Instagraming

Dik, Didik-Mendidik

“Dia kok seperti itu ya. Kok beda dengan kita?”
“Ih, kalau dia mah bebas hidupnya, bisa seperti ini dan seperti itu semaunya”
“Eh, tahu ga kalau si dia itu ga boleh keluar selepas maghrib sama orang tuanya? Serem banget kan?”

Pernah dengar kicauan-kicauan diatas? Saya pikir sering. Terutama ketika kita memasuki usia remaja. Kenapa? Karena ketika masuk masa remaja, kita masuk ke masa-masa menjadi kritis dan pemberontak. Ada yang bisa mengendalikan dengan baik masa-masa itu, ada pula yang menjadi liar. Ya semua tergantung gaya didikan orang tua masing-masing.

Bicara masalah didikan orang tua, saya kira setiap orang tua memiliki gaya sendiri dalam mendidik anaknya ya. Bahkan cara mendidik anak sendiri pun berbeda-beda. Saya ingat sekali ketika saya kecil, saya “dipaksa” belajar Al Quran sampai menangis. Belakangan saya mulai mempertanyakan “alasan” saya menangis. Kenapa bisa menangis? Apa yang saya tangisi?

Saya ingat sekali bahwa saya dahulu, sekolah pagi nya SD Muhammadiyah (dengan kewajiban hafalan sekian surat pada tingkatan tertentu) dan siang nya pun masih disekolahkan di sekolah agama, MDA (Madrasah Diniyah Awaliyah) Muhammadiyah. Mungkin, sejak saya pindah ke kota saja saya akhirnya bersekolah di sekolah negeri. Tapi tetap saja, untuk siang hari nya saya diikutkan sekolah MDA. Dan tentu, MDA yang punya afiliasi dengan Muhammadiyah dan Tarbiyah (belakangan saya tahu Kepala sekolah saya seorang militan PKS yang merupakan kader Muhammadiyah, sedangkan cara didikannya ya seperti mentoring, dauroh, dsb. Ciri terbesarnya adalah kitab Hasan Al Bana maupun syeikh Quthb yang sering “diperdengarkan” kepada kami santri nya).

Pada malam hari pun, kedua orang tua saya “memaksa” untuk menghafal seabrek juz 30 yang kadang saya berpikir ketika itu, untuk apa menghafal ini? Bahkan saya sempat bertanya pada orang tua, apakah dengan hafal Quran kita akan masuk surga? Dan mereka menjawab tidak. kita tidak bisa masuk surga dengan hanya sekedar menghafal quran saja. Ya semakin saya berontak. Makanya kadang saya menangis ketika harus menghafal.

Lucunya lagi, pada malam hari pun, saya “didorong” untuk belajar ilmu sekolahan. Saya menangis lagi karena disuruh membaca sebuah cerita. Ya kata nya untuk belajar membaca, tapi karena malasnya saya akut banget karena ada film Jin dan Jun di televisi, ya saya menangis lagi. Terkadang saya menangis sambil membaca. Dan mereka malah tertawa. Saya pasti tidak terima lah, masa saya harus ketinggalan  film itu hanya untuk belajar membaca?

Kadang lucu, alasan-alasan saya menangis itu tidak logis jika dipikir sekarang. Saya pula masih ingat, orang tua saya membebaskan saya bermain kemana pun yang saya suka. Mungkin karena desa saya luasnya ya segitu saja. Saya masih ingat karena kebebasan itu, saya pernah tracking di hutan loh dengan petani untuk membuka lahan di desa saya. Kami juga pernah bertemu dengan lumpur yang dalam banget. Kami kira itu lumpur hidup. Ketika teman kami terperosok begitu, kami menangis-nangis lagi. Lucu pokoknya. Selain itu, kami juga sering berenang di sungai penuh minyak yang dalam. Hal ini mengingat desa kami itu berada di hilir sungai siak. Ya seru untuk main lompat-lompatan di pelabuhan.

Ujung-ujung nya, saya pulang dalam keadaan baju kotor. Dan itu setiap hari. Setelah pulang, saya kembali menangis karena harus belajar Al Quran dan membaca tulisan. Aneh.

Cara ini berbeda sekali dengan cara mereka mendidik adik-adik saya. Adik kedua saya contohnya, seumur hidupnya, ia hanya mendapat pendidikan agama di MDA dan di rumah. Itupun tidak pernah disuruh membaca Quran. Paling secara berkala kedua orang tua saya memeriksa cara membaca Quran nya. Selain itu, dia juga jarang belajar malam hari. Ya walaupun sekali nya belajar langsung ditungguin sampai menangis juga. Hal yang paling beda adalah jika saya dulu permainan yang disiapkan adalah gasing, tongkat patok lele, dan cara membuat mobilan dari pohon pisang, adik kedua saya ini dibelikan mobil remote kontrol, robot, dsb.

Walaupun mobil remote kontrol atau robotnya selalu dibelikan dua (satu untuk dia, satu untuk saya), tapi tetap saja tidak seperti saya masa kecilnya. Adik kedua saya juga tidak pernah masuk hutan-keluar hutan. Bahkan pergaulan nya juga dibatasi. Mungkin karena pengaruh pindah ke kota kali ya? Cuma yang saya ingat, adik saya ini mainnya disekitar rumah saja dengan sepedanya. Ujung-ujungnya, ia jadi anak rumahan. Sekarang? Dia kuliah di kedokteran plus dia adalah orang yang suka bereksperimen dengan masakan. Kalau soal memasak, saya kalah jauh dibelakangnnya. Mungkin bakat memasak ayah saya turun kepada dia.

