Instagraming

Terakhir yang Bukan Sebuah Akhir (Tentang 51)

oleh Riyan Al Fajri

“Pokoknya Bang Riyan harus ikut acara ini.” sms Bella pada malam itu.

Tidak lama beberapa jam setelah itu, saya sampai di jakarta. Esok harinya, 1 Maret 2014, saya bertemu dengan 15 anak 51 lainnya yang telah siap sedia untuk perjalanan bersama 2 hari ke depan. Perjalanan ini berawal buruk dan berakhir luar biasa. Saya bahkan “disekap” anak-anak. Mereka menempeleng kepala saya. pengeloncoan? Bisa jadi!

Dan apa yang kini saya pikir? Ini akan menjadi satu kisah terindah yang pernah ada bagi saya.

Awal Yang Buruk
“Kurang dari setengah ya? Saya akan jadikan ini malam yang tak terlupakan bagi mereka”, pikir saya.

Program Understanding the Nature (a.k.a Makrab) siap untuk dilaksanakan. Pukul 06.30, semua pasukan berangkat dari Bintaro. Saya perhatikan begitu dalam wajah-wajah mungil mereka. Ada semacam rasa “ingin” dan sebuah rasa “kecewa”. “Ingin” karena sepertinya mereka ingin ini kesenangan terbaik yang mereka miliki, “kecewa” karena sepertinya mereka tidak bisa berkumpul lengkap semuanya.



Kendaraan tronton pun jalan menuju pintu tol bintaro. Awalnya, saya berharap suasana mencair begitu saja. Dan ya, harapan itu hanya omong kosong belaka. Ada yang tidur diseparuh kursi, ada yang bicara sesama mereka, ada yang menyanyi tidak jelas, ya, tronton itu seperti tidak membawa sebuah pasukan, tapi seperti sebuah angkot yang mengangkut penumpang yang tak saling mengenal.

Sakit Yang Menghangatkan
Lantas tronton sampailah pada tempat penghentiannya. Dari tempat parkir itu, saya kira masih ada 500 meter lagi menuju puncak. Medan mendaki mesti kami lalui. Semua menanjak menuju villa. Tanpa berusaha untuk peduli, satu per satu sampai pada tengah tanjakan. Setelah hampir setengah perjalanan, semua tersadar. Kenapa ada yang kurang? Ya, ternyata ada 7 orang yang saling tunggu dibawah sana karena menunggu temannya yang tak mampu menanjak.

Sebagian yang sadar, langsung turun ke bawah membantu teman yang kesusahan mendaki itu. Suasana mulai cair. Suasana mulai hangat disaat matahari mulai menyinari jiwa-jiwa kecil anak-anak ini.



Happy Birthday, Ocin!
Setelah beberapa saat sampai di villa, anak-anak berberes-beres. Ada yang memasak, ada yang mencoba mengisi waktu dengan bermain mafia-mafiaan. Saat itu saya bersama anak-anak yang bermain mafia. Selepas itu, shalat berjamaah dan makan siang. Menu siang itu adalah chicken nugget dan sayur bayam.

Selepas sholat Dzuhur, anak-anak turun ke lapangan. Di lapangan, saya sudah menyiapkan sebuah game sederhana. Tujuan utama game itu sederhana, yakni: kreatifitas, kepemimpinan, Perluasan Skala perspektif dan Kerja sama tim. Game ini terdiri dari 4 rangkaian lomba. Pertama, anak-anak ditantang untuk membawa bola dari satu titik ke titik ujung lainnya dengan segala macam cara. Mereka diberi bantuan berapa sumber daya yaitu tali, botol air mineral dan bola. Bola harus dimasukkan ke dalam botol diujung lainnya. Setelah itu, bola yang didalam botol harus dikeluarkan dari dalam botol dengan mengisikan air pada botol tersebut. Bola yang berhasil dikeluarkan di bawa dengan gerobak sorong sampai pada garis tengah pertandingan. Selepas itu, mereka secara bersama-sama mesti membawa bola tersebut sampai pada tujuan.

Game 4 serangkai ini dimenangkan oleh kelompok Hani, Adi, Muflih, Fadhel, Luqman, Bella dan Diar. Sebetulnya, tim Nia, Puspa, Adit, Azka, Fildzah, Cindy dan Ocin lebih dahulu mencapai garis finish. Namun sayang, Nia dkk lupa membawa bola dari garis tengah ke garis finish. Jadi sampainya mereka ke garis finih tanpa bola sama sekali.



