Instagraming

Catatan Mahasiswa Galau: Paradoks Syukur (Riyan Al Fajri)


 “Jika bukan syukur yang pantas aku katakan, lalu apa lagi?”

               Pada awalnya keluargaku bukan keluarga yang cukup. Aku masih ingat ketika kecil kedua orang tuaku menjadi guru sekaligus pedagang pakaian di pasar. Kadang aku ditinggal dirumah dengan bibi ketika mereka harus membeli persediaan pakaian untuk dijual dipasar di propinsi sebelah. Sepi dan sedih. Tapi itu harus. Kalau itu tidak terjadi, aku ingat pula sebelum orang tuaku berdagang dipasar, uang dari gaji guru nya tidak cukup untuk hidup. Bahkan baju hari rayaku pun dibeli dari uang pinjaman, cerita mereka. Untung mereka berdagang, satu persatu kebutuhan terpenuhi. Tapi aku sepi.

                Aku tidak ingin iri mengetahui ada jutaan keluarga bahagia di ujung dunia saja. Ah bahagia? Mungkin ini hanya kemunafikan masa kecilku yang tidak tahu apa-apa. Aku ingat, Meskipun serba sulit masa kecilku sangat bahagia. Kalian pernah berenang di sungai siak yang terkenal dalam dan tanah berlumpur penuh minyak nya? Aku dan teman-temanku pernah. Atau kalian pernah menembus hutan sejauh 1 km kedalam rimbanya dan menemukan lumpur hidup? Aku dan teman-temanku pernah meskipun kami melakukan itu hanya untuk mengumpulkan buah getah untuk permainan masa kecil kami. Waktu itu aku belum punya sepeda, makanya daripada aku melihat anak-anak main sepeda, ada baiknya aku ikut teman-teman ke hutan untuk berpetualang. Ya setidaknya itulah yang ada dalam pikiranku.

                Mungkin sekitar 12 tahun yang lalu. Memang, orang tuaku tidak pantas dikatakan sebagai orang yang mampu pada saat itu sebelum berdagang. Meski begitu, sama dengan keluarga yang lain, keluarga kami tetap makan ikan patin, daging rusa dan udang. Bergantian perharinya. Sekarang sudah berlalu 12 tahun, perekonomian semakin membaik, kata pemerintah. Aku bisa berkata bahwa orang tuaku sekarang sudah termasuk yang wajib bayar zakat maal. Namun ada yang mengganggu pikiran ini.

                Dulu, di desa. Ada banyak orang miskin tapi semuanya bahagia. Gizi kami tercukupi, ya bagaimana tidak tercukupi kalau makanan nya adalah ikan patin, udang atau daging rusa? Paling masyarakat jarang meminum susu karena memang zaman itu susu mahal. Perbandingannya setengah dari total gaji kedua orang tuaku sebagai guru hanya cukup membeli susu Dutch Lady untuk adik kedua ku satu kaleng besar dan itu biasanya habis dalam 15 hari. Sisanya? Teh dimasukkan kedalam kompeng lalu diberikan ke anak. Dan itu dilakukan oleh setiap orang tua di desa.

                Susahkan? Ya susah. Tapi tidak ada yang busung lapar. Susah. Tapi tidak ada yang mati karena kelaparan. Susah. Tapi semua masih makan ikan. Susah. Tapi semua anak-anaknya sekolah. Ada yang hanya tamat SD. Ada yang tamat SMP. Ada yang sampai kuliah.  Alasannya bukan karena tidak ada uang, tapi karena memang mau bekerja. Susah. Tapi kebutuhan untuk hidup layak terpenuhi.

                Sekarang 2012, kami masih memakan ikan, udang ataupun daging rusa. Tapi aku mendengar berita, ada puluhan anak busung lapar di negeri jauh sana. Ada anak yang tidak sekolah diujung negeri sana. Sedihnya lagi, beberapa anak yang tidak sekolah itu ada ditempatku. Bukan didesaku karena memang aku tidak pernah mendengar berita dari desa lagi karena sudah pindah kekota, tapi dikotaku. Alasannya juga lucu. Tidak punya uang. dulu kami tidak punya uang, tapi anak-anak bisa sekolah. Aku masih ingat ketika itu aku hanya membayar 10 ribu untuk sekolah SD ku. Dan aku sekolah. Sekarang SD dan SMP sudah gratis 100%, tapi kenapa masih ada anak-anak yang tidak bersekolah dengan alasan tidak ada biaya?

                Apa yang salah? biaya pendidikan mahal? Apa gunanya sekolah digratiskan? Ah, mungkin hanya pikiran naifku yang tidak mengakui kemiskinan bangsa ini. lihat saja dinegeri sana, hanya untuk pembagian zakat 30ribu rupiah orang berdesakan bahkan ada yang sampai pingsan. Dan itu tidak pernah terjadi dikotaku ataupun didesaku. Entah karena memang tidak ada yang bagi zakat 30ribu untuk ribuan orang atau memang karena disini zakat maal itu dibagikan langsung ke orang yang berhak menerima secara langsung. Aku juga tidak mengerti.

                Lantas apakah aku sejahtera? Apakah masyarakat ditempatku sejahtera? Aku sedikit terganggu dengan cerita ibu-ibu kalau dia sedang susah. Tapi dia punya motor dua. Aku juga sempat tidak percaya ada yang bilang dirinya miskin tapi malah pakai blackberry.  Aku bingung, standar kemiskinan itu sebenarnya seperti apa.

                Aku tidak ingin terlalu jatuh pada pikiran yang mainstream. Orang kaya harus seperti ini, yang miskin harus seperti ini, sistemnya harus begini dan sebagainya. Bagiku itu tidak lebih dari omong kosong. Lihat, tidak ada satupun orang kaya yang mau uangnya dibagikan kepada orang miskin tanpa mendapat apapun. Kecuali itu memang zakat maal nya. Itu realitasnya. Lalu apa perbedaan 12 tahun lalu dan sekarang?

                Jawabannya sederhana. SYUKUR. 12 tahun lalu, kami dapat hidup layak dengan kemiskinan. Sekarang, meskipun sudah kaya, orang-orang masih menganggap dirinya miskin sehingga motor dua tidak cukup baginya, sehingga blackberry yang sudah jadi gayanya masih melambangkan kemiskinannya. Luar biasa bukan?

                Lalu apa yang harus kita lakukan? Bersyukurlah!

“Barang siapa yang bersyukur atas nikmatku maka akan kutambah. Barang siapa yang ingkar, sungguh Azabku sangat pedih” [Ibrahim : 7]

                Sungguh, hidup susah itu bukan masalah, karena dengan kesusahan orang bahagia jika ia bersyukur. Namun, hidup yang senang malah menjadi masalah jika syukur hilang darinya. Dan sungguh, tidak ada kebahagiaan yang lebih indah didunia ini selain kepuasan terhadap nikmat Allah. Insya allah, dengan bersyukur, nikmat-nikmat ini akan bertambah. Meskipun ia diawali dengan kesusahan

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” [Al Insyirah : 5-6]

Kita bukan kaum yang rendah dan hina, tapi kita menjadikan diri kita memang pantas untuk dihina. Alasannya sederhan, kita kurang bersyukur kepada-Nya. Yuk, mari kita bersyukur. Bersyukur kepada-Nya

Komentar

Postingan Populer