Instagraming

Tentang Ani, Sebuah Perbaikan Perspektif

Taubat, pikirku. Sebelum semua kisah ini berbalik 180 derajat, aku punya masa lalu. 2005 tepatnya, aku berpacaran untuk pertama kali. Ingatku 30 Januari atau bertepatan pada 2 Muharram pada kalender hijriyah. Ani adalah kekasih pertamaku. Sebenarnya itu bukan namanya, itu hanya panggilan sayangku kepadanya. Engkau pahamlah anak sekolah menengah ketika itu, dari pada kami menggunakan papa-mama yang lagi tren, nama sayang sepertinya lebih logis.

Kalau bicara tentang pacaran ketika itu, aku lebih berkata itu ajang untuk punya teman belajar. Tidak lebih daripada itu. Kita tidak malam mingguan karena itu dosa, kita tidak sms-an karena itu menghabiskan pulsa, bahkan kita tidak bermesraan karena kita masih anak-anak sekolah menengah. Yang jelas adalah Hampir 75% catatan sekolahku itu dicover oleh Ani.

10 bulan kemudian kita berpisah. Bukan perpisahan yang baik-baik menurutku. Aku marah namun tak murka. Aku hanya diam dan membiarkan berlalu karena aku tahu aku akan dapatkan kebaikan-kebaikan lain.

Waktu berlalu begitu saja, aku pun menemukan Islam dalam perjalanan hidupku. Seingatku Agustus 2008, aku memulai pertualanganku. “Aku berhenti pacaran!”, putusku dengan yakin atas Manhaj Salaf yang kupilih sebagai jalan santriku ini. Kamu tahu siapa orang pertama yang aku ingat ketika aku berazzam itu? Ani!

Aku berpikir dengan dalam andai Ani ada di dekatku kini. Aku mungkin bisa mengajaknya pada jalan yang sama. Aku berkeyakinan ia masih seperti dulu. Berpacaran maksudku. Ah sudah lah, aku kubur dalam-dalam pikiran itu karena sudah lama sekali rasanya aku tak menghubunginya. 8 bulan pikirku sejak malam tahun baru yang lalu. Mungkin sajakan ia sudah merubah nomor telpon genggamnya?

Perjalananku dalam Islam membawaku menjadi seorang Ekstrimis. Seorang pemuda, masih bersemangat, pemahaman yang dangkal serta fanatis. Apalagi jika bukan ekstrimis? Bahkan aku sempat menggegerkan sekolahku dengan usulan penghentian seluruh acara musik. Karena bagiku saat itu dengan dangkalnya ilmuku, musik adalah haram.

Suatu ketika aku mengenal seorang wanita. Ia mengcounter pemikiran ekstrimku. Wanita ini akhirnya akan menjadi salah satu teman terbaikku. Alhasil aku berkenalan dengan tarbiyah. Aku tidak puas. Aku mulai dekat dengan teman-teman dari organisasi Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Inilah fase berikutnya, aku berada pada taubat besar jilid dua ku.

Tak lama sejak pertikaian Iman itu, Ani menghubungiku. Aku mengingatnya pada 9 Juli 2010. Kita bicara banyak, bahkan seperti tidak pernah ada masalah diantara kita. Aku kira memang tidak ada masalah. Toh aku sudah berhenti dari dosa-dosa masa laluku.

Rasa ingin tahuku muncul perubahan apa yang terjadi pada Ani selama kita berpisah. Aku termenganga. Aku pernah berharap ia berada disampingku untuk merasakan pertaubatan indahku. Setelah ceritanya hampir berakhir, aku malah berandai-andai, seandainya aku berada disisi pertaubatannya yang indah itu. Ia berucap kepadaku, “Aku berbohong saat memutuskanmu. Aku ingin fokus pada Ujian Nasional. Aku tidak sepintar kamu. Aku tahu aku salah. Selama tiga tahun ini, bayangan kesalahan itu membayangiku, Riyan. Jika engkau sekedar mengetahui, engkau kekasih terakhirku. Setelah itu, aku mengembalikan diriku pada Islam dan Jalan Cahaya Nya”.

