Instagraming

MUNGKIN AKU YANG SALAH

Oleh Riyan Al Fajri

"Wah, selepas kuliah juga mereka bakal hilang idealisme. Mereka kan kian sibuk dengan urusan pribadi mereka. Idealisme? Ah, tidak akan ada lagi gerakan. Cam kan kata-kataku. Aktifis-aktifis itu palsu. Tidak ada yang abadi perjuangan mereka".

Kata seorang kawanku 2 tahun lalu. Ah, aku tak percaya. Aku tak percaya bahwa para aktifis kan hilang aktif nya. Ah, aku tak bisa terima. Bagaimana mungkin mereka yang sudah terbangun dan tersadarkan menjadi gelap kembali setelah selesai kuliah? Mereka akan lebih bergerak. Mereka akan lebih berjuang. Karena masa itu mereka sudah punya uang!

Dan hari ini, Aku kira kesimpulan teman kawanku itu ada benarnya pula. Aku mungkin terlalu picik tak menyadari bahwa uang, kesenangan dan keselamatan pribadi jauh lebih penting dari pada masyarakat negeri ini.

Aku mungkin terlalu picik tak mengakui bahwa manusia tidak bisa tidak memikirkan kebutuhan dirinya sendiri.

Bergerak katamu? Ah, itu hanya kata-kata klise palsu. Bagaimana mungkin itu suatu yang asli dan sejati jika mereka yang kau kira para pejuang-pejuang muda itu terbenam begitu saja hanya karena  satu dua kerja yang bahkan itu tak beroleh sedikit manfaat untuk masyarakat sekitarnya.

Terlalu kasar kataku jika aku menuduh. Tapi yang kudengar dari mulutnya, katanya waktu yang tak ada, maka gerak pun tak bisa. Waktu katanya? Aku masih bertanya-tanya bagaimana waktu Jenderal Soedirman kala itu. Bagaimana waktu si cerdik Sjahrir ketika itu. Bagaimana waktu si Intelek Hatta masa itu. Bukan tak sempat mereka makan, apalagi untuk sekedar mandi. Bergerak bagaimana? Seluruh alam menaruh hormat pada manusia-manusia kerdil itu.

Ya manusia kerdil, kerdil dirinya dibandingkan kaum penjajah Belanda, tapi besar angannya lebih digdaya ketimbang seluruh isi Eropa. Ku rasa ada masanya mereka tak bisa makan, bukan hanya waktu, bahkan isi perut tak terperhatikan.

Kau lihat Tan Malaka, seludup sana-seludup sini, berlawan dengan komunis rusia di negeri timur jauh antah berantah. Lurus tulang punggung untuk negerinya. Tak sedikit bungkuk badannya sampai ia melihat terbang tinggi dwi warna ke angkasa. Tidur nya tidak menjadi tidur, makan nya tidak menjadi makan. Jalan sana- jalan sini, pimpin gerak rakyat menyosor Belanda-belanda penjajah. Meski hidup tak diakui maknanya.

Ah, aku yang mungkin terlalu picik. Bertanya-tanya aku tentang gerak yang aku cita-cita dengan mereka. Apakah itu benar sejati sebuah gerak atau sekadar kepalsuan memoar yang tak berguna? Entah jika itu hanya kepalsuan memoar, maka Republik ini pula hanya kan menjadi memoar dalam buku-buku cerita berbagai masa.

Karena mereka yang bergerak katanya, telah kehilangan waktunya, uang nya, kesenangannya, dan kehidupan pribadinya. Karena mereka yang bergerak katanya, telah beristri yang cantik parasnya dan beranak yang lucu mungil dirinya.

Aku hanya tak habis pikir bagaimana, pemuda-pemuda masa manusia kerdil itu berkata “Kami sudah tak punya waktu!”. Ah, mungkin kita sudah banyak membaca buku dongeng republik antah berantah yang bernama Indonesia. Ah, mungkin kita sudah tak kuasa untuk tertawa terbahak-bahak mendengar sebuah republik palsu bercita-cita sejahtera yang dianalogikan dengan garuda.

Sekali lagi waktu katanya? Tak bisa ku bayangkan bagaimana manusia-manusia kerdil tadi dibuang ke Boven Digul, Tanah merah, Endeh. Jauh dari hidup dan kehidupan. Bahkan untuk sekedar membagi mimpi. Itu pun tak bisa. Itu pun tak sanggup. Tapi mereka tidak berhenti.

Pena mereka terus tergores, alam pikir mereka terus terpoles. Rakyat memang kehilangan sosok. Tapi mereka menyimpang suatu asa. Pemimpinnya boleh hilang, tapi semangatnya kan terus hidup. Dihatinya. Dijiwanya. Pada anak-anaknya.

Dan manusia-manusia kerdil itu tidak pernah berhenti. Ia tidak berhenti karena tidak punya waktu. Ia tidak berhenti karena tidak punya uang. Ia tidak berhenti karena ia tidak punya. Karena meski nyawa pun yang hilang, Ia masih punya nyali tuk diwariskan. Idenya kan tetap terikatkan. Bukunya, karyanya, geraknya, golongannya.
Dan terlalu sibuk katanya?

Tidak, ia tak sibuk. Ia bukan tak punya waktu. Ya, Aku tahu. Mungkin ia tak salah. Tapi aku yang salah. Bukan para aktifis tua itu yang makin memudar geraknya. Hanya aku yang tak mampu mempertahankannya. Mempertahankan gerak seperti bersama ketika masa muda kita dahulu.

Ya, mungkin aku yang salah.

- Selepas Sholat Maghrib saat menyadari telah Alpa dalam gerakan selama 4 bulan, 2 Februari 2014 ; 18:36 WIB -

Komentar

Postingan Populer