Instagraming

Catatan Mahasiswa Galau: Nguping-in Aktifis (Riyan Al Fajri)

                Iseng. Mungkin ini adalah gambaran yang paling tepat terhadap kelakukan saya hari ini. Betapa tidak, dalam kondisi menghadapi ujian akhir semester saya memberanikan diri refreshing keliling Jabodetabek. Judulnya aja sih Jabodetabek biar keren gitu tapi sebenarnya Cuma Jabota. Diawali dengan mendatangi Bandara Soekarno-Hatta jemput teman, saya putuskan setelah itu menuju bogor. Ya hitung-hitung pencerahan. Siapa tahu pohon-pohon hijau ditepi jalan bisa memberi “pemikiran baru” bagi saya yang sedang disambrangi stress Ujian.

                Saya lanjutkan perjalanan saya naik angkot tanpa tujuan yang pasti. Seperti biasa, biarkan angin yang membawa langkah ini. Yang penting malam sampai kosan. Menurut pribadi saya, perjalanan tanpa tujuan biasanya akan memberikan pengalaman yang jauh lebih berarti daripada perjalanan yang telah dirancang sempurna. Bagaimana tidak? Ketika tidak punya rencana, perjalanan terasa membingungkan sehingga otak kita secara otomatis bekerja cepat menentukan alternative perjalanan. Ya hitung-hitung ngasah logika otak biar ujian nantinya dapat nilai bagus. Idealnya sih. Tapi “nilai bagus” itu sepertinya masih diawang-awang.

                Well, lupakan masalah nilai, ujian ataupun saudaranya. Kembali kepada “angkot” tadi. Saya naik angkot dan duduk paling depan. Setelah beberapa menit, naiknya sekitar 4 atau 5 orang mahasiswa dibelakang. Dan menurut perhitungan saya, mereka ini mengenal penumpang lain yang juga mahasiswa. Terjadilah percakapan.

               “jadi gimana kak? Aksi ke KPK nya tanggal 13 Februari atau 16 Februari?”

               “Kalau tanggal 13, banyak yang ikut. Ketua BEM fakultas “itu” aja dia pengen ikut katanya tapi tanggal 13 dia bisanya.”

                “Aku dah punya konsep kak. Gimana kalau kita bikin kayak bubur gitu lalu ada porsi porsi gitu kak. Filosofi bubur kan lembek kak jadi bisa dibilang kita mau sampaikan “KPK kok lembek banget sih lawan koruptor?”. Jadi ada juga yang kayak tikus berdasi gitu lalu makan juga bubur nya kak.”

               “Eh, mending kita gantungin tikus putih aja. Murah juga harganya. Itu tanda kita melawan koruptor dan kita pengen KPK berlaku sama.”

               “Lembek-lembek nya gimana? Kan masalahnya itu yang mau kita angkat?”

               “Btw dah fix tanggal 13 kak? Yang penting jangan hari jumat. Aku ada kuliah pratikum. Kalau yang pratikum “itu” bisa lah ditinggalkan, tapi kalau pratikum yang ini. Tak bisa kak. Susah ngulangnya”

               “Aman tuh yang penting kita cari waktu tepat untuk aksi ini. Yang penting kita lihat dulu dukungan masanya hari kapan bisanya. Semakin banyak kan semakin bagus.”

               “Nyambung ga sih korupsi dengan yang begituan?”

               “Nyambunglah, kan tujuan utama kita menunjukkan lembeknya KPK dalam memberantas korupsi di negeri ini sehingga ada porsi tikus berdasi yang menikmati kemewahan yang bukan miliknya.”
…..

             Semakin jauh jarak angkot ini dan macet jalanan yang tiada terhindarkan, semakin banyak hal yang bisa saya upingin dari mereka. Beberapa pertanyaan muncul dalam benak saya.

             “Siapa mereka? mahasiswa kah? Tentu. Apa tugas mereka? berdemokah? Saya kurang bisa menjawab ini. Ucapan seorang aktifis yang paling saya ingat sampai sekarang adalah Jangan sampai kegiatan softskill  kalian menyingkirkan kewajiban utama kalian karena yang menunjukkan kualitas kalian adalah seberapa besar tanggung jawab kalian terhadap kewajiban kalian dan seberapa banyak “sunnah” yang telah kalian dapat. Banyak sunnah tanpa melakukan kewajiban kan tetap saja bohong.”

