Instagraming

Akar dari Akar

Pemateri          : Nuryaman Berry (Direktur Eksekutif Lembaga Kajian LASTIKA ’98)
Tema              : Penggalangan Massa
Tempat            : Sekolah Politik Kerakyatan KIBAR, Pejaten, Jaksel
Tanggal/Waktu : 8 Juni 2013, 16.00-18.50

Dalam kehidupan, Ilmu dan amal harus senantiasa kita sandingkan. Amal tanpa ilmu, mengambang. Ilmu tanpa amal, sia-sia. Ilmu tidak akan bermanfaat jika kita hanya diam dan tidak mengaplikasikannya. Jika tidak mampu mengaplikasikannya, kita seharusnya mampu membaginya, menjadi guru misalnya.

Dalam ilmu penggalangan massa, kita pasti akan bicara politik. Kenapa? Karena ini adalah ilmu politik. Penggalangan massa ini dapat kita bagi menjadi dua kriteria.
  1. Bernuansa Politik Praktis
  2. Bernuansa Gerakan politik
Apa bedanya?

Politik praktis itu erat dengan tujuan utamanya yaitu kekuasaan politik. Instrument yang biasa digunakan adalah partai politik. Partai politik bisa menggunakan sayap ormas politiknya atau sayap kepemudaannya. Itu banyak dipraktekkan sekarang. Jadi tidak hanya sekedar kampanye, partai politik membentuk atau membina ormas-ormas atau organisasi kepemudaan dengan harapan mampu mendulang suara pada parpolnya.

Praktik buruk yang sering dilakukan partai politik adalah “mengumpulkan masa bayaran”. Ini adalah salah satu bentuk kekacauan sosial. Jika ini terus dipertahankan, kita akan melihat kehancuran. Kenapa ini terjadi? Ini karena partai politik “tidak mampu” mengkomunikasikan ideologinya, paham-pahamnya, untuk meraih dukungan dan simpati. Kenapa demikian? ini karena partai politik itu sendiri berdiri karena kekuasaan politik bukan karena ideologi politik.

Lalu kita bicara penggalangan masa dengan nuansa gerakan politik. Gerakan politik tidak menfokuskan pada kekuasaan politik, tapi melakukan perubahan politik. Contoh: gerakan mahasiswa ’98. Tidak ada mahasiswa yang berebut kekuasaan politik bukan? Tapi mereka bersatu untuk menjatuhkan rezim politik orde baru. Itu gerakan politik. Siapa saja yang bisa melakukan gerakan politik? Mahasiswa, buruh, tani, siapa saja! Siapa saja!

Gerakan politik berfokus pada perubahan. Perubahan bisa bersifat evolusi, bisa revolusi. Soekarno pernah berpesan pada kaum muda, “Hai Pemuda Indonesia, Revolusimu belum berakhir!”. Kenapa demikian? jawab sendiri. Yang pasti, baik itu evolusi maupun revolusi, gerakan politik memiliki dua ciri khas yaitu dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau secara terbuka.

Mahasiswa, kita berada dizaman reformasi bukan? Apa sudah berhasil? Reformasi kita belum sempurna, ini momentum bagi kita. Angkatan ’98 telah membuat sejarah, ini giliran kalian. Soekarno sering kali mengingatkan tentang jembatan emas bahwa kemerdekaan hanyalah pintu dari kesejahteraan. Para pejuang kita, mereka hanya mengantarkan kita pada kemerdekaan, pada pintu itu. sisanya, itu tugas kita yang akan melanjutkannya. Ini giliran kita, let’s make histories. Kita ditunggu oleh rakyat, mahasiswa!

Disaat kita melakukan penggalangan massa, kita perlu berpijak pada tanah. Maksudnya, kita perlu memiliki ideologi. Apa ideologi kita sekarang? Pancasila mungkin? Kita mengaku ideologi kita pancasila, tapi sosial, ekonomi, budaya, politik kita mengarah pada liberal. Jika ideologi kita pancasila, kita tidak akan membebaskan asing menguasai sumber daya alam kita. Jika ideologi kita pancasila, K-POP tidak akan lebih popular dari pada Jaipong. Jika ideologi kita pancasila, kita tidak akan lebih memilih “one man one vote” ketimbang musyawarah dan mufakat.

