Instagraming

Islamisasi Demokrasi Indonesia (Riyan Al Fajri)


Pendahuluan

Dalam Islam, nilai-nilai demokrasi disusupkan dalam Al Quran. Hal ini terabadikan dengan sempurna dalam Ali Imron: 159 dan Asyu-Syura: 38.

Dalam tafsir Ibnu Kasir terkait Ali Imron: 159, terdapat “wasyawirhum fil ardhi”, karena ini lah Rasulullah selalu bermusyawarah dengan siapapun, agar menjadi pendorong bagi mereka untuk melakukannya. Contoh dalam musyawarah perang badar, Rasulullah membawa mereka bermusyawarah terkait dimana posisi rasulullah dalam perang ini. akhirnya Al Munzir Ibn Amr mengusulkan beliau berada di depan pasukan muslim. Selain itu, perang Uhud juga diadakan musyarawah sebelum keluar dari kota Madinah. Dalam perang khandaq, Musyawarah menghasilkan ide penyelamatan madinah yang paling terkenal dikala itu. Musyawarah ini selalu dicontohkan oleh beliau disetiap kesempatan. Para ahli Fiqh berselisih paham, apakah musyawarah ini adalah perihal wajib bagi Nabi atau hanya hal yang dianjurkan untuk mengenakan hati para sahabatnya. Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

Dan tafsir untuk Asy-Syura: 38, menurut Buya Hamka dalam Tafsir nya, Al Azhar, ayat ini merupakan ayat Makkiyah. Turun sebelum daulah islamiyah hadir di Madinah. Disaat itu, fokus dakwah adalah tauhid. Perihal urusan pribadi diurus oleh pribadi masing-masing dan apabila diperlukan maka dimusyawarahkan bersama. Agar tercipta suatu kondisi berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.

Di lain pihak, demokrasi lahir lebih awal daripada turunnya ayat ini yakni abad ke 5 SM. Salah satu tokoh demokrasi, Socrates, mengemukakan bahwa Negara bukanlah semata-mata suatu keharusan yang bersifat objektif, yang asal mulanya adalah pekerti manusia, sedang tugas Negara adalah menciptakan hukum yang harus dilaksanakan oleh pemimpin atau penguasa yang dipilih oleh rakyat.

Asal kata demokrasi adalah demos (pemerintahan) dan kratos (rakyat) yang berarti pemerintahan rakyat atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tokoh demokrasi lainnya, Monstesque, menyampaikan konsep trias politica. Konsep pemisahan kekuasaan. Pada intinya, kekuasaan yang diperoleh Negara digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat. Untuk itu perlukan pemisahan wewenang agar terciptanya check and balance demi kesejahteraan rakyat. Pemerintahan dibagi menjadi Eksekutif (pemerintah), Legislatif (Badan Perwakilan), dan Yudikatif (Peradilan).

Prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah tercantum dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi". Menurutnya, Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial. Ciri-ciri Pemerintahan Demokratis, yakni:

  1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
  2. Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).
  3. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
  4. Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
  5. Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.
  6. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
  7. Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.
  8. Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dsb).

Hubungannya Ali Imron 159 dan Asy-Syura 38 itu dengan demokrasi

Dapat kita tarik sebuah benang merah antara keduanya. Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk bermusyawarah dan kebebasan yang bertanggung jawab dalam berkomunikasi dengan tujuan permasalahan dapat diselesaikan dengan solusi terbaik,  sedangkan demokrasi mengutamakan peran rakyat dalam pemerintahan. Tujuannya sederhana, menjadikan rakyat memiliki kontrol untuk kesejahteraannya.
Kontrol rakyat terwakilkan melalui badan perwakilan. dalam badan perwakilan, rakyat memilih wakilnya untuk mengurusi kebutuhannya. Melalui badan perwakilan, rakyat bersuara. Melalui badan perwakilan, rayat memperlihatkan pengaruhnya.

