Instagraming

Kisah Pilu Negeri Kabut Putih

Oleh Riyan Al Fajri



Sini marilah kemari hei hei hei, kawan. Aku ingin bercerita padamu. Yang jauh mendekat, yang dekat merapat karena aku hanya bercerita sekali. Ceritaku sangat langka. Maka Dengarkanlah. Sebelum kita masuk ke ceritaku, aku ingin engkau baca dulu paragraf berikut ini.

Tahukah engkau orang yang mendustakan agama? maka itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan orang-orang yang menganjurkan tidak memberikan makan orang miskin. Maka celakalah orang yang melalaikan sholat. Orang-orang yang lalai atas sholatnya. dan orang-orang yang berbuat Riya. Dan orang-orang yang enggan menolong sesama.

Nah, cerita ini kulanjutkan. Ada sebuah negeri ditengah-tengah pulau andalas. Konon kata orang, itu negeri kaya raya. Konon kata bidak kisah, itu negeri surganya harta. Orang miskin, ada, tapi mereka bisa makan. Orang melarat, ada juga, tapi mereka masih bisa sekolah. Negeri yang hebat bukan?

Negeri ini pula kononnya dibanjiri lautan minyak. Dengar-dengar selentingan dari orang barat sana, negeri ini pusat dari segala harta dikumpulan pulau nusantara ini. bawah tanahnya mengandung harta, atas tanahnya begitu pula. Kaya raya.

Suatu hari, negeri yang sungguh kaya itu didatangi kabut tebal. Ia seperti menjadi negeri awan putih. Sesekali penduduk negeri itu mengintip matahari nun jauh diujung sana, tampaklah merah menyala dengan guratan sinar jingga. Lalu ketika hendak mencoba menelusuri hutan-hutannya, penduduk negeri itu mulai merasa hawa panas yang tak hingga bagai neraka diturunkan ke tempatnya.

Lama nian kabut tebal itu tak hilang, sampai penduduk negeri itu mulai resah. Mereka gusar karena matahari tak tampak-tampak bersembunyi dibalik kabut. Yang tampak hanya warna merah menyala matahari dengan sinar jingganya. Suasana negeri kaya yang indah sebetulnya itu mulai dipenuhi abu. Ya abu putih yang datang entah dari mana.

Jalanan mulai licin, rerumputan mulai mengering. Konon pula, kabut tadi membuat air menghilang. Kata ahli nujum negeri itu, masa itu disebut kemarau hebat. Panas yang luar biasa menghasilkan kabut yang tak terhingga. “Mungkin, negeri ini sudah tua”, begitu ujar salah satu penduduk negeri itu.

Beberapa dari penduduk sudah tak tahan atas kondisi itu. Mereka pun kabur dan meninggalkan negeri itu. Angin pun tak segan datang membuat kondisi kabut semakin buruk. Akhirnya, kabut semakin tebal. Penduduk pun tak kuasa melihat negeri itu lagi. Mereka hanya dapat memandang 10 meter kedepan. Menakutkan.

Kabut semakin buruk. Hidung penduduk semakin pedih. Banyak penduduk negeri itu tersendat nafasnya. Negeri itu mulai lumpuh. Segala usaha hilang seperti ditelan kabut. Bagaimana hendak usaha jika melihat saja ke depan saja tak mampu? Ah, penduduk sudah mulai patah arang.

Masa pun berganti, 2 bulan sudah kabut putih menenggelamkan negeri kaya raya itu. Bak negeri awan putih, kabut itu seperti tak kuasa ingin tinggalkan negeri itu. Selesa rasanya kabut itu. Sudah seperti menemukan tempat istirahat yang paling tepat untuknya.

Penguasa negeri itu pun mulai gusar. Grasak-grusuk. Tabib-tabib mulai mengaung. Mereka berfatwa bahwasanya negeri itu sudah tak bisa dihuni. Udaranya sudah bukan untuk manusia. Penduduk kalut. Penguasa negeri itu pun masih gusar. Mereka siapkan burung terbang untuk mencari asal mula kabut putih. Mereka temukan satu per satu tempat kabut asalnya. Sungguh mencengangkan, penguasa-penguasa menemukan bahwa kabut berasal dari tengah hutan rimba yang tak bisa dijangkau oleh kuda-kuda perang. Lantas penguasa pun mengutus puluhan burung terbang untuk mengusir kabut.

