Instagraming

Depresi, Aku Selesai

                Sejak kemarin, aku tidak banyak berpikir. Satu per satu semangat ini pergi. Aku termenung dalam kegelisahan yang tak berujung. Aku tidak bisa menemukan jawaban langkah apa yang harus aku ambil. 23 Agustus batasannya, 27 Agustus aku baru mulai membahasnya. 6 September jika tak tepat waktu, aku batal lulus.

                Praktis sejak kemarin, aku melakukan hal-hal bodoh yang tidak penting. Update tentang Mesir, NKRI, atau apalah yang sama sekali bukan prioritas bagiku kini. Aku harusnya berpikir bagaimana aku bisa lulus. Ketika aku bertanya pada pihak yang berwenang, dengan santainya, “itu kerugian bagi kalian. Coba kalian jelaskan ke beliau. Yang pasti, tanggal 6 september batas akhir. Jika tidak, ada kemungkinan tidak lulus”. Dipihak lain, “Ah, itu Cuma akal-akalan mereka. Kita tetap mulai tanggal 27. Biasanya dari tahun ke tahun seperti itu. Tidak masalah”.

                Berteriak! Aku ingin berteriak! Tapi aku benam. Kepalaku mau pecah. Depresi mungkin, itu aku. Hanya tidur ditempat tidur sambil memenungi apa yang terjadi serta membuka laptop. Shalat Isya pun aku tinggalkan. Sederhana, “Untuk apa Tuhan kalau urusannya tetap tidak ada jalan keluar?”, kata bathin-ku.

                Tidurku bahkan bukan sebuah tidur. Aku hanya mengubur ketidaksanggupanku dalam mata yang tertutup itu. Ketidaksanggupan memikirkan jalan keluar buatku. Jam 3.30 subuh hari, aku terbiasa bangun. Hari biasa, aku bangkit dan menunaikan shalat malam ku. Tapi pagi ini, “Shalat malam? Untuk apa shalat malam jika doa ku tidak sampai dan keadaan makin menyulitkanku?”, pungkas logikaku.

                Mungkin tersisa sedikit dari kesadaran diri ini, hingga aku pun mampu menunaikan shalat wajib pada subuh itu. Tidak lucu saja, sudah kacau begini, tapi berujung ke neraka. Apalagi Isya sudah ditinggalkan. Lantas setelah shalat semua berubah? Tidak! Aku tetap bingung. Aku tetap tidak dapat berpikir.

                Waktu pun sudah memasuki syuruq. “Shalat Dhuha masuk”, pikirku. “Ah, Dhuha? Untuk apa? Itu sama sekali tidak akan memberiku apa-apa. Kalau ada manfaatnya, tentulah dhuha ku selama ini telah menyelamatkan aku dari kondisi kebingunan ini bukan?”.

                Sekilas aku tertidur, ku kira tidak lebih dari 5 menit, kakiku menggerakkan tubuh ini menuju wudhu nya. Akal ku tidak menyadari, sekelebat sajadah telah terbentang oleh kedua tanganku. Aku berdiri, masih tanpa kesadaran. Lama aku berdiri, lama aku melihat ke sajadah yang aku injak itu. Cermin di depan mukaku memperlihatkan seluruh tubuhku. “Itu aku”, kata hatiku.

                Dalam kebisuan itu, sajadah itu seperti memanggilku untuk sujud diatasnya. Ku coba lirik lagi wajahku yang terpampang pada cermin itu. Aku tertawa. Aku tertawa. Aku tertawa. Air mataku membanjiri sajadah yang masih ku injak ini dengan ketawa ku. “Ya Allah”, ujarku. “Ya, Allah”, dalam hatiku menyebut namanya. Aku mulai Dhuha ku dengan air mata. Air mata. Jiwaku seperti bergetar ketika aku sampai pada “Ihdinassiratul mustaqim”. “Jalan yang lurus, Ya Allah. Yang Lurus, Ya Allah”, hatiku meronta. Shalatku tidak sempurna karenanya. Betapa tidak, air mata mengairi liku-liku wajahku. Bayang-bayang keluh kesahku tertumpah didalamnya.