Untuk melengkapi kemenangan-kekalahan yang manis itu, saya bariskan mereka dengan menempatkan Ocin Fadhel ke depan. Sebelumnya, saya sudah menginstruksikan kepada Fadhel untuk persiapkan segala sesuatunya. Dalam hitungan ketiga, 1,2,3. Ocin disiram air satu ember. Fadhel pun mendapatkan perlakuan yang sama karena “miss” intepretasi Azka padahal dia tidak ulang tahun pada saat itu. Cerdas! Haha. Ocin dan Fadhel basah kuyup. Dan bersama kita ucapkan “Happy birthday, Ocin! Happy Birthday, Fadhel”.



Forum Kaki Lantai
Kegiatan kita lanjutkan pada forum kaki lantai. Forum ini merupakan perpaduan antara sikap santai manusia dan pijakan manusia. Dimana manusia harus memahami “langkah” mereka sebelum mereka menginjaknya lebih jauh. Semua berada dalam lingkaran dengan menjulurkan kakinya kedepan membentuk lingkaran pula.

Step berikutnya, setiap orang bergantian menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam game tersebut dengan atraktif dan menarik kepada yang berada dilingkaran. Lingkaran tersebut menjadi kotak “konser” atau sebuah panggung bagi mereka menyampaikan isi kepala kepada teman-temannya.



Forum Kaki lantai ini diakhiri dengan pamitan Adi kepada semua pasukan. Adi diharuskan kembali lebih dahulu ke Bintaro karena ia harus pulang ke jawa pada keesokan harinya.

Maghrib Mencekam
Sembari menanti malam datang, anak-anak menghabiskan waktu dengan bermain kartu. Maghrib pun datang. Sholat berjamaah pun tak tertinggal sebagaimana sholat-sholat lainnya. Sewaktu makan kan tiba, Maag Cindy kambuh. Ia menangis menahan sakit yang teramat sangat. Suasana yang sempat hangat menjadi mencekam sesaat. Semua khawatir akan kesehatannya.

Bukan hanya Cindy, Fildzah pun jatuh sakit. Angin dingin udara malam itu menusuk tulang-tulang mungilnya. Badannya kaku. Ia pun terpaksa menggunakan selimut kemana ia pergi. Satu persatu anak-anak menghilang. Mungkin bersembunyi dibalik pintu kamar yang hangat. Seakan-akan keadaan semakin memburuk, pikir saya, saya panggil fildzah dan hani untuk bertukar pikiran. Apa yang mesti dilakukan untuk merubah keadaan yang sudah jatuh ini?

Lama saya kehilangan anak-anak, akhirnya sampai pada sebuah keputusan, “Battle Sing!!!”

Battle Sing For Truth Or Dare
Battle pun dimulai dengan keseruan. Cindy yang sempat terkapar dikamar pun datang melengkapi semua pasukan malam itu. Saya senang mereka semua berkumpul. Setelah pertarungan alot antara dua tim, akhirnya kalah tim satu. Tim yang kalah diharuskan melakukan cap-guricap untuk menentukan perwakilan yang akan di truth or dare.

“Luqman!!! Selamat anda kalah!!! Selamat!!! Truth or Dare”

Luqman memilih Dare. Hukuman yang mesti ia terima adalah bernyanyi dangdut koplo dengan vokal “i” dan membuat semua orang tertawa. Setelah beberapa kali tampilan dan menampilkan “jiwa nakal” nya, Luqman berhasil membuat seisi rumah tertawa terpingkal-pingkal.

Battle pun berlanjut. Pada pertarungan kedua, kedua tim sama-sama imbang. Tidak ada yang menang dan yang kalah. Akhirnya, setelah 60 menit battle tanpa pemenang, saya tutup pertandingan untuk beristirahat.
Setelah battle berakhir, beberapa anak-anak bersiap untuk bakar jagung. Saya membantu mereka menyiapkan arangnya. Mungkin sekitar 10 menit, saya berada di dapur. Tiba-tiba seorang dari mereka memanggil saya, “Abang, Maag cindy kambuh lagi”.

Saya sontak kaget. Ini harus ke rumah sakit. Harus, pikir saya. ketika saya temui Cindy di ruang tamu memeriksa “keadaan” nya, sekelebat saya diberdirikan mata saya ditutup, tangan saya diikat.
SAYA DISEKAP!!!

“BALAS DENDAM, RAKA!!!”
Dalam keadaan terikat sempurna, mereka melarang saya untuk bicara. Bicara tidak akan menolong saya. bicara tidak akan merubah apapun.

“Raka, tolong jangan bersuara apapun yang terjadi!”
“Raka, engkau selama ini yang selalu bicara didepan kami, sekarang dengan mata tertutup ini, dengarkan kami! Dengarkan kami! Tolong”.
“Raka, dengarkan kami. Ini kata hati kami, 51, mentee-mentee raka”.