Adanya pengaruh suara rakyat dalam pemerintahan menjadikan musyawarah mau tidak mau, suka tidak suka harus dilakukan pemerintah. Tujuannya sederhana mengutamakan pemerintahan yang akuntabel, transparan dan terbuka. Rasulullah mencontohkan memusyawarahkan setiap keputusannya terkait hal dunia seperti perang badar, perang khandaq, perang uhud, bahkan perihal isu beliau menceraikan Aisyah, Istrinya, dimusyawarahkan. Posisi Rasululllah, selain sebagai nabi tapi jua sebagai pemimpin Daula Islamiyah ketika itu, menyebabkan rasulullah mencontohkan hal ini. dan ketika musyawarah dijadikan contoh yang baik oleh rasulullah disaat yang sama demokrasi melakukan yang sama, lantas apakah ini bukan dua hal yang sama?

Tidak semua nilai-nilai demokrasi diserap oleh Islam. Islam memang telah menganjurkan musyawarah dalam pengambilan keputusan, baik yang bersifat kenegaraan maupun perihal pribadi, namun islam tidak menganjurkan demokrasi secara liberal.

Demorasi liberal disini maksudnya adalah demokrasi yang sepenuhnya diambil berdasarkan keputusan mayoritas. Dalam Islam, sebagaimana menurut Hamka dalam tafsir Al Azhar, musyawarah ditujukan untuk mencari solusi dalam permasalahan ummat bukan untuk mengalahkan pihak tertentu dan membenarkan pihak yang lain. Praktek demokrasi yang demikian tentu tidak bisa dikelompok sejenis dengan musyawarah versi Islam.

Pada perkembangannya, setiap keputusan yang akan diambil oleh pemerintah dikomunikasikan dahulu dengan badan perwakilan. Praktek musyawarah dicontohkan pada proses ini. Rakyat melalui badan perwakilan ikut serta dalam musyawarah untuk menentukan kesejahteraannya melalui pengurusan Negara oleh pemerintah.

Rasulullah mencontohkan bagaimana mencari solusi dalam perang khandaq, kesetaraan yang diperkenalan oleh Islam telah melahirkan sebuah perspektif perang lain yang mampu mengandaskan pasukan kafir Quraisy. Pada saat itu, Salman Al Farisi, seorang dari bangsa Persia, ikut dalam musyawarah untuk menghadapi serangan besar-besaran kaum kafir Quraisy Mekkah. Tanpa melihat apakah dia seorang bangsa arab atau bukan, Salman ikut dalam musyawarah tersebut. Ini terjadi karena Islam mengenal perbedaan golongan, bahkan telah disampaikan dalam Al Hujurat: 13

“Hai Manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seorang lelaki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha tahu lagi maha mengenal”

Namun, perbedaan golongan bukan berarti perbedaan golongan tersebut menyebabkan perbedaan sikap dan hak. Karena Islam mengajarkan sebagaimana disampaikan dalam surat Al Anbiya: 92

“Sesungguhnya kamu umat yang satu. Dan Aku adalah tuhanmu. Maka sembahlah Aku”.

Bahwa golongan bukan dasar sebuah perbedaan. Perumpamaan yang paling masyur telah diabadikan dalam sebuah hadits

“Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya bagaikan bangunan yang saling mengikat dan menguatkan serta jalinan jari jemari”.(HR Muttafaq ‘alaihi dari Abu Musa)

Jadi, meskipun Salman Al Farisi seorang Persia, selagi ia Muslim, maka ia bagian dari masyarakat muslim yang ada pada saat itu. Perangnya kaum muslim saat adalah perangnya Salman Al Farisi sebagai penganut Islam.

Islam pula mengajarkan bahwa kepada bahwa dengan kaum kafir harus adil. Kasus tersohor adalah ketika gubernur Mesir menggusur rumah seorang tua yahudi buta dimasa Umar Bin Khattab. Umar mengambil sebuah tulang lalu digoreskan melalui sayatan pedangnya. Tulang tersebut dikirimkan kepada Gubernur. Sesaat menerima tulang itu, Yahudi buta tadi mendapatkan rumah nya kembali dan ganti rugi. Islam tidak hanya memberikan keadilan pada kaumnya, tapi semua kaum.

Itulah nilai-nilai demokrasi yang seharusnya ditegakkan. Bukan karena dia berkulit hitam lalu disingkirkan, sebagaimana politik apartheid di Afrika Selatan beberapa puluh tahun yang lalu. Bukan pula karena mereka kaya mereka yang memegang politik Negara, sebagaimana liberalism berkuasa di negeri-negeri barat. Hasilnya adalah rakyat tidak akan dilibatkan dalam kebijakan Negara. Dan konsep musyawarah, konsep demokrasi tercurangi dengan sangat meyakinkan.