             “Apa mereka berniat untuk berdemo? Menggunakan Tikus? Makhluk hidup loh. Apa ga tega? Saya kurang bisa menjawabnya. Toh pada akhirnya mereka jualah yang memberikan pertimbangan mana yang baik dan buruk. Apatah lagi mereka sudah menjadi mahasiswa kan? Sudah barang tentu mereka sudah dewasa.”

            “Apa yang mereka demokan? Kenapa di KPK? Apakah ada yang salah di KPK? Untuk menjawab ini saya coba berasumsi, mungkin maksud aktifis ini adalah pemberantasan korupsi yang terkesan “lembek”. Boleh lah. Hanya saja, apakah mereka paham apa itu korupsi? Apakah mereka paham bagaimana proses penanganan korupsi? Kita saja yang mengikuti UKM khusus membahas anti korupsi yang sudah berulang kali di informasikan oleh pihak KPK dan ICW tentang teknik-teknik dasar melakukan penyidikan korupsi masih gagok terhadap hal ini. Mereka sudah bisa “mencap” lembek. Berarti mereka jauh lebih ahli. Ya sangkaan awal seperti itu. namun apakah benar? Lalu apa yang mereka inginkan?”

              Sejauh saya mendengarkan atau lebih tepatnya mengupingi mereka. tiada satu pun dari pembicaraan itu mengarah pada jenis korupsi, filosofi anti korupsi yang ingin mereka usung, jalan keluar agar KPK bisa lebih tegas dan korupsi seperti apa yang KPK lembek mengatasinya serta apa yang harus KPK lakukan untuk itu. jika tiada memperhitungkan hal-hal tersebut, aksi bisa disebut kritik tanpa jalan keluar.

             Perlu diingat, Korupsi tidak semudah yang diucapkan dalam penanganannya. Konflik kepentingan antara individu, kelompok dan birokrat sering menjadi masalah yang berbenturan. Namun, siapa bilang itu tidak bisa ditangani? Bisa. Jika ada kepercayaan. Andai kata aksi ini jadi dan saya meyakini aksi ini akan terjadi, saya hanya berpikir, apa keuntungan mereka turun ke jalan? Apakah itu akan menghasilkan pride of student bagi mereka? “Eh, gue mahasiwa loh. Gue aktifis. Gue berdemo.” Menurut hemat saya, ada hal yang jauh lebih besar yang bisa kita lakukan. Belajar memahami apa yang sedang terjadi. Bukan berarti belajar “mengkritisi” apa yang sedang terjadi. Saya rasa untuk level mahasiswa ini adalah tindakan terbaik. Kalau istilahnya pak M.Nuh, Mendibud, “Jika tidak bisa membantu memperbaiki, jangan memperkeruhnya dengan kritik yang tiada membangun.”

            Sebelum melakukan aksi tentang “korupsi” ada baiknya kita memahami:
  1. Apa itu korupsi?
  2. Berapa jenis korupsi di Indonesia?
  3. Apa dasar hukum anti korupsi?
  4. Bagaimana hukumannya?
  5. Apa yang bisa dijadikan alta bukti dalam kasus korupsi?
  6. Bagaiman prosedur penanganan kasus korupsi?
           Saya rasa cukup bijak jika kita kita mengetahui 6 pertanyaan diatas sebelum bicara banyak tentang korupsi. Apalagi mengkritisi “kelembekan” lembaga yang menangani korupsi. Jangan sampai kritikan itu seperti “omongan supporter bola”. Mudah mengkritik pemain bermain jelek, tidak rapi bahkan hancur lalu menghinanya namun secara pribadi supporter itu tidak bisa bermain bola. Kan malu, tidak tahu apa itu korupsi tapi malah mengkritisi korupsi. Apalagi itu untuk sekelas mahasiswa dimana kita terikat pada hal-hal yang harus ilmiah. Apa kata dunia?

Memahami apa yang akan diucapkan jauh lebih penting daripada ucapan itu sendiri. Jangan sampai terjadi judgement yang salah terhadap suatu yang terlah dilakukan dengan benar. Kritik pun harus memberikan jalan keluar. Jalan sampai kritik jalan, jalan keluar entah kemana. Perlu diingat, jika tiada bisa membantu memperbaiki maka janganlah sampai memperkeruh masalah tersebut.

[Riyan Al Fajri, Minggu, 12 Februari 2012, 00.12 WIB. Disaat tiada suara lagi disekitar sini]

Komentar

Postingan Populer