Instagraming

Anda Terkena Gangguan Jiwa

Jam 3 pagi saya sudah berangkat menuju Pekanbaru dari Duri. Sesampainya di Pekanbaru, saya pakai menuju RSUD Arifin Ahmad Propinsi Riau.
“Ibu, disini bisa Medical check up untuk tes kesehatan jasmani dan rohani CPNS?”, tanya saya pada perawat.

Awalnya, ibu  mengiyakan pertanyaanku. Tapi setelah ku tegaskan aku butuh “Surat Sehat Rohani”, ternyata RSUD Arifin Ahmad tidak punya psikiater yang “bisa” melakukan tugas itu. Saya diarahkan ke RS Jiwa Tampan milik Propinsi Riau juga.

 

Sesampainya di RS Jiwa Tampan, banyak orang gila berkeliaran.
“Pak, minta 1000 pak”
“Pak, minta rokok pak”

Orang-orang  bergangguan jiwa ini menyapa saya. Saya jawab dengan senyuman dan kata “tidak ada”. Maka mendaftarlah saya di pendaftaran. Lalu saya ikuti tes kesehatan rohani ini di ruang Poli Psikomerik Psikologi.



Saya diberi 566 pertanyaan setuju-tidak setuju dan diberi waktu menyelesaikan selama 1 jam 30 menit. Setelah selesai saya diarahkan lagi ke ruang Dokter Spesialis kejiwaan. Sesampainya disana, semakin banyak orang bergangguan jiwa menyapa saya. sedangkan didalam ruang dokter spesialis, ada ibu-ibu sedang curhat mempermasalahkan urusan pom bensin kepada dokter.

“Ah, dokter jiwa emang tempat curhat kali ya?”, bathin saya menyangka-nyangka.

Lalu datanglah 10 orang dokter muda yang sedang KOAS. Menariknya, mereka semua perempuan. Parasnya cantik-cantik pula. Mereka pun masuk ke ruang dokter tadi.

“Riyan Al Fajri, silahkan masuk” ucap perawat kepada saya.

Seketika saya masuk, saya dijelaskan akan diwawancarai oleh dokter. Tapi kondisinya berbeda, saya diwawancarai dihadapan 10 orang dokter muda yang cantik-cantik pula lagi. Oh My God!

Dokter mulai tanya-tanya tentang pekerjaan saya, bagaimana di STAN, bagaimana pribadi saya dan hal-hal lainnya. lalu dia bilang, “Kamu normal nya ini. tapi hasil tes kamu ini menyatakan kamu memiliki Gangguan Jiwa!”

Saya shock. “Saya gila?”, bathin saya.
“Loh kok bisa dok?”
“Iya, kalau dari tes ini. kamu ini memiliki gangguan jiwa berat. Kamu ada di skala 6, 8 dan 9. Saya tidak bisa berikan kamu surat sehat ini”.
“Oh, gimana mungkin saya bisa gila, dok?”
“Ini hasil tes kamu ya seperti itu. Tapi diwawancara tadi kamu normal. Bagaimana kamu menjalani tes ini? Main-main kamu menjawabnya? Kalau seperti ini, saya baca dari hasil ini, kamu sering berhalusinasi, maniak, psyco, suka bicara sendiri, membenci kehidupan sosial, pendendam, bisa bahaya kamu ini”.
“Wah, dok. Tak ada do dok. Bisa bunuh orang saya nanti itu dok”.
“Yakin kamu waras?”
“Yakin dok”, tegas saya. saya paham betul orang gila mana yang mengakui dia gila. Setelah diwawancarai oleh dokter dengan Label “Bergangguan Jiwa” dihadapan 10 orang dokter muda yang cantik, ini benar-benar mencoreng muka saya.

Bayangkan, 10 orang dokter muda melihat saya diwawancarai sebagai “orang gila” disaat yang sama pada awalnya, mereka sangat ramah pada saya. siapa tahukan mereka bisa menjadi calon saya. tercoreng rasanya muka saya.

Saya pun disuruh mengikuti tes kedua untuk mengkonfirmasi hasil tes pertama ini. lalu saya diwawancarai Dokter Spesialis yang lain. Sama dengan dokter tadi, beliau yakin saya sehat. Ia pula tidak percaya dengan hasil tes pertama saya. psikiater ini pun mewancarai saya lagi. Lama sekali. Semua pengalaman saya ditanya. Apakah itu pengalaman memeriksa, pengalaman cinta, pengalaman naik gunung, pengalaman acara sosial, dsb.

Karakter hasil tes pertama saya berbeda dengan kegiatan yang selalu saya lakukan. Hasil tes kedua, dokter menyatakan saya sehat secara rohani setelah memakan waktu yang panjang dalam wawancara itu.

