Instagraming

Tenggelam nya Kapal Van Der Wijck

Hari ini saya menonton film ini. Film nya tidak bagus, tidak ada yang spesial. Tapi alur kisahnya, bak karakter Hamka, penulisnya, ini tetap salah satu karya terbaik yang pernah ada dalam sastra melayu negeri ini.

Sebuah memoar melintas dibenak saya setelah saya menonton film ini. Ya sebuah memoar. Saya ingat kira-kira 3 tahun yang lalu, ketika ibu saya melakukan tugasnya untuk menasehati diri ini. Pada saat itu, tema nasehat ibu adalah “menjaga diri” selama kuliah. Ibu menyarankan agar saya menunda berkasih-kasih terlebih dahulu hingga menyelesaikan kuliah dengan baik.

“Kau tak perlu lah bercewek cewek diluar sana. Belajar yang baik saja dulu. Berkawan banyak-banyak. Bila nak tiba waktu, kan bertemu lah engkau dengan gadis pilihan hatimu.”

“Apa? tak lah. Tak guna mikir cinta, Ama. Tak bebas”

“Kalau pun kau dah siap nantinya, tak usah khawatirkan wanita. Kalau pun engkau nak mencari, lihat lah pula suku nya. Lihat lah pula asal keturunan nya. Agar ada tempat anak mu kan bersandar. Agar anak-anak mu punya mamak. Engkau carilah perempuan bersuku.”

“Apa itu suatu kewajiban, Ama?”

“Bukan suatu kewajiban. Tapi seeloknya begitu”.

Ayah yang ketika itu mendengar Ibu sedang menasehati saya, langsung mendekat dan meminta Ibu membuatkan teh manis hangat kesukaannya.

“Bukan suatu kewajiban. Bukan pula suatu dorongan, nak.”, kata ayah sambil menengguk teh cap daun kegemarannya ditemani ibu yang duduk disebelahnya.

“Apa ado lupo, ado sebuah buku dari Hamka yang bekisah tentang itu. Buku cerito, bukan buku tafsir atau buku agama. Seelok memang, ang mancari perempuan yang bersuku, tapi lebih elok pula, bila ang pilih wanita karena agama nya bukan suku nya”.

“Kenapa begitu, apa? Kenapa tak sama seperti kata Ama”, kata saya ingin tahu.

“Kata Ama waang tuh betul. Tak ada salah. Makosuik Ama, Ia ingin jelaskan pentingnya suku yang kan menjadi pariban waang. Waang anak tertua, adat istiadat, waang harus paham. Perlu ang ketahui, suku tempat awak berlindung, tempat awak bersandar. Susah sukar, suku menanggung. Bathin dan Hayat suku melekat. Baik suku terangkat, Buruk arang memekat”, jelasnya dengan sabar.

“Bila lah anak engkau nanti tak bersuku, siapo yang kan menjaganyo? siapo yang kan bersaudara dengannyo? Siapo yang kan mengurus pamakamannyo? Siapo yang kan memberi namanyo? Mengangkat golau (gelar,red) atas kemuliaan jiwanyo?”, pertanyaan bertubi-tubi memenuhi sunyinya malam itu.

“Apa, iyan tahu hal itu. Tapi kan awak di perantauan. Suku indak berpegang, Adat pun masih tersandar. Tak lah kita bisa berinteraksi dengan yang lain jika hanya seperti itu?”, kataku.

“Betul, buyung. Semua pertanyaan tadi. Semua masalah suku tadi. Semua itu hanya satu jawabnya. Islam. Adat bersendikan sarak, sarak bersendikan kitabullah. Sesiapa muslim, itu kan menjadi saudara. sesiapa penjunjung nabi, itu lah sahabatmu. tempat kita bersandar. tempat kita kembali. Kita Cuma punya satu kelompok, suku,Islam”, jawabnya.

“Bagi Islam, Tak butuh gelar untuk menjadi mulia, tapi jiwa harus tetap berisi taqwa. Bukan banyak surat yang kau telah hafal dari Kitab mulia itu, tapi seberapa banyak ayat yang telah kau amali dalam hidupmu. Seberapa banyak tuntunan yang telah menggambarkan dirimu”, lanjutnya.

“Anakku, kami takkan kecewa bila nanti nya engkau pilihkan anak gadis untuk menjadi anak kami seorang yang tak bersuku, tak berparas bagaikan bidadari. Tidak. Tapi akan marah, jika engkau pilih seorang perempuan yang tak beragama meski elok parasnya dan jelas asal keturunannya. Wajah kan keriput dimakan masa, harta tak kan dibawa selamanya, keturunan tak kan membawa kehormatan di akhirat sana. Agama, anakku. Yang gelap, teduh olehnya. Yang mendung, cerah karenanya. Yang samar, jelas pula karenanya”, lanjutnya.

“Bagaikan Apa memilih Ama-mu ini ketika itu Apa tanya kepadanya, “Nimar, abang bukan orang kaya. Ayah abang keluarga nimar sudah tahu. Serius kah nimar sebagaimana yang kabar yang datang dari sahabat abang tadi?”. Dan Ama-mu ini menjawab, “Harta tak akan membawa bahagia. Bukan karena harta kita kan mulia. Selama abang bertanggung jawab dan serius, itu bukan suatu masalah”. Itu saja yang Apa pegang, dan Apa lamar ama pada datuk ang. Dan ang tahu? Apa telah memilih pilihan yang paling tepat bagi hidup Apa. Elok agamanya, cantik parasnya, lembut hatinya, patuh orangnya”, kata ayah.

“Engkau anak tertua. agama ini, budaya ini, budi luhur ini, kan kau pikul sebagai ninik mamak bagi anak kemenakan engkau nantinya. Jika engkau memilih perempuan yang tak beragama, kau sama telah hancurkan seluruh keturunan keluarga. Jadi, pilihlah. Perbanyak kawan, pilih yang baik agamanya. Tapi jangan pula sekarang, tamatkan dulu sekolahmu. Punya penghidupan dulu lah engkau. Biar tak melarat engkau buat anak gadis yang kan menjadi anak baru kami”, tutup nasehat ayah pada hari itu.

Dan pada akhirnya, tenggelamnya kapal Van Der Wijck menjadi satu memoar yang indah pula dihati saya. Betapa tidak? Dibalik alur kisah yang menegangkan itu, dua tetangga saya dibioskop kiri-kanan berulah. Yang kiri maka ayam dan bersuara, yang kanan pacaran dan sayang-sayang dengan kekasihnya. Entah mengapa pula tadi saya berkata, “Tak malukah kalian masih berkasih-kasih setelah menonton film ini? hubungan suci seperti apa yang kalian harapkan?”.

Dan saya tutup tontonan hari ini dengan melangkahkan kaki pulang ke kosan. Siapa tahu saya kan bertemu perempuan saya diperjalanan pulang. Secantik Hayati dan beragama seperti seorang Ustadzah aisyah. (Siapa Ustadzah Aisyah? Haha ^_^”)
Life is never flat
Life is never flat

Komentar

Postingan Populer