                Kali ini, betapa aku merasa aku begitu jauh dariNya. Salahku menggambar dalam lintasan kilat otakku. Shalat Isya ku, rasa syukurku, dosaku. Lantas sujud pertamaku, sujud pertamaku, “Allah, aku menyesal”, tangis itu menyeruak dalam teriakan hati ini. Aku menangis. Aku menangis. Tangis bukan karena aku tidak mampu menemukan langkah. Tangis karena aku meninggalkan Allah. Dadaku berdegup mengalahkan dentuman senapan dipeperangan. Nafasku seperti tak malu terengah-engah. “Aku salah, ya Allah”, “Aku salah, Ya Allah”, teriakku dalam hati ini.

                “Shalatmu aku tinggalkan. Syukurku ku hilangkan. Allah. Hina. Hina, hambamu ini dalam dekatan cintamu. Hina hamba ini.”, sambung hatiku dalam sujud itu.

                Dhuha ku pun berakhir dengan air mata. Nafasku belum kembali normal. Aku sadar, tidak ada kesempurnaan dalam shalat ini. Betapa tidak, jutaan bayangan kesalahan menyeruak dalam rontaan hati ini. Aku meninggalkan Allah. Aku pergi. Shalat apa ini. “Aku bertaubat, ya Allah”, ucapku memulai doa-doa pengharapan setelah itu.

                Cermin kembali menampilkan diriku. Gulungan sajadah ditanganku, semua badanku terlihat dengan penuh. Betapa aku bahagia menyaksikan senyumannya. Aku pun berpikir, “Ah, ini masalah gampang, apa yang ku beratkan? Lucu ya, Allah memanggilku melakukan shalat disaat aku tidak mau melakukannya”.

                Aku tatap diriku, aku tertawa. Aku yakin sekarang Allah sedang berkata kepadaku, “Ah, hanya sebuah laporan. Itu tidak akan memasukkanmu ke Surga. Apa yang engkau khawatirkan? Aku memberimu makan, kau tinggalkan rasa syukurmu. Nah, Laporan? Kau percaya padaKu, Aku pasti membantumu!”

                Aku seperti merasakan bahwa Allah sedang mengelus kepalaku dan berkata, “Apa yang mustahil bagiKu? Percayakan kepadaKu. Kau tetap pada usahamu. Aku pasti membantumu! Bahagialah!”

                “Ujian yang kecil saja tidak bisa dilalui hambaKu, bagaimana yang besar? Riyan, mau naik level? Tingkatkan rasa syukurmu!”

                Lantas setelah banyaknya pikirku, setelah banyaknya konflik dalam kepalaku, setelah air mata membanjiri sajadahku, aku merasa, aku lapar...


“Kita sering kali meninggalkan Allah, padahal semua permasalahan Allah-lah yang merancangnya agar kita menjadi hambanya yang lebih baik. Bagaimana mungkin kita meninggalkan Allah sedangkan ia adalah perancang segalanya? Kembali lah, maka Allah akan bersama kita. Kembali lah, Maka tak ada masalah yang tidak ada jalan keluarnya”

-Riyan Al Fajri, 17 Agustus 2013, 09.30 WIB”

NB:
  1. Alhamdulillah Allah mengingatkan dikala sempit. Bahkan hamba yang hina seperti saya saja tetap diingatkan untuk mendirikan shalat. Padahal hanya sebatas Shalat Dhuha. Maka Nikmat yang mana yang kita dustakan?
  2. Alhamdulillah, saya tidak jadi depresi. Bodohnya saya dari kemarin memikirkan hal yang begitu kecil di mata Allah. Semangat! Yoss! Aku selesai!
  3. Intinya, Apapun masalahmu, kembalikanlah semuanya pada Allah.
  4. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Foto diambil di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Sering kali, setiap penulis tidak mampu mengendalikan diri, penulis mengingat ulang keindahan Alam yang pernah penulis singgahi. Lantas penulis bisa mensyukuri, bahwa nikmat Allah itu besar. dan masalah kita itu kecil. Maka nikmat yang manakah yang kita dustakan?
Foto diambil di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Sering kali, setiap penulis tidak mampu mengendalikan diri, penulis mengingat ulang keindahan Alam yang pernah penulis singgahi. Lantas penulis bisa mensyukuri, bahwa nikmat Allah itu besar. dan masalah kita itu kecil. Maka nikmat yang manakah yang kita dustakan?

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer