Instagraming

Catatan Mahasiswa Galau: Melihat Dunia (Riyan Al Fajri)

                Dunia memiliki banyak kisah yang dapat kita ciptakan, banyak kisah yang dapat kita banggakan, dan banyak kisah yang dapat kita ceritakan. Kita tidak harus bertanya kepada orang ternama untuk sekedar tahu seperti apa kisah yang ada didunia karena kita sendiri mengetahuinya. Namun terkadang, tidak semua kisah dapat kita ceritakan. Ada sekat yang merintanginya. Hal ini dipengaruhi oleh sejauh mana kisah itu diberi nilai.

                Ketika kita melihat dunia dalam kerangka nilai, apakah itu “Baik” dan “Buruk” atau “Benar” dan “Salah” ataupun “Bagus” dan “jelek”. Kita sedang mencoba menciptakan kotak pemikiran sendiri. Beruntung jika kotak tersebut hanya dipajang dan dijadikan perbandingan, bahayanya kotak itu mengunci diri sendiri didalamnya.

                Tidak sedikit diantara kita yang terkurung dalam kotak yang kita ciptakan sendiri. Dunia menjadi sempit, menjadi lebih rumit mungkin. Ini karena kecilnya alam pikir yang coba kita ciptakan. Menjadikan dunia hanya berorientasi pada nilai, akan mengungkung kebeneran lain untuk diakui.

                Contoh, ketika kita melihat seorang pengemis. Dalam dunia yang penuh nilai, mengemis itu salah dan berusaha itu benar. Orang-orang akan tertuju pada eksistensi pengemis dijalanan. Pengemis adalah pengganggu pemandangan, perusak lingkungan, atau bahkan ekstrimnya mafia jalanan. Kita tidak bisa menghakimi secara sepihak seperti itu. lebih luas, kita harus lihat kenapa dan bagaimana itu bisa terjadi. Kalau misalnya, mereka mengemis karena tidak ada pekerjaan atau dalam kerangka miskin, kita bisa pertanyakan, kemana orang-orang yang berusaha itu? bukankah kita punya tanggung jawab sosial pada lingkungan kita?

                Akan terjadi, perbedaan begitu mendasar antara dunia yang penuh nilai dan dunia yang melingkupi nilai. Kita tidak perlu mengatakan bahwa si fulan suka menyalahkan orang lain. Si fulan selalu membenarkan si fulanah. Lihat asbab nya. Kenapa itu bisa terjadi. Ketika kita mengetahui masalahnya, kita tidak akan mengkotakkan fulan pada suatu posisi. Melainkan kita meletakkan fulan sebagai suatu fenomena. Sehingga kita bisa mengambil iktibar. Bisa mengambil pelajaran atau hikmahnya. Bukankah hikmah dari sesuatu yang terjadi itu lebih penting untuk diketahui daripada sesuatu itu sendiri?

                Orang yang terperangkap oleh nilai, akan serta merta selalu mencari pembenaran dan kebenaran. Sedangkan orang yang melihat dunia dari sisi penyebab, ia akan memiliki dunia dari segala yang tersedia untuknya. Tidak sia-sia saudara kita dari minang berbahasa:

                “Alam takambang manjadi guru”

                Apa maknanya? Dunia itu luas, kawan. Semuanya adalah pelajaran dan penuh hikmah. Jangan beri nilai “benar” atau “salah” tapi temukan apa makna dari dunia. Temukan apa hikmah dari dunia itu.

“Melihat dalam kerangka “benar” atau “salah” hanya akan memperkeruh diri sendiri, temukan hikmah dan dakwahkanlah agar hati selalu tenang dan tidak sakit akibat terpenjara oleh kotak yang diciptakan sendiri”

(Riyan Al Fajri. Disaat menyadari kalau badan sudah menuju ke posis sakit dan butuh dokter. Minggu. 22 April 2012. 19.56 WIB)

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer