Instagraming

Belajar Itu "Tentang Hidup!" (Riyan Al Fajri)

Teman-teman sudah sering membaca kisah cinta? Saya rasa sudah. Bagaimana rasanya? Sedih, gundah, galau, iri atau haru? Lupakan kisah-kisah itu! Kali ini saya ingin menuturkan kisah yang sangat menarik untuk diambil ibroh nya. Bukan fiktif tapi realita, saya ada disana ketika kisah ini saya rekam dengan indah.

Kisah ini dimulai sekitar 7 tahun yang lalu. Siapa yang menyangka jika ketenaran bisa membuat seseorang jadi idaman semua orang? Ketika itu saya memiliki seorang teman. Sebut saja namanya Rizal. Pada saat itu, ia termasuk seorang aktifis smp. Namanya itu terdengar disemua sekolah. Suatu kejadian menyebabkan Rizal berubah. Bukan jadi power ranger atau spiderman, tidak. Ia jadi semakin terkenal disemua smp di daerahnya. Kenapa? Karena dia dikenal memiliki banyak kekasih. Saya masih ingat sekali ketika itu baru sekitar 12 sekolah yang ada didaerah kami. Dan ia pernah memiliki hubungan hati dengan 8 siswi yang tersebar di 5 sekolah berbeda di daerah saya itu.

Itu kisahnya? Tidak. Saya tidak akan mengatakan cerita tentang Rizal memutuskan pacar-pacarnya dan lalu sebagainya. Tidak. Tapi saya akan menuturkan bagaimana kehidupan Rizal berjalan. kehidupan Indah yang bisa kita ambil manfaatnya.

Kehidupan baru, istilah saya begitu, Rizal mulai ketika SMA. Kebetulan Allah memberikan saya kesempatan untuk melihat setiap detik kejadian ini. di kelas 2 SMA, seingat saya, Rizal jatuh hati pada sebuah Al Quran. Hari berhari, saya lihat ia semakin suka membacanya. Rasa penasaran saya muncul, apa yang terjadi padanya?

Seperti petir disiang bolong, Rizal bersuara, “Ini Haram! Kamu Salah! Syekh ini Syekh ini yang bilang!”. Saya terdiam. Hati saya berkata, “Rizal, kamu kenapa?”. Rizal yang sebelumnya kukenal sebagai orang yang sangat cuek, banyak kekasih, sekarang menjadi orang yang sangat keras. Saya mencoba memahami setiap sudut kata yang ia ucapkan. Kuat, Kuat sekali alasannya. Hanya saja otak saya tidak mampu mencernanya, “Rizal, Kamu kenapa?”. Begitu sanggah batinku.

Suatu hari, saya beranikan diri untuk bertanya padanya,

“Rizal, Apa yang terjadi padamu?”

“Terjadi? Tidak ada apa kok. Hari ini Allah memberikan kesehatan yang luar biasa padaku”.

“Kamu hebat ya, sekarang udah tobat. Udah sering baca Quran”.

“Oh, itu bukan hebat. Aku hina. Karena aku hina, aku kembali pada Al Quran. Kamu juga harus begitu! Jika kamu tidak hina, kamu harus lebih dekat lagi pada Al Quran agar Allah semakin memuliakanmu”.

“Aku juga sering melihatmu membaca kitab-kitab syekh itu, apakah kau memahaminya?”

“Aku paham atas apa yang aku pahami. Sejujurnya aku butuh guru, tapi aku hanya punya mereka. Aku butuh lebih. Aku harus bisa mencari lebih”.

Hari berhari, saya saksikan Rizal mulai sering mencari Liqo sebuah aliran tertentu. Disekolah, ia membuat saya takut. Ia dengan tegas mengatakan ini haram itu haram. Muncullah sedikit pertanyaan dalam hati saya, “Apakah perbuatanku selama ini salah, Ya Allah?”. Sikap kerasnya itu membuat saya semakin menjauh darinya. Teman-teman yang lain pun begitu, saya sadar dan sangat menyadari bahwa ada raut permusuhan ketika itu. Saya pun tak habis pikir, Rizal menjadi public enemy di sekolahnya saat itu.

Pria yang lebih sering menghabiskan waktu membaca Quran itu benar-benar membuat saya penasaran. Bagaimana mungkin ia yang biasanya cuek dari Al Quran, shalat bolong-bolong, sekarang malah seperti ekstrimis. Pernah suatu malam aku mengintip pekerjaannya. Kalian tahu apa yang dia lakukan? Ia menangis. Saya pun duduk mendengarkannya,

“Ya Allah, aku tahu ini adalah majelis ilmu mu. Engkau titipkan aku sebagian Ilmu dan engkau titipkan pula sebagian kepada orang lain, satukanlah ya Allah. Satukanlah di Imanku yang lemah ini. Setahun yang lalu, engkau gelimang aku dalam dosa dan fitnah wanita. Aku tidak menangis, tapi aku menyesal. Engkau mampukan aku menaklukan hati mereka, aku tersesat Ya Allah. Aku tersesat. Engkau titipkan kata-kata manis dibibirku, aku dekat dengan nerakamu ya Allah. Hari ini, kau titipkan kebulatan tekat dan kata-kata kasar dimulutku, dan aku tetap dekat dengan nerakamu. Aku Hina, ya Allah! Hinanya aku dimatamu!”

