Instagraming

Ajaran dan Pemikiran Kiai Ahmad Dahlan

Resume Oleh Riyan Al Fajri
MARHAENIS MUHAMMADIYAH : AJARAN DAN PEMIKIRAN KH AHMAD DAHLAN
Cetakan I 2013, 323 halaman 
Author : Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan (Ex. WaSek(jen)) PP Muhammadiyah



Sekelebat kita mendengarkan nama Muhammadiyah, kita memikirkan salah satu organisasi massa terbesar di Indonesia. Barangkali, organisasi ini merupakan organisasi massa tertua yang masih hidup dan bertahan dalam gencarnya arus waktu.

Perkembangan Muhammadiyah lebih lanjut dikenal sebagai efek perkotaan. Dimana persebaran Muhammadiyah “lebih” gencar didaerah pusat-pusat kota. Namun, kita perlu mengetahui bahwa muhammadiyah pun telah mampu memasuki wilayah perdesaan.

Ancaman terbesar dakwah muhammadiyah di pedesaan, barangkali, adanya sebuah stigma bahwa menjadi Muhammadiyah berarti anti pada slametan, tahlilan, dsb. Hal yang masih sangat kental dalam masyarakat desa. Bahkan tidak sedikit, orang Muhammadiyah di pedesaan menjadi bias melaksanakan ibadah. Beberapa kasus menunjukkan, cara aman terkadang berpegang pada “Yang Penting Bukan NU”, dsb. Sebuah kasus yang tentu saja ini jauh dari kata memahami islam dari dalam. Sebuah kasus yang bahkan Hamka sangat erat menyalahkan taklid buta kepada fiqh yang tidak dipahami sepenuhnya.

Meskipun beberapa kasus memperlihatkan bahwa persebaran Muhammadiyah di pedesaan lebih karena dilarangnya PKI berkembang. Petani-petani PKI yang kiranya waktu itu kehilangan tempat menggabungkan diri kepada Muhammadiyah agar tetap bisa mendapatkan fasilitas pendidikan dan keamanan secara sosial.

Muhammadiyah, dalam dinamikanya, mengalami perkembangan yang unik. Pergeseran nilai-nilai yang ditanamkan oleh pendiri organisasi mulai tampak sejak pergantian Kiai Dahlan sebagai ketua Muhammadiyah.

Pergeseran nilai-nilai ini menampilkan beberapa varian dari anggota muhammadiyah. Diantaranya menurut Prof. Kuntowijoyo adalah:
  1. Islam murni (kelompok Al Ikhlas)
  2. Islam murni yang tidak mengerjakan sendiri tapi toleran terhadap praktik TBC (kelompok kiai Dahlan)
  3. Neo-Tradisionalis (Kelompok MUNU, Muhammadiyah-NU)
  4. Neo-Sinkretis (Kelompok Munas, Muhammadiyah-Nasionalis disebut juga Marmud, Marhaenis-Muhammadiyah)

Garis besar ajaran Islam Murni sesudah formalisasi syariah bisa dikaji dari dokumen resmi, buku tarjih dan pemikiran elite gerakan ini (Muhammadiyah). Salah satu diantaranya adalah AR Fachruddin (Ketua Terlama 1978-1985) yang dinyatakan sebagai perintis gerakan ini. beberapa pandangan tampak berbeda, terutama dengan pemikiran Kiai Ahmad Dahlan khususnya dlm kaitannya fungsi syariah.

Ajaran Islam murni meliputi bidang: Kepercayaan, Ibadah dan Sosial politik.
  1. Kepercayaan:
berkeyakinan (a) hanya tuhan yang kuasa menentukan nasib manusia, (b)meminta pertolongan, (c) manusia harus bekerja keras untuk mencari rezeki dan (d) bertawakal pada kehendak Allah yang mutlak, (e) tidak percaya kekuatan n keramat nya kuburan siapa atau apapun, (f) tidak ada hari keramat, baik atau buruk (g) memahami ajaran islam langsung dari Al quran n hadits dg Akal, (h) tidak menganggap "kitab" Al Quran sbg benda keramat


2. Bidang Ibadah:
beberapa ajarannya (a) tidak slametan dan tahlilan, (b) ziarah kubur untuk mengingat akhirat bukan minta berkah, (c) tidak memakai sorban/peci haji, (d)kedekatan pada tuhan adlaah kunci nasib dan segala persoalan hidup, (e) menyembelih aqiqah sesudah anak lahir, (f) membaca dzikir sesudah shalat wajib sendiri-sendiri tanpa suara keras, (g) segera shalat jamaah di rumah, musollah atau mesjid, (h) tidak menyelenggarakan upacara pertunangan, (i) memisahkan tempat duduk pria dan wanita dlm rapat, pengajian, dll, (k) tidak makan-minum dlm pesta berdiri

