Instagraming

Catatan Mahasiswa Galau: Lepas (Riyan Al Fajri)

                Haru. Begitulah perasaan kita mendengar atau merasakan suatu peristiwa heroik. Siapapun aktornya, aktrisnya, pelaku nyatanya, tidak peduli ia orang terjelek di dunia, tidak peduli ia orang termiskin di dunia, tidak peduli ia orang  terhina di dunia. Kita akan tetap merasakan hal yang sama.

                Semua ini disampaikan bukan melalui seruan keras yang menggema, bukan pula dengan hentakan yang menakutkan, bukan pula melalui puisi yang menyentuh hati, ataupun melalui memo penting kepada pejuang. Semua ini disampaikan melalui angin yang membawa pesanku dari hati ini. Suatu pesan yang aku sendiri tiada bisa mengutarakannya. Aku bingung, kenapa ini bisa terjadi? Aku ingin mengutarakan banyak hal, namun banyak hal pula yang membuatku tiada sanggup menggerakkan lidah.

                Hari ini, tepat 3 tahun sejak kejadian 3 tahun yang lalu. Aku lupa kejadian apa itu. yang aku ingat, 3 tahun yang pernah ada. Dan pernah terjadi. Tiada yang special. Lantas apa yang aku bicarakan? Apa yang ingin aku utarakan? Sekali lagi. Aku Bingung. Kepalaku dipenuhi banyak hal. Orang-orang bilang, itu rambut. Ya benar. Namun semua tidak sesederhana rambutku yang memang sudah mulai melewati ukuran yang biasanya disebut rapi untuk seorang pria. Sebagian lagi mengatakan, itu masalah. Masalah? Aku mulai mempertanyakan kata-kata itu. mungkin aku terlalu naïf tidak bisa mengakui apa yang sedang terjadi. Namun, bagiku ini bukan masalah. Bukan. Lantas apa? Lantas apa yang memenuhi kepala ini sehingga lidah tidak mampu mengikutinya? Mungkin juga beban yang sangat berat. Oh itu bisa jadi. Namun, aku masih belum menemukan kata yang tepat untuk menyebutkannya.

                Sembari aku memikirkan kata yang tepat, aku rasa ada yang lebih besar yang perlu aku sampaikan. Betapa tidak seorang pemuda terlihat begitu terpaku pada suatu titik sedangkan ia dikelilingi oleh lingkaran. banyak teman-temanku mengatakan, hidup ini bagaikan suatu titik dalam sebuah kertas putih yang suci bersih. titik yang terlalu kecil untuk diperhatikan sebagai suatu gambaran nyata kehidupan seseorang. Kata mereka, mata kita hanya selalu terpaku pada titik ini sedangkan bagian putih yang lain kita masih tiada perhatikan. Oh tentu, kita begitu tertarik pada suatu bentuk yang berwarna meski itu kecil. Mungkin itu pula sebabnya orang-orang mengatakan peristiwa-peristiwa akan menjadi sebuah pengalaman yang akan mewarnai hidup ini. Terlalu naïf jika aku mengatakan tidak. Namun bukan itu tujuanku. Pengalaman memberikan suatu makna dari kehidupan ini. Mungkin karena pengalaman sejatinya adalah guru yang tiada pernah marah. Bagaimana ia bisa marah? ia adalah bagian dari kehidupan ini. Bagian dari cerita-cerita yang abadi oleh memori yang malu untuk menghapusnya.

                Seakan-akan kita terbuai oleh suatu titik yang begitu indah. Indah. Aku menyangsikan keindahan. Disaat mata-mata mulai lapuk oleh kejadian. Ia seperti katarak yang tiada mampu membelah suatu lautan biru ditengah samudera. Telinga pun sepertinya tidak tinggal diam. Ia begitu tertarik pada romantika dramatisasi kejadian. Katanya itu menarik. Aku mulai berpikir, apa itu menarik? Akumulasi indera-inderapun aku rasa memiliki pemaknaan yang berbeda atas hal ini. Sekali lagi, kita tetap mencintai titik-titik.

