Instagraming

Catatan Mahasiswa Galau: Mencari Tuhan (Riyan Al Fajri)

                Aku mengingat kembali. Masa-masa itu semuanya terlihat begitu indah. Sebuh perjalanan tentunya. Perjalanan yang belum berakhir hingga hari ini. Oktober ini, usiaku genap 20 tahun. Tampak pula jejak ketuaan pada wajahku. Namun aku masih saja malu. Tidak hafal satu juz pun dalam Al Quran, tidak hafal dan paham banyak hadist, serta tidak paham 100% kitab-kitab referensi hukum islam.

                Perjalananku ini dimulai ketika aku lahir. Lahir dari keluarga mubaligh dan aktifis islam didesaku, menjadikan diri ini berada dibawah pengasuhan islam. Hingga menamatkan pendidikan dasar, aku patut berbangga karena telah hafal juz 30 walau hari ini sudah tidak hafal semua. ya sebuah kemunduran pada masa remaja memanglah tidak dapat dihentikan. Bisalah aku mengatakan, selama masa pendidikan menengah pertama, aku hanya mengulang hafalan 1 kali dalam seminggu. Bagaimana akan lengket jika begitu keadaannya?

                Lepas dari itu semua, gejolak hati merubah kepribadian ini pada masa SMA. Dituntut kedisplinan tinggi, tegas dalam bertindak serta harus berwibawa. Sikap-sikap yang jauh sekali dari masa lalu yang penuh dengan kesantaian, “nerd”, dan hanya bergaul dengan buku-buku. Pada masa inilah, pertama kalinya aku mengenal firqoh dalam islam. Pertama kali pula menemukan Hadits,

”Orang-orang Yahudi akan terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan seluruhnya di neraka kecuali satu. Orang-orang Nasrani terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan seluruhnya di neraka kecuali satu. Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan seluruhnya di neraka kecuali satu.” Didalam riwayat lain,”Mereka bertanya,’Wahai Rasulullah, siapakah golongan yang selamat ? Beliau saw menjawab,’Siapa yang berada diatas (ajaran) seperti ajaranku hari ini dan para sahabatku.” (HR. Thabrani dan Tirmidzi)

              Mulailah diri ini dengan polosnya mencari golongan yang disebutkan dalam hadits ini. tentu tujuannya untuk selama dunia akhirat. Perkenalanku pertama terjadi dengan Salafiyah. Tentu ini yang pertama mengingat seorang guruku adalah pendukungan firqoh ini. setiap ramadhan dan hari-hari besar keagamaan (yang ada dikalender masehi)  selalu mendatangkan ustadz-ustadz dari firqoh ini. aku mengagumi dua diantara yang pernah mengunjungi kami, yakni Abu Zubair Al Hawari (Agustimar) dan Maududi Abdullah.

                Perkenalanku dengan kaum salafiyah ini menjadikan rak buku dikamarku dipenuhi tulisan-tulisan ulama besar Saudi. Sebut saja, Ibnu Baaz, syeikh ibnu Utsaimin, syeikh Nashiruddin Al-Albani, syeikh rasyid ridha, syeikh ibnu fauzan. Aku membaca dan memahami tamat isi kitab-kitab mereka. tidak lupa pula, kitab-kitab dari ajaran pembaharu islam dari Al-Afghani, lalu yang paling menarik adalah ajaran tentang tauhid dari syeikh abdul wahab.

                Pada masa ini, aku menginterpretasikan islam itu sebagai suatu yang baku dan sempurna. Penambahan atasnya adalah sebuah kesalahan. Islam terasa begitu simple dan modern. Hanya saja, ada beberapa hal yang tidak memuaskanku. Beberapa masalah khilafiyah, bagi salafiyah telah menetapkan hukum. Pada saat ini, aku tidak pernah mengetahui kaidah fiqh: Al-Ijtihad la yanqudhu bi al-ijtihad. Ijtihad satu tidak dibatalkan oleh ijtihad yang lain. Sehingga apapun yang menurutku bertolak belakang dengan ilmu yang aku pelajari dari kitab-kitab adalah sebuah kesalahan dan harus dibenarkan. Sikap tersebut menjadikan diri ini militan. Tidak takut dalam berbuat. Tentu, karena aku merasa benar dan membela yang hak balasannya adalah surga.