Kau tahu bagaimana dahsyatnya letusan gunung merapi? Saat itu juga, aku menyesali bahwa pernah ada gunung merapi yang pernah ku ledakkan kepada dirinya. Andai aku memiliki waktu, jika aku mampu, aku akan kumpulkan pelangi-pelangi, lantas ku lukis dalam kanvas alam dan kuhadiahkan kepadanya untuk permintaan maafku. Aku tak akan peduli bagaimana hujan akan cemburu karena ku curi pelanginya atau cahaya yang akan enggan mengikuti mauku. Akan ku paksa hingga kesempurnaan keindahan ku lukis untuknya.

Bagaikan sebongkah kecil berlian, engkau buang pertama kali dibutiran pecahan kaca, lantas engkau mencarinya dengan sesal sedari menyadari itu adalah berlian. Engkau tentu akan rela darahmu bercucuran karena kaca itu, engkau tentu akan rela air matamu berlomba menutupi pedihnya luka, engkau tentu akan rela menghabiskan semua waktumu untuk menemukannya. Aku pun begitu.

Jika engkau bertanya kepadaku, setelah semua kejadian ini, apakah aku akan menikahi Ani? Aku bertemu Ani terakhir kalinya September tahun ini. Aku bercerita banyak dengannya. Atas pertanyaanmu, aku hanya akan menjawab. Jika Aku harus memilih antara Ani atau 1000 bidadari, aku rasa Ani lebih pantas untuk dipilih melebih bidadari-bidadari itu.

Tapi pernikahan bukan tentang aku, bukan tentang Ani. Aku bahkan tidak tahu akan dengan siapa aku akan bertemu selanjutnya, dengan siapa aku menikah nanti. Bisa saja Ani, bisa saja teman sekampusku yang paling mengenalku (sebut saja x), bisa saja teman yang mencounterku tadi (sebut saja y), atau bisa saja yang lainnya. Jika aku harus menikah sekarang, aku tidak mau. Aku tidak akan mau! Aku masih muda! Bodoh menikah muda itu! Masa muda diikat-ikat, mana puas? 2017 masih lama! Jadi jangan paksa saya menikah sekarang!

Jika saya tidak mau menikah, lantas kenapa membuat tulisan seperti ini? Oh itu ada tujuannya. Tujuannya adalah:

  1. Jangan merasa lebih baik daripada orang lain, orang lain punya dinamika kehidupan yang berbeda dengan kita. Siapa tahu dia lebih baik daripada kita, untuk itu tetap jaga silaturrahim
  2. Dibalik kesusahan ada kebaikan. Lihat perjalananku, dinamikanya, ujungnya aku tak putus-putus menyesali kesalahan perspektifku.
  3. Pernikahan itu bukan masalah enteng, seks, atau sekedar bikin anak. Karena jika sekedar untuk melakukan seks, hewan juga berhubungan seks. Karena jika sekedar untuk masalah enteng, hewan juga mencari jalan yang paling enteng dengan instingnya. Karena jika sekedar bikin anak, hewan pun bisa membikin anak. Untuk itu, Jangan menikah muda! Tapi menikahlah diusia puncak. Puncak hormonal pria, dan puncak kesehatan rahim wanita. Karena membuat anak juga harus pakai otak.
  4. Don’t judge book by it looks, but Judge by clarify on reading it. Jadi, jangan menilai orang dari apa yang ditampakkannya, bertabayyun, minta penjelasan, klarifikasilah dulu, baru menyimpulkan. Dan kamu tidak akan menyesali apapun setelah itu.

“Menjadi Hebat Tidak Dibutuhkan Kemampuan, tapi Keberanian. Keberanian Untuk tidak Menyerah Mengejar Kebenaran” –Riyan Al Fajri. Saat selesai Workshop Public Speaking di STAN Sept 12th 2013

Komentar

Postingan Populer