Instagraming

Catatan Mahasiswa Galau: Jangan Lari tapi Perbaikilah, Ketua! (Riyan Al Fajri)

                Aku masih ingat ketika masa SD, kami berebut-rebut menjadi ketua kelas. “Kami” disini tentu tidak termasuk diriku yang memang dari awalnya tidak tertarik menjadi ketua. Ada 3—5 calon memperebutkan suara 46 orang anak.

                Aku juga masih ingat ketika masa SMP, ada 4 calon kuat ketua OSIS memperebutkan 21 suara tim formatur. Memang, ada yang tertarik ingin menjadi pimpinannya dan ada pula yang ingin menjadi pelapisnya. Ketika itu aku salah satu yang hanya ingin jadi pelapis walau akhirnya harus berperan sebaliknya.

                Aku juga masih ingat ketika masa SMA, ada 12-13 orang calon kuat ketua RT Asrama 1 lantai 3. Kami memperebutkan 30 suara penghuni lantai lainnya. Bersama menetapkan siapa yang menjadi pengayom kami dan siapa yang harus kami patuhi.

                Semua berjalan dengan harmonis. Dipilih dengan kesepakatan bersama dan dijalankan bersama-sama. Perjalanannya pun tidak selamanya indah, ada satu dua kali harus berhadapan dengan masa-masa sulit. Masa-masa kehilangan kepercayaan, masa-masa persaingan dan masa-masa sedih namun itu semua hanyalah pelangi dilangit yang dimuncul setelah petir dan hujan deras melanda.

                Hari ini, mungkin agak sedikit kaku hati ini merasa. Aku duduk dan bergabung dengan sahabatku. Kami bercerita, ternyata ada suatu kasus yang menarik.  Kasus tersebut menggambarkan seorang pemuda yang pernah dan bahkan masih menjadi pimpinan disebuah kelompok. Suatu ketika ia merasa berat untuk terus melanjutkan tugasnya. Lalu ia memberikan suatu pernyataan yang mengejutkan,”Jika nilaiku turun, aku keluar”. Sekarang, pemuda tersebut sudah tidak pernah menampakkan hidungnya dalam pertemuan kelompoknya. Bahkan ia menjadi anggota kelompok lain dan sangat aktif dikelompok lain tersebut.

                 Pada Kasus ini, ada sebuh kesan bahwa kelompoknya lah yang membuat nilainya turun alias kelompok yang ia pimpin itu adalah perusuh. Saya tertarik dengan kesimpulan ini. Bagaimana mungkin seorang pemimpin berpikir seperti itu? Seharusnya Pemimpin yang tidak kuatlah yang menyebabkan kelompoknya hancur. Benarkan?

                Analogi yang bisa kita gunakan presiden. Mungkinkah presiden mengatakan,”Gara-gara Indonesia, saya jadi bodoh!”? Mungkinkah? Aku sempat berpikir keras untuk hal ini. Siapa yang salah? pemuda yang jadi pemimpin itukah atau kelompok yang dipimpinnya?

                Mari kita berpikir, andai kata ia ingin nilainya tidak turun jadi ia tidak ingin “terlihat” aktif bagi kelompoknya, kenapa dia masih aktif dikelompok lain? Ini seperti orang yang memegang buku untuk belajar tapi malah membuang bukunya dan mengambil buku lain untuk ia tulis.

                Lantas bagaimana? Pemuda tersebut harus mengundurkan diri? Tidak. Mengundurkan diri bukan jawaban yang diinginkan. Saya orang pertama yang tidak setuju itu terjadi. Jika mengundurkan diri, pemuda itu sudah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya. Mengundurkan diri berarti membiarkan semuanya terjadi. Itu hanya jawaban bagi pecundang yang sombong dan tidak mau mendengarkan orang lain. Kalau aku jadi pemuda itu, aku akan memperbaiki apa yang terjadi. Aku akan datangi kelompokku dan aku akan berkata,”Maaf, selama ini aku menyiakan kalian, mulai detik ini, aku akan berusaha sekuatku. Aku butuh bantuan kalian untuk memperbaiki ini semua”. Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki apa yang telah terjadi. Khilaf itu mungkin terjadi, namun kesadaran adalah kunci awal dari memaafkan dan memperbaiki semuanya.

                Kita perlu menyadari bahwa menjadi pemimpin berarti orang memiliki visi membangun untuk kelompoknya. Ia yang memiliki visi, lantas ia yang membangun kelompoknya. Visi tersebut disarikan melalui program kerja untuk bisa mengikat komponen kelompoknya menjadi lebih solid, membangun sense of belonging. Akan sangat menyedihkan, jika kelompoknya peduli, sedangkan dia tidak peduli.

                Dalam sebuah kelompok, kita tidak bisa equal. Perlu ada orang yang menjadi figur dan dihormati. Walau pada intinya orang tersebut harus melayani kebutuhan anggota kelompoknya, tapi saya yakin anggota kelompok yang sudah dewasa tidak akan menyusahkan orang tersebut. Semua itu akan berjalan layaknya suatu kisah yang kita coba tuliskan dalam tinta emas. Bayangkan, ketika kita memiliki kisah ini, ada jutaan orang yang bisa membacanya. Jika tidak dibaca jutaan orang, setidaknya bisa kita ceritakan pada anak-anak kita nantinya.

                Semua pengalaman, apakah menjadi anggota, pengurus atau pimpinan, akan tercatat dalam tinta emas memori yang bersangkutan. Perbaiki apa yang rusak dan itu akan membuat tinta emas itu menjadi berlian. Bukan hanya rasa senang yang tergambarkan tapi jua rasa bangga karena pernah terlibat. Ini akan menghiasi hidup yang bersangkutan. Percayalah! Dunia belum kiamat, kesalahan masih bisa diperbaiki. Jangan lari dan bersembunyi. Hadapi dan perbaiki. Itulah nilai pemimpin yang diharapkan oleh pengikutnya. Siapapun dan dimanapun ia berada.

“Jangan Lari tapi Perbaikilah!”

[Riyan Al Fajri. Disaat bingung ingin mengirim atau tidak SMS ke  Sekolah Strategi untuk pendaftaran anggota. Kamis, 29 Maret 2012]

Komentar

Postingan Populer