3. Bidang sosial politik:
ajaran yang disebut muamalat ini beberapa meliputi (a)tidak mematuhi ulama atau kiai dg mencium tangan, tidak mematuhi kecuali ajaran Islam, (b) tidak membawa sajadah bergambar dan tasbih atau mengharuskan memakai peci dalam sholat, (c) memilihar kebersihan pekerjaan secara halal, (d) rumahnya bersih dari hiasan yang melanggar islam spt foto bintang film, (e)mengucap salam ketika bertemu sesama muslim, (f) hidup dan berpakaian sederhana tanpa kesenian apapun, (h) menyekolahkan anak ke sekolah muhammadiyah atau negeri, (i) tidak memakai cincin (bagi pria) apalagi emas, (j) hanya mendukung partai islam atau organisasi politik sesuai jiwa ajaran islam (k)aktif dalam politik untuk dakwah mengajak masuk islam bagi yang belum islam dan memurnikan bagi yang sudah memeluk islam

Sedangkan golongan Kiai Dahlan sendiri merupakan salah satu gerakan purifikasi Islam namun tetap menjaga toleransi pada lingkungan sekitar. Jika Islam Murni benar-benar konsisten atas apa yang ditetapkan oleh syariah, maka kelompok kiai dahlan secara aklamatif mengusung ketinggian toleransi atas seksama.

Rumusan Islam masa Kiai dahlan lebih bersifat kultural yang mengedepankan akhlak daripada formula syariah. Karena itu pada masa kepemimpinan Kiai Dahlan kegiatan ini lebih terlibat pada kasi pemberdayaan dan pembelaan kaum dhuafa, fakir miskin dan kelas lapis bawah yang populer dengan kaum proletar kaum pinggiran dan wong cilik (Prasaran Muhammadiyah dalam Kongres Islam 1921 di Cirebon)

Muhammadiyah, secara gerakan, terlibat dalam politik praktis sejak awal persiapan kemerdekaan Indonesia. Pada awalnya, Muhammadiyah mendukung islam sebagai dasar negara dan berlakunya syariah. Keterlibatan muhammadiyah dalam politik praktis dipandang sebagai keterpanggilan moral memenuhi syariah. Khittah Ponorogo 1969 berjudul “Matan keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah” menyatakan:

“Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan negara republik Indonesia yang berfilsafat pancasila, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil makmur dan diridhoi Allah “Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur”

Dalam sejarah nasional, Muhammadiyah sering kali menjadi penengah. Meskipun, pada awalnya, Muhammadiyah menjadi pendukung Islam sebagai dasar negara, posisi Muhammadiyah tidaklah termasuk dalam pemeran pertentangan antara kaum universalis (islami) dan modernis (nasionalis sekuler).

Bagi kaum universalis (Islami), islam sebagai dasar negara adalah keharusan normatif yang bagi nasionalis (sekuler) tidak ada bukti islam sebagai dasar negara. Sementara Reformis, tidak ada pertentangan Islam, nasionalisme dan demokrasi (Setneg 1992; Noer 1982), Sehingga reformis bisa bersepakat dengan nasionalis dan tradisionalis.

Universalis dan modernis pada akhirnya menerima Negara Nasional sesudah BPUPKI yang anggotanya mayoritas muslim tidak mendukung Islam sebagai dasar negara. Dari universalis, muncul fundamentalisme yang menolak negara nasional, Sedangkan Moh.Hatta (Santri modernis) menganggap tidak perlu. Reformis mengubahnya melalui Musyawarah (demokrasi) atau prinsip syura.

Prinsip syura, dasar pengembangan demokrasi, diterima semua pihak sebagai sumbangan penting universalisme. Akhirnya, keduanya sepakat, negara tanpa dasar islam dapat diterima selama pemimpinnya muslim. Perubahan dilakukan melalui musyawarah dan menempatkan sebanyaknya wakil islam dalam lembaga perwakilan, seperti gagasan Soekarno, salah satu aktifis Muhammadiyah yang juga merupakan perwakilan kaum nasionalis sekuler.