                Ini mungkin akibat ketidakpahamanku tentang islam. Akhirnya Diskusiku dengan seorang Ustadz, aku tidak jelas ia dari kelompok mana. Yang aku ketahui, ia adalah seorang sarjana dari fakultas Tarbiyah di UIN SSQ. Hal ini menyimpulkanku untuk mencari sebuah kebenaran bukan pembenaran atas apa yang aku lakukan.

                Aku mulai mengenal gerakan-gerakan baru seperti Ikhwanul Muslimin di mesir, Hizbut tahrir Indonesia dll. Aku mulai mencari kenalan orang-orang yang tergabung dengan organisasi itu. aku dapatkan suatu spirit baru tentang islam. Islam adalah sebuah kejayaan. Dan khilafah adalah harga mati. Diskusi dengan kelompok ini menghasilkan suatu semangat baru. Aku dipercaya untuk mendapatkan dan mempelajari data mereka. sampai sekarang aku masih menyimpan data pengkaderan mereka yang perlu dipelajari. Kitab Nizhamul Islam dan bulletin-buletin mereka jadi bacaan ringan setiap hari. Perlu dingat, mengenal kelompok baru ini bukan berarti aku mengingkari apa yang telah aku dapatkan dari kaum salaf. Bahkan ini memperkuat apa yang telah aku dapatkan. Hanya saja terjadi pergeseran sasaran dakwah. Dari kelompok social dan lingkungan menuju kenegaraan. Politik, ekonomi dan sistem sosial islam adalah sebuah kesempurnaan. Ditambah pemahaman yang kuat, maka ini akan menjadi kekuatan islam yang sangat luar biasa.

                Aku pun menamatkan pendidikan SMA dan sedang mengembara menentukan kemanakah aku melanjutkan pendidikan. Dimasa inilah pertama kali aku berkenalan dengan kelompok tarbiyah. Begitu pula pertama kalinya aku mendengar nama Hasan Al Bana begitu disanjung. Padahal, ketika SMA, aku begitu bosan membaca tulisannya. Kejadian ini tidak terlepas dari ketertarikanku pada seorang gadis tarbiyah. Jika semua orang pertama merasakan cinta pertama dan menikmati rasanya, aku merasa dia berada pada level cinta kedua ku. Aku pertama kali melihatnya ketika selesai shalat dhuha. Dia adalah satu-satunya wanita yang melaksanakan itu dikala itu. aku mengingat wajahnya, dan butuh 2 minggu bagiku untuk sekedar mengetahui namanya. Begitu lamanya hanya untuk mengetahui sebuah nama.

                aku sering berdiskusinya dengannya, akhirnya aku tertarik mempelajari apa yang Tarbiyah dakwahkan. Berbeda 100% dengan cara pandang dakwah salafiyah. Aku mulai berteman dengan firqoh ini. mempelajari kitab-kitab ulamanya. Terkesan bagiku, mereka begitu takut dengan kristenisasi, liberalism, dsb. Berbeda dengan salafiyah yang aku merasa simple, disini aku merasa islam sedang sekarat. Perlu pertolongan. Pemuda islam sedang hancur, perlu perbaikan. Aku tidak setuju dengan pendapat ini. tapi aku menyukai metode dakwahnya. Lebih berjiwa pemuda dan lebih melekat.

                 Lantas ada gerakan-gerakan yang bahkan menurutku bertentangan dengan dasar islam itu sendiri. Contoh membiarkan wanita memamerkan suara melalui lantunan nasyid didepan khalayak ramai, mengizinkan wanita turun ke jalan berdemo, berteriak dan berorasi didepan lelaki dan wanita. Sebuah mutiara yang bagiku harus dijaga tapi harus dikorbankan demi title aktifis dakwah. Aku masih berpikir seperti ini karena aku masih terpengaruh dan taqlid pada kitab-kitab yang aku pelajari sebelumnya. Pada perkembangannya, aku merubah pandangan ini.

                  Di Tarbiyah aku merasa, “hei, islam mau hancur loh. Kita harus ini lah, itulah, dsb”. Aku menggarisbawahi betul untuk masalah pergaulan dikedua firqoh ini, tarbiyah dan salafiyah, tidak ada bedanya. Tetap begitu tegas membedakan pria dan wanita. Sesuatu yang tidak pernah bisa aku lakukan. Akhirnya jadilah aku gabungan ketiga firqoh ini. mengambil yang baik dan meninggalkan yang tidak bisa aku lakukan. Tidak baik sebenarnya, tapi itu cara terbaik agar tidak taqlid buta pada suatu kelompok. Hanya mengambil yang sumbernya kuat.