Kita mengaku ideologi kita pancasila, kita perlu benar-benar paham kondisi apa yang membuktikan “KITA PANCASILA”. Dalam gerakan politik, ada beberapa level yaitu:
  1. Taktis
  2. Strategis
  3. Ideologis
  4. Filosofis
Pergerakan kita sering kali hanya berada pada level taktis dan strategis. Akibatnya, kita tidak mampu membangun kepercayaan pada masyarakat. Kita tidak mampu mempertahankan jati diri kita. Kita ingin jadi pejuang, tapi kita berlaku seperti pemain. Pejuang tidak takut miskin karena ia yakin burung saja diberi rezki, apalagi kita yang berjuang untuk bangsa?

Pejuang berani berkorban. Soekarno pernah berkata, “Biarkan aku jadi kayu bakar bagi rakyatku”. Maksudnya, ia rela berkorban. Apapun untuk Indonesia merdeka. Ini kita baru saja mau berjuang, eh sudah takut miskin, eh sudah takut dimutasi, eh sudah takut karirnya dihambat. Itu adalah propaganda! Itu adalah kekalahan kita. Apakah kita akan terus mau dijajah oleh pemain-pemain yang menjarah hak rakyat kita? Tidak bukan?

Sering kali, dalam membangun ideologi pergerakan, kita terjebak pada cover masalah, bukan pada inti masalah. Kenapa? Karena kita terlalu sering dininabobokkan oleh kalimat “negara kita miskin”, “negara kita kacau”, “negara kita tidak ada apa-apanya”. Tapi tahu kah kamu bahwa kita punya harta emas yang begitu banyak yang dipakai oleh the FED untuk membangun dolar mereka? Tidak percaya? Baca The Green Hilton Agreement!

Ingat, penggalangan massa adalah upaya menyatukan kemampuan kita dalah mencapai kesatuan tujuan dalam hal ini berkaitan dengan kuantitas massa. Apa saja yang dibutuhkan? Visi! Itu jadi syarat utama. Visi adalah bahasa nyata dari ideologi. Ideologi mempersiapkan keyakinan kita, visi menyiapkan target kita.

Setelah itu, kita butuh pemimpin. Ingat, kita perlu pemimpin bukan pemain! Setelah itu, kita perlu sistem kerja, metode penggalangan massa, dan job description. Kita perlu menentukan metode agar tepat sasaran. Tidak mungkin kita ke pesantren, tapi kita bicara demokrasi. Tidak mungkin kita ke petani, tapi bicara dunia perbankan. Kita perlu mengenal sasaran kita dan kita tentukan apa yang perlu kita sampaikan untuk menarik perhatian mereka.

Berkaitan dengan massa, ada beberapa karakter yaitu massa massive dan massa cair. Massa cair biasanya tidak memiliki ideologi yang jelas. Biasanya mereka ikut karena ikut-ikutan atau karena ada uang nya. Untuk mendapatkan suara dari kelompok ini, kita bisa memberikan apa yang mereka butuhkan sembari kita memberikan pendidikan ideologis kepada mereka. Ingat, kita tidak sekedar mengumpulkan, kita perlu menguatkan barisan. Dan kekuatan itu tidak akan muncul jika massa kita tidak punya kesatuan ideologis.

Dalam penggalangan massa, kita perlu modal. Modal itu adalah sosial, politik, dan ekonomi. Modal sosial contohnya ormas-ormas, teman, dan diri kita secara pribadi. Kita perlu memiliki kemampuan public speaking, menulis, dsb. Modal politik misalnya organisasi politik atau organisasi pergerakan. Kita perlu bendera untuk mengumpulkan massa. Jika bendera kita tidak jelas, bisa dipastikan penggalangan massa kita tidak efektif. Pertanyaan konyolnya, “Lah kita ngumpul buat apa?”. Selanjutkan modal ekonomi perlu untuk mendukung teknis seperti makan-makan saat kumpul, ya yang sederhana, tapi bukan mencari massa bayaran. Itu berbeda!

Komentar

Postingan Populer