Berkali-kali burung terbang mencoba menghalau kabut. Sayang seribu sayang, bukan kabut yang menjadi hilang, malah burung sudah tak sanggup tuk mengembangkan sayapnya. Kabut semakin meraja. Penduduk semakin tersiksa.

Sebetulnya, jika burung-burung jumlahnya ditambah, tebal sudah dimata kita, negeri itu mampu mengusir kabut. Tapi sayang seribu sayang, duit penguasa tak cukup. Negeri kaya itu tak punya banyak simpanan untuk mencipta burung-burung baru. Tak hanya burung baru, air pun sudah mulai tak ada bahkan ahli nujum negeri itu bereksperimen membuat air dari garam yang ditabur ke langit, itu pun tak cukup.

Penduduk negeri itu pun berteriak. Mereka mencoba untuk mengadu pada penguasa resmi negeri kaya raya itu. Konon menurut kisah dalam silsilah kenegeriannya, negeri itu berada dibawah negeri yang lebih besar lagi yang disebut nusantara. Pusatnya ada di tanah java. Penduduk negeri itu mencoba memanggil raja yang bertahta di tanah java. “Hai, Raja Diraja, Raja Besar Negeri Nusantara. Bantulah negeri kaya ini. kabut sudah semakin tebal. Kabut sudah semakin merusak. Kabut sudah semakin mengacau. Hai Raja Diraja, Raja Agung Negeri Nusantara. Kirimkanlah penguasa kami burung-burung pembantu”.

Lama sekali penduduk negeri itu berteriak. Raja Agung pun masih diam di tanah Java sana. Ia masih tak bersuara mencoba menolong. Waktu semakin mencekam. Penduduk negeri kaya mulai frustasi. “Ah, kita telah dikhianati Raja Agung! Kita telah diambil kaya nya, tapi tak diperhatikan keselamatannya. Negeri kita telah terlukai”.

Walhasil, keluarlah penduduk negeri itu ke jalan-jalan. Mereka membawa kuda-kuda perang sambil mengangkut air yang tersisa. Mereka berjuang sendiri. Mereka berjuang dengan darah sendiri. Tak harap lagi Raja Agung kan beri mereka bantuan.

Sampai entah bila Raja Agung kan menatapnya, Penduduk negeri kaya itu sudah hilang percaya. Sebentar lagi, Raja Agung kan berganti. Penduduk sudah hilang semangatnya. Semoga Raja Agung baru bisa membawa keberkahan negeri kaya itu.

Kabut pun semakin tebal. Penguasa pun semakin gusar. Kini, negeri kaya raya yang hebat itu telah putih. Putih oleh kabut itu. Maka jika ada yang tersisa, itu adalah suatu rasa. Maka jika ada yang tersisa, itu adalah doa. Penduduk negeri berkabut itu pun keluar meminta pada Allah SWT untuk menghilangkan kabut. Kompak seluruh kota disetiap kota di negeri kaya itu.

Dan kini, negeri kaya itu sudah tak menjadi kaya lagi. Negeri kaya itu kini sudah memperolehi sebuah sebutan baru, Negeri Kabut Putih. Semoga tak ada penduduk yang tewas akibat nafasnya terhadang oleh banyak kabut. Semoga anak-anak di negeri kabut putih bisa segera kembali menuntut ilmu disekolah-sekolahnya. Semoga usaha-usaha di negeri kabut putih bisa kembali seperti sedia kala. Sehingga para petani bisa berladang kembali, sehingga para abdi negeri nya bisa kembali melayani penduduk negeri, sehingga para pedagang bisa mendapat untung kembali.

Dan kini, Negeri Kabut Putih semakin putih. Semakin tak layak dihuni. Penduduk negeri diam meratapi.

“Pak Presiden, Bapak memang bukan Malaikat. Dan memang penduduk ini tak butuh malaikat. Mereka hanya butuh bantuan alat untuk menghalau kabut ini. Bantulah kami. Karena kalau bapak Enggan membantu kami, kami tak berani berucap bahwa bapak termasuk orang yang telah Mendustakan agama. Karena kami sangat mencintai bapak Sebagai Presiden kami. Oh ya pak. Senang rasanya hati mendengar bapak kan berkunjung ke sini. Kami nanti kedatangan bapak dengan penuh kasih di tempat kami lahir ini. Terima kasih”

-Mohon di Share Jika Berkenan, dan Semoga Share teman-teman sampai ke Pak Presiden-

Komentar

Postingan Populer