Saya termangu mendengar doa sederhana itu. Hingga suatu hari, saya melihat Rizal. Ia diam. Berminggu-minggu, saya lihat ia lebih banyak senyum daripada bicara. Saya sempat bertanya padanya perihal agama padanya, ia berkata, “Kau yakin ingin tahu pendapatku? Aku takut kau akan tersesat”. Tersesat? Kata batinku. Apakah Rizal sudah masuk aliran sesat? Saya harus selamatkan dia! harus!

“Aku lihat engkau begitu berubah akhir-akhirnya, Rizal”

“Berubah? Tentu! Aku berharap perubahan yang lebih baik, Riyan”.

“Biasanya kau berkata ini haram, itu haram. Tapi akhir-akhir ini kau lebih suka tersenyum dan bercanda dengan teman-temanmu. Apakah ini pertanda kamu sudah menyerah kepada teman-teman yang menentangmu?”

“Aku pernah belajar agama, dan aku terpenjara oleh pikiranku. Islam kujadikan kotak yang tidak ada celah untuk melihat keluarnya. Akhirnya, Aku keras. Mungkin lebih dikatakan Ekstrimis. Para Alim berkata, “Belajar tanpa guru, itu dekat dengan kesesatan”. Dan aku telah merasakan masa itu, Riyan”.

“Apa maksudmu?”

“Pada awalnya, aku menyesali apa yang telah kuperbuat. Aku menyesal telah berpacaran. Aku menyesal meninggalkan shalat. Sampai suatu hari aku jatuh cinta pada Al Quran. Aku belajar dengan buku-buku itu, tanpa paham dasar ilmunya. Sampailah aku pada kekerasan sikap. Dan jadilah aku yang kamu lihat ini”.

“Well, jadi?”

“Rasa cintaku pada “kebenaran” telah melangkahi rasa cintaku pada Al Quran. Rasa cintaku pada ukhuwah Islam. Aku begitu mudah mengatakan salah padahal itu ranahnya Fiqh. Ranahnya Ikhtilaf. Astaghfirullah. Dan aku punya banyak dosa karena meninggalkan kekasih-kekasihku dalam kebencian”.

“Banyak sekali masalahmu, kawan”.

“Tidak banyak. Itulah kehidupan, tanpa riak kecil ia tidak akan menarik. Aku berhutang maaf pada beberapa wanita. Mungkin liburan esok aku akan penuhi. Meski, jika aku diminta untuk pacaran lagi, aku akan menolaknya. Karena aku sudah istiqomah dengan jalani ini”.

“Jalan apa Rizal?”

“Jalan dimana aku harus menjaga kesucianku. Jalan dimana aku harus berada didalam keindahan Islam. Jalan dimana ukhuwah islamiyah terjaga karena kesamaan akidah. Dan seperti kamu, aku akan berkata seperlunya untuk tetap merasakan betapa indahnya Islam itu”

“Mungkin lebih tepatnya, Kita belajar, belajar dan belajar. Jika dalam belajar itu kita menjadi keras, itulah prosesnya bukan? Proses sebelum menuju kelembutan hati ini.”

“Kau memahami apa yang ku sampaikan, kawan. Sekarang, setelah kemarin diskusi panjang lebar dengan Ust. Hamdhan, ternyata dakwah itu indah. Berteknik dan berseni. Penuh diplomasi dan kata-kata manis. Perlu naik turun dan tetap istiqomah”.

“Aku aku tidak paham lagi -_-“

Saya saksikan saat itu, Rizal tidak pernah lagi berkata ini halal atau haram lagi. Namun ia semakin punya magnet. Saya rasakan itu. Saya sempat membaca email yang dituju padanya. Subhanallah, ia jadi tempat konsultasi agama. Di masjid pun ia membuat kelompok liqo dengan teman dan adik-adik kelas. Saya mulai berpikir, keras kepalanya itu akan hilang. Tapi kecintaannya terhadap islam itu yang akan semakin bertambah.

Telah 4 tahun saya bersama dengannya. Saya pun kembali diberi kesempatan merekam jejaknya. Ia sempat berkata pada saya bahwa ia pernah bergabung dengan kelompok islam yang ingin khilafah, ia merasa tidak pas katanya. Saya tahu, saya paham itu. Karena sepengetahuan saya, ia banyak belajar dari ulama salafi. Tentu sangat berbeda. Dan katanya, ia sekarang bergabung dengan kelompok tarbiyah dikampusnya. saya terhenyak ketika ia berkata padaku, “Pergerakan tarbiyah, Fiqh Salafi. Sempurna!”.

