Selamat Jalan, Nek
Hari itu, saya masih nonton film jepang hingga menunjukkan pukul 02.00 Malam. Sebelumnya, saya sudah tidur dari 19.00-21.00 jadi, saya bisa shalat malam pada pukul 2 atau 3 malam setelah nonton. Saya melakukan aktifitas biasa saya. Setelah sejenak mata sudah mulai tertidur, pukul 04.30, saya mendapat telpon dari Papa.
“Assalamualaikum, nak. Sudah mau shalat?”
“Baru aja azan pa. paling lima menit lagi jamaah di masjid”, saya mendengar nafas berat papa. Dalam pikiran saya, pasti ada sesuatu yang buruk. Saya mulai berpikir, apakah ini menyangkut salah seorang adik saya? Tidak mungkin. Mama? Apalagi. Sepengetahuan saya yang paling ”tidak sehat” dikeluarga ini hanya saya.
“Riyan, kamu yang tabah ya nak”
“Iya. Ada apa pa?”
“Nenek udah duluan nak”
Shock. Gundah. Sedih. Semua bercampur aduk. “Innalillahi wa Innailahi Raji’un”, ucap bibir saya.
“Riyan pulang? Ada kuliah nanti?”
“Riyan pulang. Nanti ada kuliah pajak pa. tapi Riyan pulang”.
“Riyan, tak usah pulang tak apa-apa. Nenek kan udah pergi juga. Kamu fokus aja kuliah, kan sekolah kamu ndak boleh bolos satu hari pun”.
“Biarlah, yang penting Riyan pulang pa. Nanti, kalau udah waktunya udah dikuburkan, dan riyan belum sampai, Kuburkan saja dulu. Tidak perlu nunggu Riyan pa. Jangan sampai Mayit tidak mendapatkan hak untuk dipercepat penyelenggaraannya karena menunggu keluarganya”.
Saya masih ingat ketika itu saya hanya punya uang Rp 200.000 disaku. Akhirnya, dengan I-banking saya mampu membeli tiket pesawat seharga 500ribuan. Ya walaupun saya mau ke travel agen, tetap tidak ada yang buka. Selama perjalanan, jiwa kelelakian saya pun seperti alpha. Air mata turun saja tanpa minta izin. Selama perjalanan, selalu saya mengulang-ulang kalimat:
“Jangan meratap! Cukup bersedih! Jangan meratap! Cukup bersedih! Innallaha Ma’ana. Innallaha Ma’ana”
Betapa tidak saya menakuti jika kesedihan itu berujung pada ratapan,
"Tidak termasuk golongan kami orang yang menampar pipi dan merobek-robek pakaian dan menyeru dengan seruan jahiliah(dalam meratapi kematian)".(HR Bukhari)
Sesampainya di rumah bibi, semua keluarga, sanak-famili, rekanan, tetua suku, datang memberikan penghormatan. Ketika sampai, saya langsung ke belakang rumah dan bibi menyuruh saya menemui mama. Semua orang tahu, mama adalah orang yang paling akan terpukul dalam kejadian ini. beliau sangat mencintai ibu nya itu.
“Riyan, pergi temeni mama di depan. Buat dia tersenyum”
Misi pertama, membuat mama tersenyum. Alangkah aneh nya ketika itu disaat hati saya sedang gunda gulana, tapi disuruh membuat orang lain tersenyum. Ini pelajaran mungkin bagi saya sebagai lelaki. Sesulit apapun keadaan, sebagai lelaki, apalagi anak pertama, tentu harus paling tabah diantara semuanya. Sama seperti ayah ketika kakek meninggal. Disaat semua orang menangis terseduh-seduh, aku melihat ia masih bisa tersenyum. Padahal ketika di rumah sebelum pulang ke desa, ia menangis dan ditenangkan mama.
“Ma, ndak bolio nangih do. Susa enek ko. Baca Quran nyo kan?” (ma, tak boleh nangis do. Susah nenek nanti. Baca quran udah kan?)
“Iyo lah. Towui dibaconyo nak, daghi sobolun pun towui”.(Iya lah. Terus dibaca kok nak, dari sebelum-sebelumnya pun terus)
“Ingek:
"Tidak halal seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berkabung karena kematian, lebih dari tiga malam, kecuali atas kematian suami, maka harus berkabung empat bulan sepuluh hari.". Riwayat Bukhari”
Nah, Ebatkan anak mama, tau hadits. Ndak nyose mama punyo anak kek iyan do. Haha” (Nah, hebatkan anak mama, tahu hadits. Tidak nyesal mama punya anak seperti riyan ini. haha)
Akhirnya, saya pun mengalihkan pembicaraan ke kuliah saya. Ya dengan sisipan garing yang biasa saya lakukan. Cukuplah untuk membuat mama tersenyum. Lantas saya izin ke kuburan nenek. Sesampainya disana, saya berdiam diri.
Lama saya berdiam dan berpikir. “She’s such as an amazing woman”, bathin saya gemuruh. Bagaimana tidak? Nenek adalah remaja putri yang berasal dari keluarga yang terkenal sebagai keluarga terdidik. Sepupu nenek ada yang menjadi bupati, PNS, dll. Nenek pun bisa baca tulis, terutama tulisan arab. Bacaan Al Quran nya tidak perlu diragukan lagi. Berbeda dengan beberapa wanita yang seumuran dengannya.