Islamisasi Instrumen Demokrasi
Demokrasi memiliki bentuk demokrasi langsung dan perwakilan. Dalam menentukan kebijakan, pada demokrasi langsung dan perwakilan telah tersohor beberapa instrument yakni voting, musyawarah dan mufakat.

Islam telah jelas mencontohkan musyawarah sebagai jalan terbaik mendapatkan solusi terbaik. Namun, bukan berarti pengambilan keputusan langsung (dekrit) dan voting itu salah. Dalam sejarah Islam, voting beberapa kali pernah dipraktekkan. Misalnya ketika mengambil sikap pada musyawarah perang Uhud. Sebagian kecil sahabat berpendapat untuk bertahan di Madinah namun sebagian besar terutama yang muda-muda dan alumni perang badar ingin menyongsong medan perang. Maka beliau mengambil keputusan mayoritas dan umat islam maju ke medan perang meski beliau tidak mendukung keputusan itu. Dan perang itu berakhir dengan kekalahan umat islam.

Contoh lainnya adalah ketika pengambilan keputusan terkait tawanan perang sebelum perang badar dilakukan. Umumnya pendapat yang berkembang adalah mujahid menginginkan tawanan perang dan tidak membunuhnya. Hanya Umar bin Khattab saja pada saat itu yang bersikeras bahwa umat Islam tidak pantas untuk meminta tebusan tawanan perang, sementara perang masih berlangsung. Pendapat Umar bin Khattab dibenarkan oleh Allah dengan diturunkannya ayat yang mengoreksi ijtihad nabi dan membenarkan pendapat umar.

Sejarah Islam telah menceritakan bahwa Voting pernah digunakan dalam Islam maka bukan pada tempatnya kita mengatakan bahwa instrument demorasi berupa voting itu bertentangan dengan Islam. Namun perlu pula digaris bawahi, sejarah islam mencatat, mengikuti suara terbanyak tidak menghasilkan kebenaran yang hakiki. Malah sebaliknya, umat islam kalah dalam perang uhud dan ijtihad Rasulullah di koreksi oleh Allah.

Tepat dan pantas, itulah yang seharusnya dipilih dalam model demokrasi. Mengingat Demokrasi adalah pemerintahan rakyat, pemerintahan dengan tujuan mensejahterakan rakyat, pemerintahan yang melibatkan rakyat, seharusnya rakyat ditempatkan pada posisi tepat dan pantas.

Apa itu tepat dan pantas?

Tepat berarti tetap kondisi dan konteks. Rakyat diberikan hak untuk bersuara namun hak tersebut tidak diikuti pendidikan yang cukup. Hal ini bukan melahirkan hasil yang benar, malah akan menyebabkan pengarahan pendapat rakyat. Islam memperlihatkan keadilan untuk mengatasi permasalahan ini. Orang-orang yang paham diberikan nilai yang lebih tinggi pendapatnya daripada yang tidak paham. Hal inilah yang menyebabkan islam pernah mampu mencapai masa gemilangnya.

Kita tidak bisa menyamakan pendapat seorang professor dan seorang yang tidak pernah sekolah/ menerima pendidikan yang layak. Nilainya berbeda. Untuk bisa mewujudkan suatu system demokrasi yang seirama dengan musyawarah yang diajarkan Islam, seharusnya Rakyat diberikan pendidikan sehingga mampu berpikir layaknya pemikir lainnya.

Kondisi seperti ini akan melahirkan tatanan yang lebih baik dan konteksnya adalah mensejahterakan rakyat melalui rakyat itu sendiri. Kita tidak bisa membiarkan rakyat yang tidak mengerti terus-terusan memilih orang yang tidak tepat untuk menjadi wakilnya di badan perwakilan. sehingga secara konstekstual, disaat demokrasi berjalan, rakyat pun diberikan edukasi yang layak untuk memberikan suaranya.