Sekali lagi saya berpikir, dakwah itu teknik. Dan dia memilikinya. Dan dia menikmatinya. Bayangkan, seorang yang saat itu berjuang dengan keras mengatakan ini benar dan salah. Bahkan sempat menjadi sumber perpecahan di sekolah, bisa berubah menjadi seorang yang penuh strategi. Saya menertawakan diri ini. betapa rendahnya saya. tapi sekali lagi, mungkin, ini yang disebut belajar. Dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak bisa menjadi bisa, dari yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Pernah Suatu hari, saya mendapat kabar bahwa ia mengajak seorang wanita untuk Ta’aruf. Ia menceritakannya pada saya, itu yang benar. Saya kembali terhenyak ketika ia berkata,

“Kau tahu? Butuh 7 bulan bagiku untuk mengetahui namanya. Butuh setahun lebih bagiku untuk mengetahui organisasinya. Butuh dua tahun bagiku untuk berani mulai mengenalnya”.

Saya tidak percaya. Tidak mungkin. Tidak mungkin seseorang yang bisa menaklukan 8 orang gadis dalam sebulan melakukan itu. Saya rasa, ia hanya butuh dua atau tiga hari melakukannya. Tapi ia tidak pernah berbohong. Jadi mau tak mau saya harus percaya padanya. saya bertanya,

“Kau yakin dengan apa yang kamu lakukan? Bagaimana hasilnya?”

“Ia menolak untuk berkenalan denganku. Aku tidak mendapatkan izinya”

“Kenapa kau harus minta izin padanya? Lakukan diam-diam! Bukankah ini keahlianmu dulu?”

“Kau tahu? Ketika aku melihatnya, aku berharap ia lah istriku nantinya. Dan aku mulai takut bagaimana jika bukan dia? kau tahu? Hatiku tiba-tiba menjadi abu-abu dengan itu”.

“Kau mencintainya bukan?”

“Tidak. Aku tertarik untuk mengenalnya. Aku hanya jatuh cinta pada istriku nantinya”

“Tapi kamu takut kehilangannya bukan?”

“Ada yang lebih aku takutkan. Aku takut kehilangan diriku saat aku mendapatkannya. Jadi, aku berazzam untuk menjadikannya bagian terpenting dalam relung hatiku. Suatu hari nanti. Bukan sekarang. Suatu hari nanti.”

“Kau bercanda, kawan! Bagaimana mungkin kau mendapatkannya jika kau tidak berusaha? Perlu aku jelaskan Adam dan Hawa?”

“Tidak. Aku paham itu. Paham betul. Pernah aku berdoa agar Allah  mempertemukan aku dengannya. Allah mengabulkannya hari itu juga. Pernah aku menuliskan sebuah surat untuknya, dan aku berdoa pada shalat malam ku agar surat ini sampai padanya. Allah hadiahkan kehadirannya didepan mataku keesokan harinya”.

“Itu tidak berarti apa-apa, bro. kau perlu berusaha menyentuh hatinya”.

“Aku percaya satu hal, selagi doa-doaku dikabulkan Allah terkait permintaanku padanya, Allah telah mendekatkannya padaku. Tapi aku begitu takut kehilangan diriku saat berada didekatnya. Aku terpaksa menghindari pandangan matanya, aku tidak berani”.

“Kau punya banyak teman wanita bukan?”

“Tapi yang satu ini berbeda. Dan entah bagaimana, aku reflex menghindarinya. Insya allah, jika ini cara Allah menghindarkan aku darinya, sungguh aku percaya, Allah persiapkan yang terbaik untukku digerbang penantian sana. Tapi jika ini cara Allah untuk menambah rasa tertarikku padanya, sungguh aku percaya, Allah lah yang maha kuasa.”

Saya pun jadi berpikir. Ternyata, belajar itu adalah perubahan. Saya melihat Rizal keras, keesokannya ia menjadi lembut. Saya melihat Rizal pacaran, keesokannya ia bahkan tidak berani mengungkapkan isi hanya. Saya melihat Rizal menjadi ekstrim, keesokannya saya menemukannya penuh intrik dan strategi. Dan bagi saya, ini belajar. Belajar itu berubah. Berubah itu menemukan jalan terbaik menuju surga Allah.

Saya tidak tahu sejauh apa kita akan berjalan, namun jika harus berhenti biarlah itu ditempat terbaik dan disaat terbaik. Dan bagi saya, itulah belajar. Belajar memahami bahwa Allah yang mendesign semua kejadian Indah di alam ini.


Bukan karena kuasa ia berkehendak
Ia berencana penuh harap
Bukan karena cinta ia berharap
Ia berharap penuh usaha
Bukan karena kekasih ia berusaha
Ia berusaha mengharap Ridho yang Kuasa
Jalan bukan segera berakhir,
Jika berakhir, biarlah ketempat terindah
Jalan bukan segera sampai
Jika sampai, biarlah penuh sejarah indah

#Fastabiqul Khairat

Komentar

Postingan Populer