                Perjalanan ter-update ­ku adalah saat aku mulai membaca fatwah-fatwa “ulama Indonesia”. Kumpulan fatwa MUI, Fatwa Tarjih Muhammadiyah, dan bulletin-buletin NU. Walaupun sudah memulainya sejak SMA, namun karena lebih tertarik pada buku salafiyah, aku menyampingkan ini. aku seperti me-review bacaan yang selama ini ditinggal. Lantas aku mulai bercengkrama dengan ungkapan-ungkapan imam yang 4.  Aku temukan sesuatu yang merubah apa yang dipahami diri ini.

                Imam syafi’I mengatakan dalam An-nawawi, “Jika telah sah suatu hadits, maka ia adalah mahzabku”.  Disampaikan pula melalui ibnu sakir, “Setiap perkataan (Fatwa dan ijtihad) yang menyelisih hadits nabi, maka yang benar adalah hadits nabi dan dahulukan hadits nabi daripada perkataanku. Jangan kalian taqlid kepadaku”.

                Lalu aku mulai membaca tulisan-tulisan tentang demokrasi Indonesia. Sosok Soekarno yang melegenda, Moh.Hatta yang melobi perwakilan islam untuk menerima penghapusan tujuh kata dalam pancasila, Natsir yang dengan tegas menjadi representasi islam di pemerintahan dengan pengajuan Islam sebagai konstitusi negara pada Konstituante 1950, Buya Hamka yang menjadi representasi kaum Islam Indonesia menjadi pelajaran berharga. Aku juga mulai mempelajari socio-demokratie versi soekarno dengan asas gotong royongnya, tidak lupa pula teori-teori ekonomi syariah. Dikala ini, aku ingin menciptakan Indonesia dengan sistem ekonomi syariah dan memperkuat posisi kebangsaan dengan pancasilanya soekarno.

                Lepas dari itu semua, masih ada didalam diri yang sempit ini sebuah cita-cita mengembalikan kejayaan islam. Hanya saja, untuk memulai itu, kita butuh konsensus nasional untuk menjadi islam sebagai dasar negara. Sampai saat itu tiba, mau dibagaimanapun juga, aku tetap berpegang pada konsensus yang lama, Pancasila.

                Diatas itu semua, sebuah ilmu paling berharga kupetik, tidak peduli apakah itu salafiyah, kelompok pendukung khilafah, tarbiyah, ataupun kelompok nasionalisme. Tidak peduli dikelompok manapun engkau berada, yang pasti jangan taqlid buta.

                Islam itu indah. Tidak sedang sekarat, tidak pula keras. Nilai-nilai universalitas islam membawa keselamatan bagi dunia dan akhirat. Dan yang terpenting dari itu semua, jika kamu ingin berislam, dahulukanlah sumbernya dan pelajarilah metode dakwahnya. Jangan menekan, jangan membenarkan, dan jangan pula menyalahkan. Beri contoh, ungkapkan dengan ucapan terbaik, serta doakan dalam hati.

                Harapan terakhir yang tersisa adalah menjadi Hafidz Quran. Entah kapan ini akan tercapai. Namun, setidaknya Allah sudah mengajarkan pengalaman yang berharga untuk dipegang teguh hingga menghadapnya nanti. karena aku percaya, tidak peduli apakah ia ulama atau bukan, presiden atau bukan, kaya atau bukan, jika sudah saatnya menghadap Allah, ia tidak dilihat dari title nya. Namun, dari apa yang sudah dilakukannya dan seperti apa niatnya. Oleh karena itulah, kita menyepakati bahwa Allah adalah Rabb yang maha Adil.

“Jangan menekan. Jangan membenarkan. Jangan menyalahkan. Dahulukan sumbernya, baru dengarkan ulamanya. Insya allah tidak akan terjadi perpecahan.”

[Riyan Al Fajri. Disaat galau dengan Manajemen Keuangan. Rabu, 9 Mei 2012. 07.24 WIB]

Komentar

Postingan Populer