hamparan luas langit. Disaat impian besar itu memiliki kemungkinan, sebagian terjebak pada satu atau dua kemungkinan. Padahal ada jutaan kemungkinan untuk bisa mencapai impian.”

[ disaat azan maghrib memenuhi relung hati yang kering. Riyan Al Fajri. Jumat, 17 Februari 2012. 18.23 WIB]

Komentar

Postingan Populer