Adik ketiga saya lebih ekstrim lagi bedanya. Semua yang dia minta, diberi. Baru kalau saya pulang ke rumah, adik ketiga saya ini “tidak minta” macam-macam. Bayangkan usia nya baru 8 tahun, tapi sudah punya HP Android seharga 2 jutaan. Sedangkan saya sudah kepala dua begini, masih saja memegang HP Nokia 600 ribuan. Mana dia ini kuat sekali game PS dan komputernya. Saya kadang tercengang-cengan kemampuan nge-game nya jauh lebih hebat daripada saya.

Tapi dibanding saya dan adik kedua saya, adik ketiga ini orang nya lebih penurut. Memang, dia penakut dan pemalu. Mungkin karena paling dimanja. Tapi sekalinya saya “memaksa” belajar, menghafal quran, dsb. Ia pasti selesaikan dengan sempurna. Saya mulai berpikir, “oh mungkin, khusus untuk adik ketiga ini giliran saya yang mendidiknya. Bukan orang tua lagi. Saya dididik begini, adik kedua begini. Ya gabungan dari kita berdua ya mesti bisa mendidik adik ketiga kali ya?”

Untuk sekolahnya, adik ketiga saya ini “dicanangkan” untuk “mendekam” di pondok pesantren pada masa SMA nanti. Jadi sekarang, dia dibebaskan untuk begini dan begitu tapi dengan target-target tertentu untuk hafalan Qurannya.

Saya pikir-pikir, saya bisa ambil sebuah benang merahnya. Saya masa kecilnya diatur sedemikian rupa, masa SMA hingga kuliah, saya benar-benar dibebaskan secara sempurna. Betapa tidak? Saya mau beli Gadget apapun selagi ada uang nya, silahkan. Meski saya yang tidak mau beli. Saya mau keliling pulau jawa, kalimantan, dsb. Silahkan. Asal ada duit nya. Dan itu duit sendiri. Sedangkan adik kedua saya, masa kecilnya dirumah dan dimanja, masa besar nya diatur (wajarlah anak kedokteran. Kalau tak diatur ya bisa gimana gitu). Bahkan untuk sekedar kosannya, itu orang tua saya yang menentukannya. Sedangkan adik ketiga saya, campuran keduanya.

Itu baru satu keluarga. Saya juga masih ingat bagaimana teman saya dididik oleh orang tuanya. Dia dilarang ke hutan lah, dilarang mandi disungai berminyak lah, dilarang main layang-layanglah tapi hafalan Qurannya mentereng. Kalau saya hafal 10 surat, dia sudah hafal 12 surat. Ya begitu lah perbandingannya. Tapi ya itu, orang rumahan, ga asik. Banyak yang tidak mau berteman dengannya.

Ada pula lagi teman saya yang dibebaskan oleh orang tuanya. Jangankan hafalan quran, mengaji saja terbata-bata dulunya. Tapi sekarang, malah jadi Ustadz kampung. Ada pula yang dulunya pintar mengaji sekarang malah menjadi penengguk miras dan pedagang kecil-kecilan dipasar. Lalu bagaimana yang jadi dokter, insinyur, dsb? Itu juga ada. Agamanya bagaimana? Seingat saya, semua yang seangkatan dengan saya, itu pada bagus agama nya. Ada yang bagus pahala nya, ada yang bagus dosanya. Ya tergantung amal perbuatan. Haha.

Tapi terlepas dari itu semua, satu hal yang tidak pernah berubah dari cara orang tua saya mendidik saya bahkan sampai sekarang. Ketika saya pulang ke rumah dan saya membaca Quran, mereka selalu bilang, “Baca Quran jangan kayak Muallaf. Udah tua begitu, baca quran ga bagus-bagus juga”. Saya dibilang begitu santai mah. Tak mungkin juga melawan toh yang bilangin saya seperti itu Juara MTQ di kecamatannya (ayah saya). Sedangkan adik ketiga yang baru pandai baca Quran kemarin sore selalu dibilang, “Wah udah pintar baca Qurannya. Bagus. Baca lagi!”. Iri? Tidak iri. Itu pendidikan. Siapa yang tua, siapa yang mudah. Itu hanya cara.

Kesimpulannya, orang tua kita punya cara sendiri mendidik kita. Orang tua yang lain punya cara sendiri mendidik teman-teman kita. Itu tidak masalah. Yang masalah adalah bagaimana kita mendidik anak-anak kita nantinya? Well, jangan terlalu jauh. Bagaimana cara kita mendidik adik-adik kita? Bukan sekedar adik kandung, adik mentee, adik junior, adik angkat, bahkan “adik ketemu besar”. Sudahkah dipikirkan caranya? Ingat, tidak ada pendidikan yang sukses tanpa dirancang. Maka rancanglah! Maka rancanglah! Contoh sudah ada. Tinggal dirancang dan direalisasikan. Untuk generasi berikutnya yang lebih baik. Siap?

Sebuah catatan refleksi untuk Tahun baru Masehi 1 Januari 2014

Tujuannya hanya 1 yaitu Allah, tapi cara nya bisa berbeda-beda. ^_^"
Tujuannya hanya 1 yaitu Allah, tapi cara nya bisa berbeda-beda. ^_^"

Komentar

Postingan Populer