Satu persatu dari mereka membaca sebuah surat. Beberapa surat yang saya singkat seperti berikut:

“Sejak pertama melihat raka di depan gedung A, itu sudah terlihat, dia seorang yang sangat peduli, beda dengan mentor kelompok lain, dia juga berikan banyak hal bagi kami. Semangat, kata-kata bijak, nasehat. Banyak kata-kata yang menyejukkan hati ini, tawanya bikin kita terhibur! Itu hanya sebagian. Bila harus dijabarkan, mungkin 54 lembar kertas buku hadiah dari STAN tak akan cukup memuatnya. Mungkin lirik lagu Ruth Sahanaya ini cukup untuk mengunggkapkan isi hati saya:

Kaulah segalanya untukku
Kaulah curahan hati ini
Tak mungkin ku melupakanmu
Tiada lagi yang kuharap
Hanya kau seorang.
We Love you, Raka”

"Saya ga tahu harus ngomong apa. Raka orang terhebat, kakak buat kami disini. Terima kasih raka. Tidak terasa 6 bulan raka menjadi mentor kami. Raka, i just wanna say, “Makasih. Makasih banget”. Walaupun udah habis kontrak raka membimbing kami, jangan lupakan kami, raka. Kami selalu ada buat raka. Sekali lagi, terima kasih raka.

“Sebelumnya, kami mita maaf harus mengikat abang seperti ini. 51 adalah keluarga pertama saya bang. Awalnya, saya kan mengira saya kan menjadi orang tertutup, diem,  tanpa teman. Ternyata, disini saya lebih hidup, berekspresi. Walaupun sering terbuli dan seperti tak punya teman saat butuh, tapi tiap kumpul 51, saya hidup bang!

Saya hidup bang, Saya punya semangat untuk sekolah disini”.

“Terima kasih atas 6 bulan ini ya raka. Saya sayang sama raka, saya berterima kasih pada Allah karena dipertemukan dengan raka dan 51 ini. dulu, saya merasa omongan raka itu terlalu lebay atau apalah. Tapi seiring berjalannya waktu, saya semakin dewasa. 51 pun memberi saya arti persahabatan yang seperti keluarga.

 Maaf kalau saya seperti anak kecil, ngeyel, sekarang, tepat hari ini, saya hanya ingin bilang, raka adalah orang yang berpengaruh di hidup saya. rakaya yang bawa saya untuk pikiran dewasa. Untuk pecahkan masalah dengan solusi terbaik. Saya mau bilang

SAYA CINTA RAKA RIYAN, SAYA CINTA 51, SAYA KALIAN SEMUA. KELUARGA KECILKU”

“Riyan Al Fajri, nama pertama yang saya lihat ketika pembagian kelompok dinamika. Seperti apakah dia yang akan menjadi mentor saya? kesan pertama saya biasa, tapi semakin hari semakin tahu seperti apa dia. Dia sosok orang yang berikan ilmu nya pada kita, mampu membuka pikiran kita, memotivasi dan mendukung kita, banyak hal baik yang kami dengar tentangnya. Tak sedikit pula hal buruk yang kami dengar tentang nya.

Perkataan negatif orang yang entah kenal dia atau tidak, tapi saya tahu, baik semua hal tersebut benar atau tidak, saya menerima ia apa adanya. Saya terima ia bukan hanya sebagai seorang mentor, tapi seorang kakak. Terima kasih Riyan Al Fajri. TERIMA KASIH TELAH MENJADI KAKAK KAMI”

 “Riyan Al Fajri, orang yang terpilih menjadi mentor kelompok 51. Kesan pertamaku, unik. Dia mungkin satu-satunya mentor yang menarik dengan caranya, enerjik, dan melepas topi panitianya. Bahkan menghilangkannya. Hari demi hari, kita lalui.

Hari kelima dinamika, saya takut kehilangan sosok ini. disitu saya merasa, raka adalah orang yang tak pantas kami lupakan. Raka yang membuat kelompok 51 hidup dan bertahan hingga sekarang. Raka yang mengajarkan kami pentingnya beraksi sosial. Sempat aku berpikir, sepertinya, rakaku terlalu banyak memberikan tantangan tuk membuatku memikirkan bagaimana memecahkannya. Raka, jangan lupakan 51. Kebersamaan 51 bersama raka adalah yang terbaik buatku”

“Disaat kelompok dinamika lain tak tahu ujungnya, kita masih terus bertemu, itu luar biasa, raka. Banyak yang iri dengan kelompok kita ini. dan saya berharap, semua kekeluargaan ini kan berlangsung hingga selamanya. We love you, bang Riyan”

“Jujur pertama kali ketemu sama bang Riyan, ada gairah untuk kenal. Setelah kenal lebih jauh, banyak bersama-sama, saat abang selalu temani kita pas kumpul, acara kita, dan semua pandangan abang untuk bekal kita, saya bangga punya mentor kaya raka. Nice memory, raka”.

