Instagraming

Petuah Ayah tentang Golongan Putih dan Partai Politik

(11 Maret 2014 17.15, saat perjalanan dari Dumai menuju Duri)

Jika bicara tentang siapa ayahku, ia seorang PNS yang telah mengabdi dari tahun 1987. Kini usia nya akan memasuki usia ke 54 tahun. Ia bukan seorang politikus. Dulu, zaman orde baru, ia pernah dipaksa menjadi ketua Kosgoro (semacam organisasi kepemudaan dari Golkar) di Kecamatannya. Ya, lama dan pandai bersilat lidah, akhirnya, rencana itu bisa ia tolak dengan elegan. Dengan sedikit banyak pertentangan yang ada pada saat itu.

Semasa itu, PNS ya Golkar dan Golkar ya PNS. Lama sekali slogan ini teringat olehnya. Itu pula yang sering diceritakannya padaku, anak sulungnya ini. mungkin, ia satu dari jutaan PNS yang membelot dan tak mau mendukung Golkar pada masa itu. Ya, ayahku memilih menjadi Ketua Pemuda Muhammadiyah di Kecamatannya dan memberikan suara untuk PPP (sebuah partai islam zaman orde baru).

Tentu, karirnya tidak mulus. Kita tahu bagaimana orde baru memperlakukan “manusia” seperti “bukan manusia” bukan? Tapi itu masa lalu, yang jelas dipandang adalah pengalaman ayah ku pada masa itu “memberontak” sebagai PNS untuk tetap berada pada prinsip Islam, netralitas dan Indonesia raya.

Lalu bagaimana dia sekarang? Ayah ku kini masih seorang PNS dengan jabatan fungsional yang dibebankan ke pundaknya. Ya sama seperti PNS lain seusianya. Jika dilihat prestasinya, ia yang terbaik di kabupaten ini pada posisinya. Ia pula berhasil menamatkan pendidikan ekstensi S1 nya dalam waktu 1 tahun. Waktu yang relatif sangat cepat untuk orang yang kuliah diawal tahun 2000-an. Dan dari segi agama, ia tamatan Mualimin Muhammadiyah (sebuah Sekolah Da’i milik persyarikatan Muhammadiyah).

Dari semua asam garam yang telah ia kecap, ia pun berpetuah padaku, anak sulungnya. Kali ini petuahnya tentang pandangan politik. Aku tak menyangka ia akan “berpetuah” tentang “penyakit manahun” yang satu ini. Ya penyakit, dimana semua orang yang ber-Islam bisa pecah karenanya.

Aku bilang ber-Islam. Karena gegara politik umat ini pecah kacau balau. Sini aku ceritakan sebuah kisah lucu dari temanku, ia tinggal disebuah dari di Jawa sana. Ia bercerita orang tua temannya menyekolahkan anaknya ke Jakarta. Sepulang dari jakarta, anaknya sholat jamaah di mesjid menggunakan celana. Sebuah hal yang tabuh ketika bagi “ayah temannya” yang menganggap sholat itu ya pakai sarung. Lantas orang tua temannya mengadu ke pak kiyai, “Pak Kiyai, saya sekolahkan anak saya di jakarta untuk jadi orang sukses, ini dia pulang jadi muhammadiyah”. Ya, muhammadiyah, identik dengan “baharu” dalam arti kata yang tidak bisa diterima. haha

Nah, keluarga ku ini bahkan lucu lagi, tersebutlah aku punya keluarga yang sangat besar jumlahnya. Pada kakek yang satu, ia adalah ketua NU di kecamatannya. Pada kakek kandungku, ia adalah wakil ketua Muhammadiyah di kecamatannya. Pada kakek lainnya, ia ketua tarikat di kecamatannya pula. Berwarna-warni, tapi semua nya “dipatri” oleh keluarga ini.

Lucu bukan?

Ya, Berislam ini saja. Karena politik agama, bisa terpecah. Ingat bukan ketika NU saat itu menjadi partai dan Muhammadiyah dengan penuh mendukung Masyumi? Politik, sebuah penyakit perusak. Pemecah umat ini sejak negeri ini berdiri. Itulah asalnya aku menyebut penyakit.

Mungkin kalian penasaran, apakah ketika NU pada NASAKOM nya Soekarno dan Masyumi berkonflik keluarga saya ikut berkonflik juga? Tidak! uniknya begitu. Disaat didaerah lain, dua ormas ini sempat bersitegang, dikecamatan itu, tidak sama sekali. Bahkan seperti tidak ada pengaruh perbedaan pandangan politik. Ya mungkin riak kecil terjadi saat almarhum kakek saya yang berperkara di pengadilan agama atas gugatan kakek yang lain karena mengubah azan jumat dua kali menjadi satu kali sebagaimana sering dipraktekkan. Akhirnya, kakek saya dari Muhammadiyah yang memenangkan perdebatan di pengadilan agama tersebut. Selebihnya, tidak ada riak-riak lain yang terjadi dari gesekan politik yang “seharusnya” ada seperti di Jawa.

Lalu, saat perjalanan tinggal menyisahkan 30 menit lagi, ayahku berkata, ”Apalah ini semua kayu dipakunya. Belum jadi Legislatif udah merusak, apalagi terpilih?”

