Instagraming

Menertawakan Surat Orang-Orang Pintar

Sebelum membaca tulisan ini jauh ke bawah, saya ingin coba perkenalkan diri saya dulu. Saya bukan aktifis yang terkenal dizaman saya, bukan pula teladan bagi banyak orang. Saya adalah seorang alumnus yang sedang tertawa terbahak-bahak membaca surat-menyurat “dua senior” saya di sekolah saya dahulu.

Sekolah saya ini agak unik memang. Orang yang lebih tua bisa saja masih sekolah, saya yang masih muda dan imut ini sudah lulus dari sekolah. Bukan berarti saya pintar ya. Saya hanya menjalankan sebuah proses yang saya sebut sebagai penghambaan pada Yang Kuasa.

Sekarang kita coba melangkah “sedikit” lebih maju. Kenapa tulisan ini saya tulis?

Tujuan saya tentu bukan sedang “membodoh-bodohkan” dua senior saya tadi. Bukan pula untuk ikut campur dalam urusan surat cinta mereka. Cinta mereka biarkan bersemi. Saya hanya tertarik dengan logika semprul yang mereka ajukan sebagai pembelaan diri mereka.

Pada surat pertama, si penulis menentang SARA. Saya pinjam istilah penulis sebagai “pendikotomian mahasiswa menjadi dua sisi”. Muslim-Non Muslim, Lama-Baru, Akuntansi-Pajak, dsb.

Pada awalnya, saya suka dengan pembukaan surat cinta nya. Tapi yang saya lihat, argumentasi penulis tidak lebih daripada logika anti-negasi dari isu yang berkembang. Bila penulis mengkritisi isu-isu yang “menjangkit” mahasiswa dengan persoalan agama, ia pun berusaha menegasikan isu tersebut. SARA itu negasi kesamaan hak untuk dipilih, alasan anti-SARA pula merupakan anti-negasi dari negasi kesamaan untuk dipilih. Usaha yang bagus tapi sesat!

Sesat, kata saya. Sesat karena menggunakan argumentasi Pancasila sebagai pendukung anti-SARA. Jika kita telisik Pancasila kita dalam sekali, sila pertama contohnya, kita akan temukan bahwa Ketuhanan yang dimaksud pada sila pertama adalah ketuhanan yang berkebudayaan. Ketuhanan yang lapang dan toleran, bukan ketuhanan yang saling menyerang dan mengucilkan.

Sila ini jelas menegaskan etis-religius bangsa ini. Maka suatu kewajiban bagi setiap umat agama “berproses” berdasarkan agamanya masing-masing. Tapi perlu diingat,  pada saat yang sama, negara ini tidak mewakili agama tertentu tapi menfasilitasi, melindungi dan menjamin keamanannya.

Belum lagi, tanpa persetujaun Ki Bagoes Hadikusumo, Kasman Singodimejo dan Teuku Moh Hassan, Pancasila kita tidak akan menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Dan mereka bertiga menyetujui perihal itu sebagai emergency exit dengan pemaknaan bahwa Yang Maha Esa itu berarti Allah. Ini semacam kompromi agar sahabat-sahabat dari gereja Indonesia Timur bisa menerima kemerdekaan Indonesia secara bersama-sama.

Nah, bila ada anjuran untuk mengikuti ajaran Islam secara kaffah dan ditentang oleh penulis dengan logika Pramoedya Ananta Toer (sastrawan pendukung Komunis), saya sungguh tidak setuju. Konstitusi kita “memerintahkan” kita untuk mengikuti anjuran agama dengan kaffah.

Bila penulis pertama bicara program dan visi misi, lanjutkan. Tapi bila penulis seolah-olah menegasikan pilihan berdasarkan agama dengan pemaknaan Pancasila yang keliru, itu menggelikan.

Sahabat pembaca bisa temukan penjelasan saya di buku Negara Paripurna tulisan Dr. Yudi Latief atau publikasi resmi tentang 4 Pilar Kebangsaan dari MPR RI. Penjelasan ini juga berlaku untuk sila ke 2 hingga ke 5 karena berdasarkan sifat hierarkis dan piramidal Pancasila. Sila kedua dijiwai sila pertama, Sila ke 3 dijiwai sila pertama dan kedua, dsb.

Para Haters Penulis pertama jangan senang dulu dengan “penertawaan” saya pada penulis pertama.

Bila penulis pertama mengalami kesalahan filosofis dalam argumen nya, penulis kedua lebih menyedihkan lagi.

Perlu ditegaskan bahwa apa yang disampaikan penulis kedua mengenai An-nisa 144 tidak salah. Benar secara kutipan. Tapi salah secara pemahaman. Jelas sekali penulis masih sangat hijau dan tidak memahami Islam secara benar. Tulisan penulis jelas sebuah serangan yang ambisius untuk memenangkan pasangan calon yang didukungnya.