“Untuk raka Riyan, orang yang pandai, baik dan enak untuk diajak ngobrol, supel dan masih banyak lainnya. Raka, selama beberapa bulan saya lalui bersama kawan 51 banyak yang saya dapatkan. Teman baru, pengetahuan baru, pembelajaran baru. Terima kasih telah menemani kami dari dinamika hingga hari ini raka. Terima kasih telah mengorbankan waktumu.”

“Raka makasih udah nemani kita selama ini. dimataku, raka adalah seorang pendidik dan sahabat kita. Raka ngajarin kita banyak hal agar kita terus berkembang, membuka pikiran kita, peduli sesama, bahkan melakukan sesuatu yang besar yang ga pernah terpikir sama kami. Raka itu gila. Memberi kami tantangan keluar negeri dengan uang kami sendiri. Tapi, raka menyadarkan kami bahwa tak ada yang tak mungkin selalu kita berusaha mencapainya. Terima kasih raka, untuk semuanya”

“Raka, engkau pemersatu kami, guru sekaligus teman kami, engkau sesosok manusia yang hampir sempurna. Engkau buat pikiran kami terbuka. Walaupun berbeda pikiran, gaya hidup, tapi kita punya tujuan yang sama, menciptakan keluarga 51. Mudah-mudahn kita dapat berkumpul dan menjaga hubungan kita semua. Selamanya”

“Aku tak tahu apa yang harus ku tulis. Aku tak tahu apa yang harus ku bicarakan. Yang aku tahu adalah aku membutuhkanmu. Aku menyayangimu. I need you forever after”

“Raka, pernah mendengar cerita tentang Ksatria bulan? Yang bersinar terang dilangit sana? Sang ksatria terbang mengendarai bintang. Dan engkaulah sang ksatria. Engkaulah yang membuat kami bersinar. Raka, meski alasan raka untuk tetap disamping kami telah tiada. Tetaplah bersama kami untuk menyatukan keluarga ini. tentang semua nilai yang tak ternilai harganya, terima kasih, raka”

Seketika mereka memeluk saya. tangisan pecah dikeheningan malam itu. Air mata membanjiri baju-baju kami. Erat sekali pelukan ini, rasa saya. Saya pun tenggelam haru. Terbukalah penutup mata saya, terbebaslah ikatan saya setelahnya. Suara tangisan berat pun sertai nyanyian mereka. Saya pun menangis. Saya pun menangis. Haru. Haru.

“Duduklah kalian disekitar saya. ada yang ingin saya sampaikan”, begitu lanjut saya.

Semakin saya ingin bicara, semakin lidah saya membeku. “Ah, saya ga bisa bicara”. 35 menit lamanya, saya hanya mengeluarkan air mata. Bisu menatap mereka. Tak ada satu katapun yang bisa menggambarkan kondisi saat itu.

“Raka, memang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Jangan dipaksakan”, kata diar.

Malam itu pun kami akhirkan dengan memakan jagung bakar bersama.

 Curug Cilember
Pagi buta pun membahana. Tak ayam yang berkokok disini. Ruang tamu, dipenuhi onggokan tubuh yang masih tidur dengan pulas. Bella, diatas sofa. Hani dan Cindy diatas ranjang, Luqman dan adit memeluk dinginnya karpet merah subuh itu.

Bella terbangun dengan mematikan alarm Hani yang sudah bernyanyi setengah jam yang lalu. Ia pun dengan sigap bangunkan semua pasukan. “Sholat!! Sholat!!”

Masih dipagi itu, kaki-kaki kecil 51 ini melangkah mendaki lebih tinggi lagi. Curug Cilember, sampailah 51 dalam waktu tak kurang 30 menit kemudian.



Jika ada penambah kesempurnaan kisah indah ini, curug lah namanya. Dan akhirnya, kami pun bersiap untuk pulang beberapa jam kemudian.

Akhir yang Tak Seperti Awal
Jika diawal semua sibuk pada kegiatan masing-masing. Pada perjalanan pulang kali ini, 51 bernyanyi lagu anak-anak dari awal naik tronton hingga sampai bintaro. Dan itu bukan lagi suatu hal yang indah, itu jauh dari kata indah. Jauh lebih indah.

Dan akhirnya, setelah semua perjalanan yang menyenangkan ini, jika saya tetap tak mampu menggambarkan apa yang terjadi. Jika cinta adalah gambaran kasih sayang dan rasa peduli serta rasa keamanan, maka cinta tak cukup untuk menggambarkan memori ini.

Ah entah lah, tapi dari semua ini, saya hanya ingin berkata, “Hati saya selalu terbuka, untuk kalian yang tak ingin pergi. Insya allah, kita kan selalu bersama. Jika bukan tubuh kita yang bersua, maka cinta kita lah yang berbunga. Tumbuh mekar di kebun yang bernama Indonesia”.

Adik-adik, terima kasih atas memori yang spesial ini.

Komentar

Postingan Populer