“Papa, nanti milih partai apa?”, tanyaku

“Oh sekarang tak ada yang bisa dipercaya  lagi. Sekali kali jangan mau diperdaya mereka yang berperawakan palsu itu. Kita tak pilih, golput. Banyak kerusakan yang terjadi. Kita pilih? kata orang-orang tua dulu, kita mesti memilih yang terbaik dari yang terbaik. Kalau sekarang berubah, pilih yang baik dari calon-calon yang buruk itu. Semua nya buruk, tapi pilih yang paling baik dari buruk itu.
Terkadang tak sampai otak kita termakan itu semua. Kalau mereka baik, kita pilih bisa pilih. karena memang mereka baik. Kayak Masyumi dahulu. Tapi ini semua buruk, lantas apa yang nak kita pilih? semua dah buruk saja. Kalau kita pilih yang lebih baik dari yang buruk-buruk itu, kita tetap memilih yang buruk. Bukan yang baik. Ke depan salah, mundur pun salah. Ini susah nya negeri ini sekarang”

“Tuh Besok milih di Pemilu pa?”, tanyaku penasaran.

“Nah, biar kan bagus, kita ambil jalan tengah saja lagi. Pilih ulama. Pilih ulama. Pilih ulama. Selagi ada ulama yang berada di politik, dari partai mana saja. Pilih. lebih baik negeri ini tenggelam dibawa ulama, dari pada orang-orang yang tak beriman. Kalau ulama yang menenggelamkan, kita masih bisa berlindung kepada Allah. Karena kita masih percaya mereka. Kalau orang tak beriman? Malapetaka seperti kabut nih kan tak hilang-hilang saja. Duit negara habis masuk kocek pribadi”.

“Ehm?”, lanjutku.

“Umat kita sekarang nih lucu nya sangat. Lebih patuh pada undang-undang daripada Al Quran. Ya tak? Lucu tak orang islam lebih patuh pada aturan manusia daripada aturan Allah? Nah, kita jangan sampai macam itu. Bagaimana biar orang islam bisa ikuti aturan Allah. Biar para ulama yang masuk ke anggota dewan tuh. Dibuatkannya aturan agar seperti aturan Al Quran. Sehingga, orang-orang yang kan lebih patuh pada Undang-undang secara tak langsung patuh pada aturan Al Quran. Itu yang lebih baik”

“Tapi macam mana caranya, Pa?” kataku lagi.

“Nah, nak menjadi pemimpin, rasulullah dah contohkan jelas dah. Shiddiq, Amanah, Fathonah, Tabligh. Ada tak orang sekarang yang macam tuh? Tak ada caleg yang seperti itu selain ulama. Siapa yang ada macam itu? Cukup saja lihat ada tak ulama Muhammadiyah yang mencalonkan diri? Yang wakil ketua MPR tuh, orang Muhammadiyah. Semakin banyak orang muhammadiyah di parlemen, negeri baldatun toyybatun warabbul ghaffur pasti semakin diusahakan. Makanya, engkau tak dimasukkan ke pesantren. Masuknya ke sekolah negeri. Biar orang-orang macam kau nih masuk ke pemerintah lalu menularkan Islam di pemerintahan. Eh, banyak sangat orang tak ber-Islam di pemerintahan sekarang. Kalau lah mereka yang membuat aturan, adakah mungkin kan sesuai Al Quran? Tak akan ada kesah nya itu”.

“Apa harus Muhammadiyah?”

“Tidak lah. Tak peduli, mau Muhammadiyah kah namanya, mau NU kah sebutannya, Persis pula, siapa saja. Selagi engkau percaya dia ulama. Kirim dia ke parlemen. Negeri ini memang dah berpenyakit. Di jakarta banjir, Medan ada Sinabung, Riau tenggelam oleh asap, Manado tenggelam satu kota, di Maluku gunung meledak, di jawa Gunung meletup. Ini udah bencana namanya, tak lagi ujian, bencana. Teguran.
Nah, baru setelah tak ada satupun orang baik yang bisa engkau pilih. Golput lah. Hijrah dari negeri ini nih. Silahkan. Sekarang kan masih banyak dari kita yang berislam ini yang jadi caleg. Bantu mereka untuk umat ini. bantu agar bencana tak datang lagi. Bantu agar teguran tak menampar negeri kita lagi. Mengerti?”

“Ehm, yoi...”

Sempat hening beberapa saat setelah pembicaraan berat itu. Dan saya pun berpikir lama, untuk seorang yang telah sering makan asam garam, tentu petuah ayah ini tak bisa dianggap sepeleh. Tapi idealnya, sekali idealnya, kita bisa memilih siapapun, tidak perlu label ulama, tidak. selama kita percaya ia Shddiq, membenarkan kebenaran, Fathoh, cerdas, Amanah, dapat dipercaya dan Tabligh, menyampaikan kebenaran. Pilih! tapi apabila sudah tidak ada yang bisa kita percayai, apabila sudah tidak ada yang menurut pemikiran subjektif kita yang shiddiq, amanah, fathonah dan tabligh, maka pilihlah ulama. Pilihlah ulama yang menjadi Caleg itu. Tidak peduli siapapun orang nya, dari partai apapun ia berasal.

Karena golput nya kita hanya akan membuat negeri ini semakin dilanda bencana, maka bangunlah! Bangunkanlah negeri ini dengan suaramu. Suara yang kan mengantarkan ulama-ulama itu ke parlemen sana. Suara yang akan memberikan perlindungan pada kita atas teguran yang seharusnya telah memekakkan telinga. Teguran yang seharusnya membuat kita bertaubat, taubatan nasuhah.

Dan akhirnya, Selamat melanjutkan mengajinya. Saya baru saja dimarahi karena belum mengaji Maghrib ini karena keasyikan menulis notes ini. haha

sumber foto:
http://politik.kompasiana.com/2013/10/12/golput-juga-berpolitik-598274.html
sumber foto: http://politik.kompasiana.com/2013/10/12/golput-juga-berpolitik-598274.html

Komentar

Postingan Populer