Jika kita bicara tentang pengangkatan Non Muslim sebagai pemimpin, kita bicara 3 bagian utama:
  1. Sebagai Wali Amanah (Kepemimpinan umum dan punya nilai keagamaan strategis, dapat mempengaruhi agama)
  2. Wazhoif Qiyadiyah
  3. Wilayat Madaniyah

Yang dimaksud wali amanah disini menurut ulama adalah kepemimpinan yang bersifat mutlak, yang dalam islam sering diidentikkan dengan Khilafah. Qiyas nya adalah ria’satuddaulah / Presiden / Perdana Menteri. Dalam hal ini, ulama sepakat umat islam dilarang memilih kepala negara seorang non muslim.

Sedangkan untuk Wazhoif Qiyadiyah, ini seperti pembantu presiden atau pembantu menteri. Dan Wilayat Madaniyah ini seperti pelaksana lapangan, pembantu umum, dsb. Ulama punya perbedaan pendapat pada bidang ini.

Perhatikan gabungan kata huruf tebal tersebut. KEPALA NEGARA. Suatu entitas yang memiliki kekuasaan atas umat. Bukan sebuah organisasi mahasiswa yang melempem, bukan pula organisasi mahasiswa yang hanya mengurusi 5000an mahasiswa. Bukan pula organisasi mahasiswa yang “mengurusi” agama mahasiswa. Kita bahkan tidak sedang bicara kepemimpinan di wilayah wali amanah. Bahkan Wazhoif Qiyadiyah pun tidak.

Jelasnya, memilih pemimpin non muslim itu sendiri, ada perbedaan pandangan oleh ulama. Ada yang memperbolehkan, ada yang tidak. Yang tidak beralasan dengan surat Al Mumtahanah : 13. Yang boleh beralasan dengan dengan permintaan perlindungan oleh Rasulullah kepada Raja Kristen Najasyi Negus saat 116 orang muslim hijrah ke Ethiopia.

Ulama yang memperbolehkan menyatakan bahwa larangan “memilih pemimpin non muslim” tidak mutlak. Larangan ini hanya berlaku bagi kafir golongan yang memusuhi islam sebagaimana diterangkan dalam Al Mumtahanah 1-2, Al Maidah 57 dan An-nisa 89. Konteks ayat tersebut jelas larangan diberikan pada orang kafir yang jelas-jelas memusuhi Islam.

Bila kita meminjam istilah Syeikh Ahmad Mustofa Al Maraghi, orang islam dilarang mengambil orang non muslim sebagai pemimpin atau sahabat setia bila:
  1. Mereka tidak segan-segan merusak dan mencelakakan orang islam
  2. Mereka menginginkan urusan dunia orang islam sulit
  3. Mereka menampakkan kebencian kepada islam melalui mulut mereka secara terang-terangan.

Sekali lagi, orang kafir yang jelas-jelas memusuhi islam. Bila tidak, diperkenankan untuk memilih. Tapi ini tidak berlaku untuk Wali Amanah (Kepala Negara/Legislatif yang membuat aturan dsb) ya. Itu mutlak diharamkan. Saya yakini bahwa saya sangat ragu bila ada calon yang sedang diserang penulis kedua sedang “memusuhi” islam. Saya kenal betul dengan calon non muslim tersebut. Karena itu saya bahkan memilih calon yang diserang penulis kedua sebagai Ketua SPEAK angkatan ke 7. SPEAK adalah sebuah organisasi mahasiswa yang bergerak dalam bidang gerakan integritas, Indonesia bersih dan anti korupsi.

Saya memilih beliau karena saya paham dengan agama saya. Karena saya memahami substansi nilai-nilai islam seperti yang saya jelaskan ini.

Maka jelas melalui tulisan ini saya menertawakan penulis kedua dengan sangat. Bila penulis pertama saya sebut menggelikan, maka penulis kedua ini sangat menyedihkan. Menggunakan pemahaman islam yang tidak tepat untuk menarik perhatian. Ujung-ujungnya Islam pula yang menjadi jelek. Islam pula yang “seperti tersalahkan”. Padahal itu akibat ketidakpahaman penulis dalam memahami nilai-nilai luhur keislaman yang indah ini.

Saya akhiri penertawaan saya malam ini dengan ceria. Sudah tengah malam ini, sudah saatnya kita menghadap Allah bukan dalam sholat malam bukan? Ayo Bangun! ^_^

Hormat saya,
Alumnus yang suka menertawakan kesokpintaran.
Riyan Al Fajri.

Surat yang saya tertawakan:
  1. Surat pertama : http://cesariansyah.tumblr.com/post/91633377517/surat-terbuka-kepada-mahasiswa-stan
  2. Surat kedua : http://canaksaindonesia.wordpress.com/2014/07/13/menjawab-surat-terbuka-kepada-mahasiswa-stan/

Saya

Komentar

Postingan Populer