Seingat saya, mama pernah cerita bahwa nenek menikah diusia 15 tahun. Nama beliau Darama Taksiah. Seperti kebanyakan perempuan, ia menikah dengan dijodohkan. Ia menikah dengan alm. Kakek yang merupakan karyawan di Telkom sebagai istri kedua dari kakek. Bertindak sebagai istri muda, tentu ada banyak suka dukanya. Namun, itu tidak menyulut api semangat yang pada dirinya.
Berawal dari tidak memiliki apa-apa selain apa yang ditinggalkan orang tuanya, nenek pun bertani dan berternak. Saya masih ingat ketika kecil dan pulang kampung ayam nenek banyak sekali. Dari hasil ternak dan tani itu, ia membeli tanah atas namanya, menyimpan emas, dan membeli sawah.
Mama pernah cerita, bahwa nenek tidak pernah punya lebih dari 4 ekor kerbau. Kalau lebih pasti dijual salah satunya. Alasannya adalah perawatan. Dan hasilnya dijadikan emas, tanah ataupun sawah. Mungkin kalau sekarang kita menyebutnya dengan diversifikasi investasi. Dan disaat saya baru belajar sekarang, nenek sudah menerapkannya berpuluh-puluh tahun yang lalu. Awesome.
Hasil dari kerja keras nenek adalah anak-anak nya. Semua tabungan, ia pergunakan untuk sekolah anak-anaknya. Pada zaman dahulu, orang yang sekolah itu hanya yang berduit, nenek tidak punya duit yang banyak, tapi dia punya tanah, sawah, emas dan ternak. Itulah modal nya menyekolahkan anak-anaknya. Saya ingat sekali ketika mama berkata, “Amak tidak masalah makan apa adanya, asalkan anak-anak amak sekolah sampai-sampai”. Dan memang, semua anak nenek sudah sekolah, dan yang lebih lucu lagi, semuanya adalah Pegawai Negeri Sipil dengan pangkat dan jabatan masing-masing.
Saya masih ingat juga ketika mama berkata, hampir sepertujuh dari persawahan itu milik nenek, tanah kuburan itu dulu nenek yang beli untuk di berikan kepada umat, dan bersama kakek, mereka membeli tanah di daerah perbukitan. Tujuannya adalah untuk investasi biaya sekolah anak-anak nya. Mungkin kalau sekarang kita bisa menyebutnya, Asuransi Pendidikan. Bedanya, nenek menjadikannya dalam bentuk Aset non lancar, dan perusahaan mencatat pembayaran premi asuransi sebagai beban.
Mama pun berkata disaat itu, kamu, harus pintar mengatur uang dan harta. Bukan untuk mama ataupun kamu, tapi untuk sekolah anak-anak kamu. Nenek saja bisa menyekolahkan 9 orang anaknya dan semua nya sampai sarjana, nah masa kamu yang udah kuliah saja ga bisa? Padahal nenek tidak sampai kuliah loh.
Lantas saya berpikir, apakah nenek kaya? Nenek tidak kaya, saya bisa konfirmasi itu. Tapi yang jelas tampak dimata saya, nenek adalah orang yang pandai mengatur dirinya. Ia pandai memperhitungkan kondisi hingga anak-anaknya sekolah semuanya. Saya lebih suka mengatakan, bagi nenek hidup itu adalah survival, not being rich or poor, but survive in every condition you face.
“Such as an amazing woman”, saya mengulang-ulang kalimat itu.
Saya masih ingat pula wejangan nenek kepada saya ketika mau kuliah. Jelas masih berbekas dikepala saya:
“Riyan, Elok-elok bao dighi ditompek uang. Jen pulo bao bini daghi situ. Solosaikan kuliah dulu, nyak babini, babini lah beko. Jen lupo shalat, baco Quran. Itu tompek awak mangadu nyo nak. Jen pulo tabao iduik. Cai jalan yang mudah tompek kembali” (Riyan, pandai-pandai awa diri ditempat orang. Jangan pula bawa Istri dari situ. Selesaikan kuliah dulu, mau beristri, beristrilah nanti. Jangan lupa Shalat, baca quran. Hanya Itu tempat kita mengadu, nak. Jangan pula terbawa arus hidup, cari jalan yang mudah dengan tempat kembali (Allah))
Akhirnya, saya berdoa untuk beliau saat itu. Saya pun pergi dan meninggalkan kuburan itu sambil berkata dalam hati, “I will survive, grand ma. I will survive like you did. Selamat jalan, nek. Sampai berjumpa di surga”.
“Disaat kita yang muda-muda ini baru belajar, para tetua telah mempraktekkannya terlebih dahulu. Maka pantaslah kita mengambil pelajaran dari pengalaman hidup mereka. karena sungguh, pengalaman adalah guru yang paling menyenangkan” Riyan Al Fajri
NB:
Saya menulis ini pada hari ke empat setelah nenek berpulang, sengaja baru di share sekarang agar saya terhindar dari sikap meratap. Sungguh, semoga kita terhindar dari kesedihan yang berlebihan. Semoga kisah hidup beliau bisa menjadi pelajaran untuk kita semua.
#Fastabiqul Khairat
Komentar
Posting Komentar