Instagraming

Catatan Mahasiswa Galau: Catatan Historis dan Kekinian (Riyan Al Fajri)

  “Judul yang luar biasa berat”, pikir saya saat membaca ulang judul yang cantumkan pada tulisan ini. Muncul sedikit perasaan lucu terhadap judul ini sembari  alam pikir saya menjabarkan, “Waw, ini seperti kajian ilmiah. Catatan Historis dan kekinian. Seperti buku-buku sejarah”. Tidak. Bukan itu.

                Judul berat bukan berarti isinya berat. Toh pada awalnya yang menuliskan ini adalah mahasiswa galau. Mahasiswa yang selalu punya cerita galau yang ingin dibaginya. Seakan-akan galau itu adalah kehidupannya, padahal galau hanya suatu fase menuju titik kedewasaan yang diimpikan oleh orang-orang bijak. Nah, tentu akan menjadi sangat bermasalah jika fase galau ini tidak dimanfaatkan untuk berkarya dan berbuat sesuatu yang bermanfaat. Toh pada dasarnya, semua fase ada gunanya, makanya timbul istilah “dewasa sebelum waktunya itu tidak baik bagi perkembangan psikologi anak”. Jadi beruntunglah orang-orang galau.

                Kembali ke judul diatas, Catatan Historis dan Kekinian. Sudah barang tentu menjadi tren bagi mahasiswa indeks prestasi (IP) adalah lambang supremasi kemampuan mereka. ya setidaknya itu yang resmi. Karena kalau kata orang-orang berpendidikan dengan gelar SMA, S1, S2, S3 hingga “S” teller, Indeks Prestasi merupakan catatan atas kemampuan mahasiswa dalam mata kuliah yang ditempuhnya. Wah, kalau orang awam, pasti akan tercengang-cengang membaca ini. Apalagi kalau ada yang alay datang, saya yakin mereka akan berekspresi, “Jadi gua harus bilang WAW gitu? haha”. Sukarnya pemaknaan “catatan hsitoris” ini menjadi sumber kegalauan utama bagi mahasiswa. Betapa tidak? Ada mahasiswa dengan label “beasiswa” yang membiayai kuliahnya. Tuntutan utama dari beasiswa apa? Indeks Prestasi. Jika tidak mencapai batasan tertentu, beasiswa diputus. Wah, kejam. Apakah Beasiswa hanya untuk orang pintar? Ya iyalah masa iya dong, namanya kan jamilah bukan jamidong. Brrr…

                Jika kita bertanya kepada mahasiswa, mana mereka lebih memilih, tidak makan setiap pagi selama 2 bulan atau IP anjlok hingga 30%? Saya yakin mahasiswa lebih memilih tidak makan setiap pagi selama 2 bulan. Saking pentingnya IP, mahasiswa sanggup menjadi pendekar dalam satu malam. Kepala diikat, mata diplaster, pakai lampu sorot, semalaman didepan buku untuk menyiapkan diri menuju IP yang memuaskan. Ya memuaskan, setidaknya bagi diri sendiri. Namun timbul sebuah pertanyaan: sejauh apakah Indeks Prestasi itu memuaskan hasrat mahasiswa? (saya menggunakan kata “hasrat” agar lebih familiar daripada saya menggunakan kata “nafsu” karena sedikit vulgar).

                Kalau kita bicara masalah hasrat, apa sih yang paling ingin dimiliki dan dilakukan mahasiswa? Semua setuju, kemampuan mumpuni dan disukai banyak orang. Benar kan? Kalau tidak benar, ya sudah salahkan saja. Tidak usah terpaksa menerima setiap yang saya pikirkan. Kita hidup dinegara demokratis juga kan? Nah, bagaimana supaya kita memiliki kemampuan mumpuni? Hm, saya agak susah menjawab hal ini karena ambiguitas pertanyaan. Kita belum menyepakati apa itu kemampuan mumpuni tentu saya juga belum bisa memberikan jawaban jadinya. Kita sepakati saja dulu makna versi saya. Ok? Biar tulisan ini berlanjut, kalau tidak saya akan semakin galau dan kalian harus bertanggung jawab. Haha.