Muhammadiyah sebagai representasi kaum reformis bekerja sama dengan pemerintah selama ada peluang dakwah. Dalam dinamika nya, Reformis pun tidak kalah tajam dari nasionalis dalam berargumen. Akhirnya, Muhammadiyah lebih formalistik memandang hubungan islam dan negara daripada tradisionalis NU yang lebih lentur.

Kelompok reformis menjaga jarak dengan pemerintah sepanjang simbol islam tidak tercermin secara representatif dalam kehidupan negara (Ali & Effendi 1990), dimana kaum tradisionalis (NU) menempatkan diri sebagai partner pemerintah. Akhirnya, bersama meluasnya partisipasi pendidikan dan representasi modernis dalam negara, islam tradisionali mulai lebih kritis. Sedangkan kaum universalis tak mampu berkembang lebih baik ketimbang kaum reformis dan nasionalis.

Kekalahan memenangkan suara islam pada sidang BPUPKI serta pengalaman kegagalan partai islam meraih dukungan masyarakat, menjadikan tidak tersedianya mekanisme lahirnya generasi baru ahli syariah. Akhirnya muncullah program spiritualisasi syariah dan posisi ketua majelis tarjih yang tidak lagi dipegang ahli syariah.

Dalam dinamikanya, terjadi pembakuan syariah yang sakral. Ini merupakan sebuah daya dorong yang memunculkan fundamentalisme disepanjang sejarah nasional. Dari syariah yang ekslusif itu, orang menilai baik dan buruk. Terjadi pemberantasan besar-besaran terhadap TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Churafat –Khurafat, ejaan baru-). Meskipun Berapa varian anggota muhammadiyah dipedesaan, tetap masih ada yang menjalankan praktik TBC, bukan sebagai “perlawanan” atas kelompok fundamentalis tersebut, namun lebih kepada menjalankan kebiasaan dan membuktikan cinta pada orang tua. Lantas TBC kemudian dijadikan media harmoni sosial dan menghindari kemarahan tuhan ketika orang tua kecewa jika tidak memenuhi tradisi itu.

Pandangan doktrinal islam murni ini jelas berbeda dari realitas lokal  pengikut gerakan ini di pedesaan. Usaha fundamentalis berkembang dengan membakukan fatwa syariah melalui pembentukan Tarjih yang menjadi penerapan islam murni, meski penerapannya tergantung pada elite di lapangan (cabang dan ranting Muhammadiyah) yang tentunya akan berpengaruh pada strategi dakwah di pedesaan.

Kiai Dahlan sendiri, pernah menyatakan sebelum lahirnya lembaga tarjih:
“Jalan yang betul itu yakni agama islam sejati. Inilah agama Islam sejati yang pendek: agama itu ada dua bagiannya, yakni yang lahir dan bathin. Jadi orang islam yang sudah mulai bangun itu harus dipimpin kepada islam yang sejati yakni lahir dan bathin”

Konsep Kiai Dahlan yang lebih mengutamakan perbaikan kondisi lahir dan bathin ketimbang perdebatan fiqh, selaras dengan program spiritulisasi syariah yang muncul pada 1995 sebagai bentuk reaksi kegagalan politik islam. Setelah lama mempertahankan pemikiran islam murni, akhirnya, jalur Muhammadiyah dikembalikan pada sikap toleran yang menguntungkan posisi dakwah.

Secara umum, Program spiritualisasi syariah ini lebih terbuka terhadap berbagai praktik islam yang selama ini identik kaum tradisionalis, seperti Slametan dan Tahlilan. Hal ini juga muncul bersama kritik keringnya dimensi spiritual praktik islam murni sesuai ketentuan tarjih. Gejala ini semakin mempertegas bahwa pemurnian islam tidak selalu berarti Islamisasi seluruh sendi kehidupan, namun, lebih tepatnya pribumisasi. Dimana islam disusupkan dalam budaya-budaya yang telah lama hidup ditengah masyarakat.

Sebagaimana pandangan Kiai dahlan atas ketaatan syariah yang merupakan hasil ketaatan batiniah. Pemurnian Islam versi kiai Dahlan tampak diletakkan pada penyadaran peran umat dalam kehidupan sosial, daripada memberantas praktik TBC. Sebagaimana Prasaran Muhammadiyah pada kongres Islam ke 1 tahun 1921 di cirebon:

Jalan yang betul itu ialah agama islam sejati. Ada dua bagiannya yakni lahir dan batin. Persatuan islam itulah yang harus kita tuju, supaya orang islam dapat hidup secara islam, menurut rancangan yang hukum-hukumnya sudah sempurna terpaku dalam Al quran yang suci. bahwa hidup seorang islam itu harus berasaskan Al quran.Beribadah kepada Allah, tiada dengan perantaraan antara manusia dengan allah. Mengakui haknya akal dan ilmu. Tiap tiap pengajaran agama itu harus dibuktikan dengan menjalankan akal.

