Instagraming

Reformasi Birokrasi: Merubah Be Serviced Oriented ke Service Oriented (Riyan Al Fajri)

                Apa yang pertama kali kita pikirkan tentang reformasi birokrasi? Renumerisasi? Sebagian orang mengatakan ya. Sebagian yang lain mengatakan bahwa reformasi birokrasi lebih daripada hanya renumerisasi. Reformasi birokrasi dipromosikan sebagai penguatan terhadap hegemoni kekuasaan pejabat masa kini. Betapa tidak? Harapan besar dinyatakan dalam proses ini, mulai dari integritas tinggi, produktifitas tinggi dan bertanggung jawab, serta kemampuan memberikan pelayanan yang prima. Harapan yang begitu jauh dari kenyataan dilapangan saat ini.

                Kita mulai dari kata “integritas”. Integritas merupakan kesesuaian apa yang dilakukan, diucapkan, dan diyakini dalam hati nurani. Tujuan utamanya tentu menghindarkan diri dari korupsi. Jika menurut Transparency International Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia baru 3,0, reformasi birokrasi menjadi tumpuan utama untuk memperbaiki IPK tersebut. Tidak perlu muluk-muluk dengan hanya berpangku tangan pada KPK sebagai lembaga yang punya kepentingan tentang hal ini. Reformasi birokrasi diharapkan bisa menjadi alat pencegah efektif tindakan korupsi di lingkungan Pegawai Negeri.

                Hal ini disesuaikan dengan semangat Reformasi Birokrasi itu sendiri sesuai dengan Permen PAN No. 15 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi yakni membangun birokrasi yang bersih, efisien, efektif, produktif, transparan, melayani masyarakat dan akuntabel. Terkesan muluk karena bertentangan dengan apa yang terjadi saat ini dimana efisiensi lembaga pemerintah dipertanyakan. Contoh kecil bisa terlihat pada banyak BUMN yang merugi akibat inefisiensi nya. Lalu ada masalah kurangnya produktifitas PNS karena gemuknya formasi PNS dalam kelembagaan tertentu, tidak meratanya penempatan PNS, contoh banyak kekurangan guru PNS di daerah tapi kelebihan guru PNS di kota.

                Hal-hal tersebut bukan menandakan bahwa Indonesia akan kiamat. Dengan sasaran utama adalah mind set dan culture set, reformasi birokrasi diharapkan dapat memproklamirkan perubahan yang signifikan. Terutama pada tata kelola organisasi, kelembagaan serta sumber daya manusia aparatur Negara agar terciptanya good governance.

                Memimpikan good governance di “negeri autopilot” ini seperti mimpi yang tidak akan pernah terwujud. Setidaknya itu yang sebagian masyarakat pikirkan. Mulai dari membuat KTP hingga mengurus surat kematian, susahnya bukan main. Sulit memang, tapi masih ada harapan. negeri ini masih ada harapan. reformasi birokrasi seharusnya memberikan harapan. memperpendek jalur birokrasi dalam mengurus surat keterangan, mempersingkat permohonan izin, serta meningkatkan produktifitas PNS. Usaha public trust building  yang dilakukan dalam reformasi birokrasi seharusnya bisa membawa angin segar untuk upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Masyarakat bisa dengan seksama mengawasi dan mampu melaporkan secara langsung kepada tempat pengaduan atas ketidakpuasan layanan yang diberikan PNS.  Istilahnya bottom-up. Dimana end user, masyarakat, berhak memberikan perintah untuk dilayani dengan prima oleh PNS.

                 Usaha untuk merubah mind set dan culture set pun harus digarap dengan serius. PNS harus mulai memposisikan dirinya sebagai pelayan bukan sebagai orang yang dilayani. Jadi, masyarakat tidak akan menemukan lagi PNS yang marah saat ada masyarakat salah membawa persyaratan perpanjangan KTP, masyarakat tidak akan menemukan lagi PNS yang berusaha mempersulit pengurusan izin kalau tidak diberi uang, masyarakat tidak akan menemukan PNS yang terlambat membuka counter layanan pajak kendaraan bermotor lagi, masyarakat tidak akan menemukan lagi pelayanan yang molor, karena sejatinya PNS adalah pelayan bagi masyarakat. Mereka bukan pengemis dengan diberi uang untuk melakukan sesuatu apalagi orang yang harus dilayani karena memiliki jabatan tertentu ataupun orang yang bebas masuk seenak perutnya dan melayani sekena dengkulnya. PNS haruslah sudah memposisikan diri sebagai orang yang punya kewajiban penuh untuk memenuhi syarat pelayanan minimal dari masyarakat dan malu jika masyarakat tidak menyukai kinerja nya.

                Semua ini bergantung pada kesuksesan perubahan mind set dan culture set  yang menjadi objek reformasi birokrasi ini. Hal ini tidak akan berhasil jika tidak dilakukan komunikasi yang efektif dan sosialisasi yang intens serta adanya reward and punishment  yang setimbang. Pola budaya kerja yang ketat dan berbasis kinerja harus diterapkan secara pasti. Tidak bisa 100%, maka mulai dengan implementasi 25% pada tahun pertama, 75% pada tahun kedua, hingga 100% pada tahun ketiga. Hingga pada tahun ke 4, Reformasi birokrasi sudah bisa dieksekusi secara meyakinkan telah sukses dilaksanakan hingga akhirnya visi 2025 terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik. Dengan hati bangga kita bisa meyakini bahwa secara bersamaan, Indonesia sedang menuju good governance. Indonesia sejahtera bukan hanya sekedar formalitas yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945 saja, namun akan menjelma menjadi bagian hidup dari bangsa. Jika dan hanya jika reformasi birokrasi sukses dan membawa perubahan mind set dan culture set yang sehat.

“Menjadi abdi negara (PNS) berarti menjadi Pelayan bagi masyarakat. Seharusnya, Abdi melayani masyarakat bukan minta dilayani masyarakat. Reformasi birokrasi diharapkan bisa merubah mind set dari be Serviced Oriented menuju service oriented. Selain itu, juga merubah culture set dari PGPS (Pintar Goblok Penghasilan Sama) menuju penilaian kinerja individu. Semua akan berhasil jika dan hanya jika adanya keseriusan dan kerjasama antar Pemerintah dan masyarakat karena Negara ini bukan “hanya” milik pemerintah. Pemerintah adalah pelayan, yang memiliki saham terbesar Negara ini adalah Warga Negara Republik ini. Bersama untuk Indonesia yang lebih baik”.

[Riyan Al Fajri. Saat suara jangkrik menemani sunyinya malam. Kamis, 22 Maret 2012. 00.55 WIB]

Komentar

Postingan Populer