                Menurut penulis yang berumur 20 tahun dan masih single ini (kalau mau daftar jadi pasangan pendaftaran bisa dilakukan dengan mengisi form registrasi dan dikirim ke email penulis. Itu hanya untuk yang memiliki minat yang tinggi), Kemampuan mumpuni adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dalam keadaan kekinian apabila ia diminta untuk melakukan pekerjaan ia bisa melakukannya dengan kemampuan terbaiknya dan memenuhi kontrak pekerjaan. Bingung dengan yang saya katakan? Saya juga bingung.

                 Jadi, jika ditranslaasi ke bahasa Indonesia yang baik dan benar, arti tadi adalah kemampuan kamu sekarang. Percuma kamu punya IP 3,67 kalau kemampuan kamu 3,67. Percuma kamu punya IP 3,87 kalau kemampuan kamu 3,87. Sama ya? Iya harus minimal sama dan boleh lebih. Kita harus pakai konsep rasulullah terhadap hal-hal sensitive seperti ini agar termasuk orang yang beruntung. Setuju?

                Sudah barang tentu, ada mahasiswa yang mengalami trend positif dalam IP-nya ada pula yang mengalami trend negatif. Untuk yang mengalami trend positif kita ucapkan selamat, berarti dia sudah berusaha. Tapi untuk yang tren negative? Bersedih? Stress? Totally not like it! Pemikiran yang IP centris (yang merasa ngaku), mengatakan “IP adalah bagian dari perjalanan. Jika tidak bagus, berarti tidak bagus. Jika bagus, berarti bagus.”. BUKAN.

                Contoh kecil yang ingin saya sampaikan, Habibie IP nya berapa? Ada yang bilang dia jenius? Ya semua orang bilang seperti itu. lalu Einstein, dia jenius? Ok tidak ada yang meragukan itu. tapi bagaimana dengan Soeharto? Berapa IP nya? Atau Megawati? IP nya berapa? Bahasanya saya lebih permudah, apakah mereka menyelesaikan kuliah mereka? Apakah mereka  punya IP yang bagus? Saya tidak akan menjawabnya. Yang ingin saya paparkan adalah, mereka punya kemampuan nyata meski mereka tidak punya IP yang bagus. Siapa yang mengenal soeharto dizaman jayanya yang disegani semua penduduk? Saya tidak bisa memutuskan mana yang benar antara disegani dan ditakuti. Lalu siapa pula yang tidak mengenal megawati yang menjadi “dewi kahyangan” oleh para pendukung banteng merah? Apa yang mereka miliki? KEMAMPUAN MUMPUNI. Apa yang seharusnya mahasiswa kejar? IP? Nilai ujian yang bagus? Atau KEMAMPUAN MUMPUNI?

                Hello, kids. That’s just a number. Do not be so lebay (ungkap Luth Made Mita, seorang teman satu direktorat di Spesialisasi Anti Korupsi STAN).

                Saya ingin berbagi kisah masa-masa SMA saya, dulu, Kejadian ini terjadi persis beberapa waktu saya lulus dari sekolah saya ini. Saya mengunjungi salah seorang guru matematika saya yang luar biasa, Bu Evi Rahmi. Beliau mengatakan kepada seorang wanita yang saya ajak mengunjungi guru saya itu ketika saya shalat maghrib berjamaah di mesjid kampus SMA, “Riyan itu sebenarnya pintar tapi dia itu pemalas. Nilai Ujiannya bagus, ga ada yang jelek tapi tugasnya itu, jarang ngumpul tugas. Jarang bikin latihan. Super sekali pemalasanya.” Setelah pulang dari rumah Bu Evi, saya diceramahi oleh teman wanita saya, “Riyan, berubahlah. Jangan malas juga. Katanya mau ke Kanada. Kalau malas, mana bisa kesampaian.”, ujar teman saya satu ini.

