Instagramming

Korupsi : serangan UU dan KPK. Efektifkah?? (Riyan Al Fajri)

             Pemberantasan korupsi memasuki masa-masa puncak pada tahun ini. Hal ini ditengarai karena dugaan korupsi yang merata di seluruh departemen dan instansi pemerintahan serta serangan-serangan yang dilakukan terhadap KPK. Dugaan korupsi pun berantai hingga menjerat belasan bahkan puluhan orang. Ancaman hukuman pada UU Tipikor sepertinya belum efektif menghentikan langkah-langkah koruptor padahal Hukuman dari UU Tipikor sudah sangat tegas. Seperti yang tertera pada pasal 2 UU Tipikor, penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paliang sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar untuk setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang merugikan keuangan Negara.

                Ketegasan Undang-Undang Tipikor memaksa KPK untuk bertindak keras dan cepat untuk menyelesaikan permasalahan ini. Seperti kasus Wisma Atlet yang merupakan proyek Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang telah memakan dua “korban”, terdakwa Mindo Rosalina Manulang yang divonis 2 tahun 6 bulan dan rekanan koruptornya, El Idris, divonis hakin 2 tahun setelah menjalani masa sidang hampir 3 bulan. Berikutnya yang masih dalam tahap pemeriksaan adalah M. Nazaruddin serta Wafiq Muharram. Wafiq sendiri dijerat pasal berlapis dengan ancaman Penjara maksimal 20 tahun dan denda maksimal Rp 1 Miliar

                  Beberapa kasus hangat lainnya juga tengah diperiksa oleh KPK, seperti kasus Pembangkit LIstrik Tenaga Surya (PLTS) di Kemenakertrans yang masih menyeret orang yang sama yakni M.Nazaruddin dan istrinya, Neneng, serta Timas Ginting yang sudah terlebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka. Tidak cukup satu kasus, UU Tipikor memberikan sinyal kuat adanya dugaan suap di Kemenakertrans yang diduga dilakukan oleh pejabat tinggi kemenakertrans terkait commitment fees 10%. Sejauh ini, baru tiga orang yang menjadi tersangka. Mereka ialah Sesditjen Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi (P2KT) I Nyoman Suisanaya, Kabag Program Evaluasi dan Pelaporan Ditjen P2KT Dadong Irbarelawan, dan pengusaha PT Alam Jaya Papua Dharnawati.

                Terlepas dari kasus yang ada, beberapa pihak sekarang menyerang institusi yang menjadi kekuatan terdepan dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Isu pembubaran KPK meruak, namun, beberapa tokoh mengemukan bahwa pendapat ini mencederai hati rakyat. Salah satunya adalah tokoh nasional, Syafii Maafif, dalam kesempatan penyampaian putusan Komite Etik mengatakan “Jika ingin bubarkan KPK, bubarkan sekaligus Negara ini”. Dukungan ini memberikan angin positif pada usaha pemberantasan ini.

                Angin positif tersebut terlihat pada beberapa kasus yang mulai memasuki masa persidangan salah satunya, dugaan korupsi hibah kereta rel listrik (KRL) bekas asal Jepang tahun 2006-2007 pada Kemenhub. Pada kasus ini, JPU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Soemino, Eks.Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, yang telah melakukan korupsi dalam proses pengangkutan 60 unit KRL hibah dari Jepang. Soemino dituding telah mengatur proses pengangkutan KRL itu, sehingga, ada penunjukkan langsung kepada Sumitomo Corporation untuk mengangkut 60 unit KRL eks Jepang. Atas perbuatan terdakwa, Jaksa menyebutkan ada kerugian negara sekitar Rp 20,5 miliar. Ia didakwa melanggar pasal 2 ayat 1, dan pasal 3 UU Pemberantasan Korupsi. Menurut Agus Salim, Jaksa Perkara ini, "Juga melanggar aturan hibah barang luar negeri dan aturan pengadaan barang dan jasa.” Soemino terancam pidana penjara maksimal 20 tahun.

              Undang-Undang menegaskan tidak ada tebang pilih dalam proses pemberantasan korupsi di negeri ini. Seperti kasus di Departemen Sosial, kasus korupsi pada proyek pengadaan mesin jahit dan sapi potong impor pada 2004 ini merugikan Negara hingga Rp 15 miliar. Kasus ini telah menjerat anggota Komisi II DPR Amrun Daulay. Ahmad Daulay dikenakan dakwaan atas dakwaan alternatif mengacu Pasal 2 ayat I juncto Pasal 1B atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut salah satu anggota Jaksa Penuntut Umum (JPU) Supardi saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. "Terdakwa selaku dirjen banjamsos bekerja sama dengan Yusrizal, Iken BR Nasution, Musfar Aziz, dan Bachtiar Chamsyah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”.

                Seperti yang disampaikan oleh M.Jasin, Wakil Ketua KPK. Bukti dari tegasnya UU serta kuatnya serangan KPK adalah prestasi KPK jilid 2 yang telah mampu menemukan dan menangani kasus korupsi yang melibatkan 44 anggota DPR dari berbagai partai. Dua di antaranya anggota DPR dari partai penguasa yang masih aktif. Delapan menteri, delapan gubernur, enam komisioner Komisi Pemilihan Umum, Komisi Yudisial, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 26 bupati atau wali kota, empat hakim, empat duta besar, empat konsul jenderal, satu Gubernur BI, empat deputi senior BI, dua jaksa, dua pengacara, satu kurator, juga sejumlah dirut BUMN dan swasta

                Prestasi ini menandakan bahwa UU telah tegas, namun buruknya, data ini juga menandakan menurunnya nilai moral pada pejabat-pejabat tinggi negera ini. Sepertinya, korupsi sudah bukan gejala sosial yang jarang terjadi, namun gejala sosial yang sudah “membusuk” pada kementerian-kementerian, lembaga Negara, Kejaksaan, Pengadilan, serta swasta. Perlu ada perbaikan serta penanggulangan secara berkesinambungan dalam memberantas korupsi yang merata ini. Peran KPK perlu diperkuat dengan tidak melupakan dukungan dari seluruh elemen masyarakat. Karena tidak mungkin untuk Negara yang berpenduduk 234 juta ini, korupsi hanya ditangani oleh superbody yang hanya beranggotakan 800 orang. Untuk mewujudkan itu, masyarakat perlu dengan aktif mengawasi pejabat publik dan melaporkan kasus-kasus yang ada disekitarnya. Semua ini hanyalah untuk Indonesia yang bebas korupsi sehingga kita bisa mewujudkan Indonesia yang lebih baik.

Komentar

Postingan Populer