Sedangkan, dalam kongres 1922 Kiai Dahlan berucap:

“Untuk memimpin kehidupan seharusnya mempergunakan satu metode kepemimpinan yaitu Al Quran. Seluruh manusia harus bersatu hati mufakat yang disebabkan karena segala pembicaraan memakai hukum yang sah dan hati yang suci. untuk mencapai maksud dan tujuan harus dengan mempergunakan akal yang sehat. Tidak ada gunanya pangkat yang tinggi kecuali hati yang suci.”

Dalam sidang tahunan 1922, Kiai dahlan juga menyatakan kebahagiaan dunia akhirat harus dicapai dengan pengetahuan yang benar dari hasil penelitian. Kecerdasan ialah kemampuan mengatasi penderitaan disertai selalu ingat pada Allah. Ia pernah mengingatkan bahwa, manusia, karena kesamaan kedudukan, tidak perlu perantara dalam ibadah. Untuk itu, manusia harus bekerja sama dengan semua pihak, walaupun berbeda agama. Perubahan kehidupan manusia dan alam, bersifat kausal seperti temuan penelitian.

Baginya, kesalehan ialah pencarian kebenaran tanpa final dan terbuka berdialog dengan semua pihak yang berbeda. Keputusan adalah benar jika paling kecil pertentangannya, mendenar, membanding dan menimbang segala pendapat, sesuai akal dan hati suci.

Sedangkan keikhlasan adalah dasar hidup sosial dan mencapai tujuan beradasa teori dan keterampilan. Dan kebahagiaan ialah sikap ikhlas tidak lupa kematian dan ilmu sebagai kunci kemajuan dan kebahagian bersama.

Dari uraian diatas, sulit ditemukan pemurnian islam seperti yang dilakukan lembaga tarjih kecuali kritiknya atas taklid dan perantaraan. Perhatian utama Kiai Dahlan jatuh pada hati suci sebagai inti kesalehan syariah. Hati suci bukan hanya pangkal memahami islam, tapi akar ibadah, dasar hidup sosial dan keagamaan sehingga bebas kebodohan dan karena itu bebas dari ikatan tradisi.

Dalam apresiasi spritual, tampak pada diri Kiai dahlan. Termasuk fungsi hati suci dalam memahami dan mempraktikkan islam. Farid Ma’ruf (1964) menyamakan keagamaan Kiai dahlan dengan tasauf Imam Al Ghazali. Menurut beliau, Tasauf adalah aliran akhlak Kiai Dahlan. Dalam Almanak 1929, Raden Hadjid, tahun 1929 menyatakan inti tasauf adalah pokok ajaran islam, caranya saja yang bid’ah. Bagi Amarullah dalam Almanak 1932, tasauf ini digali dari ajaran nabi yang dibidahkan. Namun ia memujinya dengan berkata, “wajiblah kita puji maksudnya tasauf didalam islam yang amat suci”. Kiai Dahlan sendiri menyatakan:

“Agama bukan barang kasar yang harus dimasukkan ke dalam telinga, akan tetap agama islam adalah agama fitrah. Artinya, ajaran yang mencocoki kesucian manusia. Sesungguhnya agama bukanlah amal lahir yang dapat dilihat, amal lahirnya hanyalah bekas dan daya dari ruh agama”

Tampak pulalah, Islam tidak hanya diterjemahkan sebagai akidah dan syariah yang tertutup, tetapi meliputi aspek iptek dan kebudayaan. Rumusan islam menjadi dinamis dan tidak pernah final, selain juga berubah sesuai konteks sosial politik yang dihadapi sebagaimana mana fatwa kontemporer menyesuaikan kondisi lingkungan.

Minggu, 26 Januari 2014, 00:16 WIB
Dibawah terangnya cahaya lampu kamar 23 watt
Melepas penat dengan semua kesibukan tanpa buku selama 3 bulan terakhir dengan menyelesaikan bacaan buku ini yang dimulai dari 24 Januari 2014 lalu. Semoga kita diberi kesempatan menyelesaikan buku-buku yang lain dalam waktu singkat.

Target: 20 Buku dalam 3 bulan (ya 2/3 dari kemampuan membaca buku saat masih kuliah tak masalah lah)

Komentar

Postingan Populer