Pantas berarti kesamaan suara. Politikus sering kali menggunakan istilah “Suara anda mampu merubah Negara” dalam kampanye nya. Itu benar dalam sebuah pemilihan secara langsung. Namun, kesamaan suara itu tentu akan menjadi malapetaka apabila masyarakat belum siap untuk menjadi bagian dari demokrasi itu. Hal ini lah yang menyebabkan voting, menjadi kurang bernilai dibandingan instrument musyawarah. Karena esensi dari pemilihan langsung adalah voting. Sedangkan voting telah banyak menceritakan sejarah kelam dalam Islam.

Demokrasi Islami Indonesia

Berkaca dari kasus Indonesia, dalam badan perwakilan dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat, praktek musyawarah telah dilaksanakan sebagaimana amanah dari sila ke 4 Pancasila. Namun tentu, pada prakteknya kita masih bermasalah terkait siapa yang melakukan musyawarah tersebut.

Tidak jarang, anggota dewan yang bermusyawarah kurang menampakan kecerdasan emosional dan intelektualnya. Contoh sederhananya adalah ketika terjadi keributan di rapat DPR RI dimana ketua DPR saat itu, Marzuki Alie, dipertanyakan oleh kelompok oposisi yang merangsek ke depan. Selain itu, sikap tak senonoh seperti menonton film porno saat rapat paripurna pun tidak dapat kita sembunyikan dari public.

Apa penyebabnya? Suara rakyat.

Penyebab utama orang-orang seperti itu masuk ke senayan adalah suara rakyat. Sebagai Negara yang berumur lebih dari setengah abad, Indonesia seharusnya telah mampu memberikan edukasi yang setara pada masyarakat. Namun, umur dari demokrasi nyata Indonesia baru 14 tahun. 14 tahun belum cukup untuk mengedukasi 234 juta jiwa penduduk Indonesia. Selama ketidaksiapan itu ada, selama itu pula perwakilan yang tidak tepat akan terus mewakili rakyat di kursi legislatif.

Pilihan seperti wakil rakyat merupakan perwakilan kelompok saja berdasarkan suku bangsa dan komunitas sempat muncul dipermukaan, namun excess politik yang dihasilkan tentu bisa lebih besar. Bagaimana jika terjadi kongkalikong di komunitasnya. Tentu itu tidak akan merubah apapun.

Sebagaimana ciri pokok demokrasi adalah adanya keterlibatan rakyat dalam proses pemerintahan dan dihormati dan dihargainya hak asasi rakyat, Indonesia sebaiknya melakukan edukasi public yang lebih gencar.
Instrument, musyawarah ataupun voting, keduanya telah dicontohkan dalam islam. Namun jika yang bermusyawarah adalah yang tidak tepat, ia tidak akan menghasilkan apapun selain kemerosotan yang sama sebagaimana Ali bin Thalib dikisahkan:

Ali Bin Thalib ditanya oleh seseorang, “Ya Ali, masa pemerintahanmu tidaklah sama ketika Abu Bakar dan Umar memerintah”. Ali pun menjawab, “Tentu tidak sama. Dimasa Abu Bakar dan Umar, Aku lah rakyatnya. Dimasaku, Kalian lah rakyatnya. Ingatlah, Pemimpin itu seperti apa rakyatnya”.

Apabila rakyat Indonesia tidak siap, Perwakilan pun tidak akan sebaik yang diharapkan. Untuk itu, untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan menyelamatkan negeri ini dari kaum perongrong, sebaiknya Pemerintah melakukan edukasi yang layak pada rakyat. Dan hasil dari edukasi itulah yang menjadikan demokrasi Indonesia memasuki masa-masa islamisasi. Karena Islam sangat menaruh perhatian pada edukasi dan ilmu.

Sumber:
+ Tafsir Ibnu Kasir
+ Tafsir Al Azhar, Buya Hamka
+ Islam dan Demokrasi, Hefner
+ Agama Demokrasi, Pilih Islam atau Demokrasi, Syekh M.Asim Al Maqdisy
+ Islam, Sekulerisme, Liberalisem, Nader Hashemi

NB:
TULISAN INI SAYA TULIS KARENA LAGI GALAU MEMAHAMI ENSIKLOPEDIA KEUANGAN PUBLIK ISLAM DARI ABU UBAID AL QASIM.

+ Jika terdapat ketidaksinambungan mohon maaf ya

+ FASTABIQUL KHAIRAT

Komentar

Postingan Populer