                Selama teman wanita saya ini memberikan “wejangan” yang saya entah focus mendengarkannya atau tidak, timbul bayang-banyangan dalam kepala saya. Benar ya. Ternyata kalau ujian nilai saya tidak jelek-jelek amat. Tapi kalau tugas, hm, diragukan posisinya. Saya berpikir, kemampuan apa sih yang dibutuhkan dari anak SMA? Kemampuan mengerjakan ujian atau kemampuan me-manage diri untuk bisa menyelesaikan tugas dengan tanggung jawab penuh? Wah, saya berat menjawabnya karena serba salah. kalau saya jawab yang pertama, toh nilai ujian tidak cukup berpengaruh pada kualitas pribadi. Just imagine, Kids. Life is not only a theory. It’s application of everything. Bisa menjawab teori saja tidak akan menyelamatkanmu dalam kehidupan ini karena kita tidak bisa seutuhnya berteori dalam kehidupan ini. Kita butuh aksi nyata. Dan aksi nyata itu dilambangkan oleh kemampuan kita me-manage diri kita untuk menyelesaikan tugas secara bertanggung jawab. Tapi kalau saya jawab opsi kedua, wah, masa sih saya pamer kalau saya tidak berkualitas. Jleb, saya takutkan akan menjadi doa. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak boleh. Kita harus berusaha memiliki kemampuan mumpuni.

                Selain faktor diatas, mari kita lihat, tidak sepenuhnya IP melambangkan kondisi kekinian. Well, mari bertanya secara acak pada mahasiswa yang memiliki IP 3,67. Dari 7 mata kuliah yang ia selesaikan pada semester sebelumnya apakah ada mata kuliah yang ia sama sekali tidak kuasai dan hanya beruntung dalam ujian? Saya yakin dia akan jawab IYA. Saya tidak perlu bilang mahasiswa yang ditanya itu adalah saya tapi yang ingin saya sampaikan adalah tidak selama nya IP itu adalah segalanya, guys. IP hanya catatan historis. Catatan itu bisa saja terjadi jika terjadi momentum. Nah, dalam kasus ini momen nya adalah Ujian tengah semester dan ujian akhir semester yang memberikan sumbangsih 80% dari total IP. Sedangkan 20% sisa nya adalah penilaian dari pendidik. Bayangkan, ketika Indeks Prestasi lebih merupakan laporan akademis yang mewakili 80% Ujian yang bisa saja terjadi keberuntungan dalam menjawabnya, apakah bisa dianggap sebagai perwakilan dari kemampuan mahasiswa?

                Hello, kids. I though you could use your wisdom considering this thing. Look the real, tugas adalah apa yang kamu kerjakan dengan setiap perasaan tanggung jawab di hatimu. Kita mengasumsikan tidak ada tugas yang copy-paste tentunya karena tugas copy-paste jauh lebih kejam karena artinya sama seperti membohongi dosen terang-terangan. Bayangkan, 6 bulan kamu mengerjakan tugas dan bandingkan 1 hari kamu mengerjakan ujian, mana yang lebih melambangkan kemampuanmu?  Saya tidak akan menjawabnya karena saya yakin kamu sudah punya jawaban masing-masing.

                Lantas kenapa? Ada apa dengan jawabanmu jika benar begitu adanya dalam pemikiranmu? Dunia akan menangis gitu? dunia akan tertawa meremehkan gitu? dunia akan kecewa? Come on, guys. It’s all about life. We have our own theory to do it better. but we often do right thing in right place in right moment. Jadi sudah bukan zamannya lagi kita bertanya-tanya tentang eksistensi kita dan hubungannya dengan besar-kecilnya IP kita. tapi  sudah saatnya kita bertanya,”Dengan IP segitu, kemampuan apa yang telah kita miliki? Karya apa yang telah kita ciptakan?”. Tidak bisa menjawab? Well, masih banyak waktu untuk bisa memberikan sesuatu dan memberikan kemampuan bagi kita untuk menjawabnya. Tell me the truth that we’re going to create something to make our quality better. right?

                Come on, kids. That’s just a number. We can do more if we wanna.  Trust me.

“Perlu diingat, IP (indeks prestasi) hanyalah catatan historis. kemampuan aktual diukur dari karya nyata yang bisa dilakukannya. jika masih nol karya, catatan historispun tidak akan berguna sama sekali. Mari bertanya, karya nyata apa saja yang kita lakukan? belum ada? Masih ada waktu untuk melakukannya.”

[Riyan Al Fajri. DIsaat Indonesia dan Brunei sedang saling serang dalam final Hasanal Bolkiah Trophy. Jumat, 9 Maret 2012. 20.01 WIB]
~Yossshh

Komentar

Postingan Populer