                Ya begitulah adanya, ketika suatu peristiwa abadi dalam hati ini. Peristiwa yang kata sesiapapun akan menjadi saksi atas suatu rasa yang kita bisa eksploitasi Perlu banyak hal. Perlu banyak hal untuk menjadikan jiwa ini mau berbicara pada rintihan sukma yang tiada berujung. Tentu terbatas pada suatu titik. Ingin aku menutup semua indera untuk mulai melihat dengan pendengeran, mendengar dengan penglihatan, meraba dengan kecapan, mencium dengan rabaan, dan mengecap dengan ciuman. Aku ingin menggambarkan bagian-bagian kertas putih itu menjadi suatu hal terindah yang seharusnya bisa kusadari. Betapa tidak? Mata ini terlalu malu untuk melirik keberadaannya. Telinga ini terlalu tuli untuk untuk mendengar panggilannya. Kulit ini terlalu segan untuk mendekapnya. Hidung ini terlalu sungkan untuk membaui aroma nya. Semua. semua. terjebak dalam titik yang sebenarnya tiada membawa pada keleluasaan yang menenteramkan.

                Tiba saatnya, ketika itu, aku mulai mengiri pada suatu fase kehidupan seseorang. Ia menjadikan titik sebagai permulaan untuk mewarnai bagian kertas suci yang ia miliki. Katanya agar bisa memberikan peninggalan terindah dalam hidup ini. Ya itu sah-sah saja. Toh itu adalah kehidupannya. Ia memberikan perspektif tersendiri untuk menghiasi jiwa-jiwa nya yang kelaparan atas warna kehidupan. Aku berkata, itu indah. Meski sampai saat ini aku tetap menyangsikan keindahan.

                Titik, secara tidak sengaja aku menjatuhkan tubuhku keatas ranjang yang selalu menemani malam ku. Lirikan ini menuju pada suatu titik. Aku sendiri berpikir. Kenapa aku tidak melihat sisi luas disebelahnya? Kenapa aku terfokus pada suatu titik yang mengganggu pikiranku? Sama seperti aku melihat angkasa di langit biru. Dimana awan menghiasinya dengan indah. Comulonimbus, status, stratocumulus, bahkan cirrus, mereka bersatu menaungi angkasa yang menjadi lukisan alam termasyur. Namun ketika ada besi terbang memecah angin. Semua mata tertuju pada titik itu. keindahan, lukisan alam menjadi nomor sekian dalam pikiran ini.

                Mungkin sudah tiba saatnya, saat dimana mata ini tiada lagi melihat pada titik. Namun melihat pada lingkungan yang mengitari titik itu. memang, begitu pelik suatu bentuk jika tiada batas meski ia sesuci embun. Aku bukannya bertindak begitu berani untuk berkata seperti itu. hanya saja, hati kecil ini berteriak memecah kebisingan suara kendaraan-kendaraan yang tiada berhenti mengaung. “Aku ingin lepas”, katanya. Semakin keras teriakan itu, aku semakin meyakini, titik, sebagai presentasi dari bentuk dinamika dan romantika kehidupan terlihat begitu hitam, terkadang begitu berwarna, namun, pada dasarnya kita tidak sedang hanya berdiam pada titik itu saja. Masih banyak bagian dari tempat yang kita berikan titik itu yang siap untuk dipeluk titik-titik. Titik yang akan melukiskan sejarah kita pada kertas kehidupan ini. Dan bagiku, disaat aku sudah melihat hal ini, maksudku, melihat masih banyak kertas putih yang akan aku beri titik, aku sedang berada dalam keindahan. Berada pada saat-saat aku punya pilihan untuk menggambar titik dengan warna baru yang tersedia. Hanya tinggal bagaimana selera ku menentukannya. Dan alam imajinasiku berkata, Aku telah Lepas.

“Begitu banyak persoalan dan rintangan menemani kehidupan kita. kita selalu terfokus padanya. Kita tertalu naïf mengakui bahwa semua itu hanya sebuah titik. Kita terlalu sombong untuk mengakui, masih banyak ruang putih yang bisa kita beri titik berbeda dari titik yang kita berikan sebelumnya. Akhirnya kita depresi. Terjatuh dalam keterbatasan yang diciptakan alam pikiran kita sendiri. Mungkin sudah saatnya, kita mencoba menutup seluruh indera dan berpikir secara terbalik. Sehingga kita dengan berani bisa melihat ruang putih yang masih luas untuk kita sedangkan persoalan hanya titik yang sangat kecil. Disaat kita menyadari hal ini, katakanlah, Aku sudah lepas.”

[Riyan Al Fajri, disaat embun pagi telah mengering oleh teriknya matahari. Kamis, 12 Februari 2012. 13.46 WIB

~Yossshhh!!!

Komentar

Postingan Populer