Instagraming

Saya Gagal

The real you is in your mind, then show out! don't keep in mind
Well, saya mengaku saya gagal. Sekali lagi, saya gagal. Saya punya proyek buku aktifis mahasiswa. Sudah selesai dua bab. Masih ada 12 bab lagi, sampai 25 April 2013 saya putuskan untuk sementara berhenti menulis. Saya ingin menikmati masa-masa akhir saya menjadi mahasiswa tanpa harus memikirkan ide-ide aneh saya. Sebulan saja saya berhenti menulis, sebulan saja. Dan saya gagal.

Saya pelajari satu hal, ternyata hobi memang sukar untuk diubah dan dihentikan. Setuju? Pernah suatu ketika, terbersit dipikiran saya, kenapa saya hobi menulis? Untuk apa saya menulis? Mendapat uang. Ah, tidak. Saya tidak ingin uang. Ayah saya masih mengirim uang per-6 bulan ke saya. Atau terkenal? Saya kira level saya masih underground writing, itu tentu tidak akan membuat saya terkenal. Jadi untuk apa? Agak lucu rasanya jika harus menulis tanpa tujuan.

“Saya ingin berbagi inspirasi!”, ujar hati kecil saya suatu ketika. Akal cermat saya pun berucap, “Ah itu bukan tipe saya. Mana bisa aku jadi inspirasi, kontroversi iya kali”. Ada sejuta alasan yang saling bertubrukan dalam kepala ini.

Terlepas dari semua tubrukan ini, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan. Bagi saya, menulis adalah seni menyampaikan pendapat. Dengan manipulasi kata-kata, kita mampu membuat orang suka maupun benci atas suatu hal dengan cara kita. Tapi yang lebih utama dari menulis bukanlah seni nya itu, yang terpenting dari menulis adalah memori yang terekam disetiap kata yang tergambar olehnya.

Dengan menulis saya bisa menjadi siapa saya. Jika kita berkiblat pada mata kuliah Kepribadian Diri, dimana konsep diri itu merupakan the way you look yourself, the way you like to be, and the way you feel people look onto you, saya berkata menulis telah mampu memperlihatkan konsep diri saya yang sebenarnya.

Contoh sederhana, saya sering kali mengisi tulisan saya dengan kejadian nyata yang saya alami. Memori saya terekam didalamnya. Dan dari sudut pandang orang lain yang bersama saya, mereka punya pemaknaan. Saya punya pemaknaan, ketika saya menuliskan makna kejadian itu dan orang tersebut membaca pikiran saya, orang tersebut berusaha memahami dari sudut pandang saya. Dan akhirnya terjadilah suatu kejadian yang kita sebut empati.

Empati, keadaan dimana kita memposisikan diri kita menjadi orang termaksud, tentu akan membawa kita pada suatu rasa yang lebih dalam. Bayangkan semua orang berempati, sosialita seperti apa yang bisa kita bentuk?

Saya tidak sedang mengatakan, “Eh, ayo menulis agar kita berempati”. Tidak. Saya bahkan tidak punya maksud seperti itu sama sekali. Adapun yang ingin saya sampaikan adalah jiwa. Setiap perbuatan yang kita lakukan ada jiwa yang kita barengi. Andai kata kita memberikan sedikit sentuhan jiwa itu dalam perbuatan kita, ada berapa jiwa yang akan tersentuh oleh jiwa-jiwa lucu kita?

Dan hal-hal kecil ini akan membawa sebuah perubahan. Misal, saya menulis. Saya titipkan jiwa saya dalam tulisan saya untuk menyentuh jiwa pembaca nya. Bukan tidak mungkin jiwa pembaca akan terguncang pula bukan? Tapi coba saya menulis kritikan tanpa solusi atau celaan, jiwa siapa yang akan saya sentuh? Tulisan mencela itu bagaikan tamparan atau sahutan, coba tebak apa yang akan dilakukan oleh orang yang ditampar? Memberi kamu hadiah? Mengucapkan selamat telah menamparnya? Itu tidak akan pernah terjadi.

Sekali lagi, empati. George Eastman sebelum bunuh diri ia membuat sebuah note, “Pekerjaanku telah selesai. Mengapa harus menunggu?”. Ia bunuh diri diusia 78 tahun. Eastman menuliskan sebuah pesan pendek yang sangat bermakna. Sekarang apa yang kamu pikir tentang note itu? Eastman bodoh? Saya rasa tidak, ia penemu roll film untuk fotografi sehingga Kodak Berjaya dizamannya. Eastman merasa hidupnya bosan? Bodoh sekali ya, sudah kaya, tua, bunuh diri pula.

Sekarang coba berempati, tempatkan diri kita pada posisi Eastman. Bayangkan kita mempunyai perusahaan yang punya untung besar, harta melimpah, kita terkenal. Kira-kira apa lagi yang kita cari? Harta? Wanita? Atau kematian?

Kita tidak dapat membenarkan apa yang dilakukan Eastman. Iya. Dan kita tidak dapat pula menyalahkannya. Itu sudah terjadi. Itu inti yang ingin saya sampaikan. Hobi, kegiatan apapun, kamu bisa berhenti. Kamu bisa tinggalkan. Tapi kamu membohongi diri kamu. Kenapa? Karena itu semua telah terjadi. Kamu tidak bisa merubah apa yang kamu suka kecuali dengan menyiksa diri kamu. Ingat itu!

Untuk itu, Coba berempati pada diri sendiri, tempatkan dirimu pada dirimu yang sebenarnya. Bukan diri yang sekarang yang ambisius pada perubahan yang belum terjadi. Diri yang sedang menghukum jiwa kamu. Jiwa yang seharusnya engkau titipkan disetiap perilakumu. Ia tersiksa.

Berempatilah. Tutup matamu. Jadilah dirimu yang belum berubah. Rasakan bedanya. dan temukan konsep diri kamu. See? Sebenarnya Kamu itu luar biasa bukan? Lantas jika dengan hal seperti itu kamu luar biasa, why don’t you do again and again?

Siapa tahu, hobi kamu bisa menginspirasi orang. Siapa tahu, hobi kamu bisa menyelamatkan orang. Siapa tahu, hobi kamu bisa menyenangkan orang. Dan kamu tahu apa hal yang paling membahagiakan didunia ini? Itu bukan harta, bukan wanita, apalagi tahta. Yang paling membahagiakan adalah ketika kamu mampu membuat orang lain tertawa bahagia. Tidak percaya? Buktikanlah!

Komentar

Postingan Populer