Ternyata, saya itu sehat secara rohani. Tapi saya memiliki masalah pribadi. Dokter menceritakan bahwa masalah pribadi saya adalah narsis, terlalu percaya diri dan semangat yang terlalu menggebu-gebu. Maka dari itu, hasil tes pertama saya menunjukkan gangguan jiwa berat tipe maniak yang merasa memiliki sentralistik pribadi yang tinggi (Narsis tingkat tinggi). Dan hasil tes pertama itu memang keliru, jelasnya.

Narsis, terlalu percaya diri dan semangat berlebihan itu bukan gangguan jiwa, terangnya, tapi  masalah pribadi yang bisa dilatih dan dikendalikan.

Akhirnya, setelah diperiksa 2 orang dokter spesialis dan psikiater serta dua kali tes kejiwaan, kesimpulan besarnya adalah Riyan Al Fajri sehat secara Rohani (kejiwaan) tapi memiliki masalah pribadi yang bisa dilatih dan dikendalikan. Tapi tentu, surat sehat saya adalah surat keterangan sehat rohani.

selepas itu, saya mengurusi Surat Kesehatan Jasmani dan NAPZA ulang di Rumah sakit milik propinsi ini. bolak-balik saya ke ruangan TU RS dan tempat fotocopy dan tempat tes. Berkeringat sudah lah. Belum lagi harus “disapa mesra” oleh para penghuni rumah sakit jiwa.

“Bang minta rokok bang”
“Pak minta 1000 pak”
“Abang ganteng mau kemana?”

Belum lagi, ketika saya makan siang. Ada bapak gendut, bulet, botak dan hitam. Jelek banget pokoknya. Dia mau makan. Saya persilahkan, lalu disapa saya “Kenapa dik?” dengan gaya bencong. Nafsu makan saya langsung hilang. Ketika saya ke kasir, saya melewati tempat si bapak, dikedipkan matanya ke saya. Gila! Jijik!!!

Lama-lama saya di rumah sakit ini, saya benar-benar akan gila sepertinya. Setelah itu saya ke SMAN Plus mengurusi legalisir Ijazah SMA. Saya kira semua berjalan baik. Belum lagi saya bisa bertemu dengan guru-guru yang masih ingat sama saya. Alhamdulillah ya. Saya seperti “sedang mewakili” alumni kemarin itu. Senang rasanya, guru-guru menceritakan perkembangan sekolah. tawa canda semasa sekolah seperti nya belum berubah.

Pukul 20.00 saya pulang ke Duri. Prediksinya 23.30 saya sudah sampai ke rumah. Karena ketidaktertiban pengguna jalan raya, jalan terhenti. Hujan lebat, mobil ramai, kemacetan parah. Jalan yang hanya punya 2 jalur menjadi 4 jalur karena mobil turun ke bahu jalan karena ingin memotong jalan.

Jarak yang biasa ditempuh 3 jam 30 menit, akhirnya saya tempuh selama 14 jam. Saya sampai dirumah pada pukul 10 pagi. Kondisi tubuh bagaimana? Lemah. Tidak makan selama 24 jam. Bau badan? Parah. Tidak mandi selama 31 jam. Muka kucel, rambut sudah seperti orang sakit.

Bila dipikir-pikir, rumah sakit jiwa memang memberikan saya surat keterangan sehat “kejiwaan”, tapi perjalanan malam ini membuktikan, saya memang tidak gila. Kalau saya gila, maniak, psyco, sebagaimana hasil tes pertama, saya sudah membunuh orang-orang sepanjang jalan itu. Haha.

Akhirnya saya sampai pada sebuah kesimpulan, untuk bisa sehat secara Rohani, kita tidak butuh sekedar surat dari Rumah Sakit Jiwa. Tapi kita butuh “uji coba” kejiwaan. Jika kita lulus dari ujicoba itu, maka kita tidak gila. Caleg itu semua punya surat keterangan sehat Rohani kok, tapi ketika kalah pemilihan, gila juga kan?

Bukan masalah sehat rohani atau tidak, tapi pembawaan dan pengendalian diri. Karena kegilaan selalu muncul dari hal-hal yang tidak bisa dikendalikan.

Pemerkosaan muncul dari nafsu yang tidak terkendalikan. Narsis tingkat tinggi muncul dari narcissus yang dibiasakan. Phobia muncul dari ketakutan/trauma masa lalu yang berlebihan.

Logisnya kan, bernafsu itu tidak salah. Tanpa nafsu kita tidak akan bisa berhubungan seksual bukan? Tanpa narsis, kita akan jarang mengabadikan momen terbaik. Tanpa ketakutan, kita tidak akan berhati-hati/waspada bukan?

Semua tetap baik bila berada dalam koridor yang bisa dikendalikan. Maka dari itu, kendalikan dirimu! Gila itu sementara, waras pula sementara. Yang permanen hanyalah cinta. Cinta bagaimana kita menikmati hidup yang indah ini.

Komentar

Postingan Populer