Instagraming

Pilkada Melalui Suit



DPR RI telah mengesahkan UU Pilkada melalui DPRD beberapa waktu lalu, Presiden RI pun sudah mengeluarkan Perppu untuk membatalkan UU Pilkada tersebut. Namun, Perppu tersebut belum mendapat restu DPR RI. Kita dapat melihat bahwa DPR RI terpecah dan bersikap seperti anak-anak di anggota dewan sana bukan? Menyedihkan.

“Salam gigit jari”

Itu kiranya pengandaian yang cocok bagi rakyat Indonesia kini. Memilih yang bukannya menguatkan posisi kedaulatan mereka, namun memilih yang mengebiri kebebasan mereka.

“Bebas boleh tapi ada batasnya, nanti moral rusak bagaimana?”
Bila kita mengambil ucapan Iwan Fals untuk presiden:

Masalah Moral, Masalah Akhlak
Biar kami urus sendiri
Urus saja Moralmu, Urus saja Akhlakmu
Peraturan yang sehat yang Kami mau

Tegakkan hukum setegak-tegaknya
Adil dan tegas tak pandang bulu
Pasti kuangkat engkau
Menjadi manusia setengah dewa

Bisa pula rasanya kita sematkan kepada anggota dewan terhormat di DPR RI sana. Alih-alih takut moral semakin rusak, rakyat semakin di ikat. Alih-alih biaya yang semakin membludak, rakyat yang dibuat merangkak. Memang benar sekali adanya alasan mereka:
  1. Biaya pemilihan yang besar
  2. Moral rusak akibat money politics

Tapi patut pula kita lihat bahwa meski biaya besar sekali pun, bila itu keinginan rakyat, wakil rakyat harus “mewakili keinginan” rakyat bukan? Jika keinginan wakil rakyat berbeda dengan rakyatnya, lantas siapa yang diwakili wakil rakyat tersebut? Saya masih meyakini bahwa bukan pada tempatnya wakil rakyat memikirkan yang terbaik buat rakyat dengan asumsinya sendiri. Itu urusan pemerintah. Urusan wakil rakyat adalah memiliki kesamaan pandangan dengan rakyat.

Bahkan pemerintah sepandangan dengan rakyat namun beda pandangan dengan wakil rakyat. Sekali lagi, wakil rakyat itu sebenarnya mewakili siapa?
Jika pun ingin mengekang hak-hak kedaulatan rakyat, sudah sepatutnya itu untuk hal-hal yang tak berguna. Semacam pemilihan gubernur. Gubernur lewat DPRD wajarlah. Wewenang gubernur itu hanya secuil, beda dengan wali kota dan bupati. Mereka langsung bersentuhan dengan rakyat pada tingkat terendah. Bila rakyat ingin memilih dengan cara sendiri, bukannya lebih baik mengikuti itu semua?

“Oh takut Money politics
Ketakutan pada kerusakan moral itu bukan dengan cara membendungnya, tapi memperbaikinya. Misal Pemilukadanya dilakukan tes publik oleh para pakar yang teruji integritasnya. Kalau mau bikin sekretariat nasional penguji calon kepala daerah, boleh juga.

Kita ini agak lucu sedikit memang, alih-alih takut, kita malah membunuh. Alih-alih menghindar, kita malah menghilangkan kesempatan perbaikan. Ujung-ujungnya, kita menilai buruk pada rakyat. Rakyat belum cerdaslah, rakyat belum semangatlah, dsb.

Nah, karena perpecahan yang menyakitkan ini, sebagai Ketua Umum Partai Hura-Hura, saya rasa kita perlu melakukan beberapa perubahan dalam revisi UU Pilkada kita.

Saya menawarkan opsi “PILKADA melalui Suit”.
Opsi ini dilakukan para calon kepala daerah yang sudah resmi terdaftar pada hari pemilihan melakukan suit disiarkan oleh media televisi nasional. Orang terakhir yang menang suit lah yang akan menduduki jabatan Kepala daerah.

Kenapa PILKADA melalui suit?
Dalam demokrasi, kita mengenal suara rakyat suara Tuhan. Mengembalikan Pilkada pada rakyat, berarti mendekatkan pilihan kepala daerah pada kehendak suara tuhan. Berbeda dengan ke DPRD. Itu berarti kita mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada wakil suara Tuhan.

Suit bukanlah suara Tuhan, tapi kehendak tuhan. Kita tidak bisa mengetahui siapa yang menang bukan? Semua hanyalah ditentukan oleh Tuhan. Bisa saja yang menang A, B atau C. Jika kita benar-benar ingin mengimplementasikan Sila Pertama Pancasila yang merupakan dasar filosofis dalam tata hierarkis keseluruhan sila dalam pancasila, Kita harus mengembalikan Pilkada pada kehendak Tuhan.

Kita tidak perlu lagi suara Tuhan, jika kita sudah menerima kehendak Tuhan bukan? Suara Tuhan banyak sekali, biayanya pun besar. Wakil suara Tuhan memang murah, tapi tak memuaskan. Maka tidak ada salah secuilpun bila kita kembalikan semua ini kepada Tuhan.

Bukankah semua yang ada di dunia ini akan kembali pada Penciptanya, “Tuhan”? Lantas apa lagi yang sekiranya menghalangi kita untuk mengembalikan ini semua pada Tuhan?

Pasti ada tantangan, “Bisa jadi yang terpilih ga bagus”. Benar. Maka dari itu, untuk menjadi calon kepala daerah, seseorang harus lolos 10 tes publik. Tesnya adalah:

  1. Hafal Al Quran minimal 15 Juz/Hafal Kitab nya buat non-muslim
  2. Sholat Tahajud selama 2 bulan tanpa putus kecuali wanita haid/ke tempat ibadah tiap hari selama 2 bulan buat non muslim
  3. Berpendidikan tinggi
  4. Melakukan proyek sosial secara berkala dalam 5 tahun terakhir
  5. Memiliki nama baik, tidak pernah di penjara atau tersangkut kasus hukum lainnya
  6. Mampu memotivasi anak putus sekolah untuk bersekolah lagi
  7. Mendatangi minimal 100.000 kepala keluarga rakyat dalam 2 bulan untuk berkenalan dan kampanye
  8. Mengikuti 10 kali debat kandidat terkait program setelah terpilih
  9. Beristri tidak lebih dari 1 (bagi pria), bersuami tidak lebih dari 1 (bagi wanita)
  10. Pandai stand up comedy

Kita ingin Tuhan turut serta dalam pemilihan kita, maka kita mesti pilih calon yang sekiranya dikehendaki  Tuhan, bukan? Hafal Quran dan Shalat tahajud itu sudah menjadi garansi itu. Secara kemampuan, pendidikan tinggi, nama baik dan proyek sosial yang menggaransi.  Soal jiwa memimpin, memotivasi anak putus sekolah itu tak gampang loh, apalagi mendatangi 100ribu kepala keluarga. Hanya orang yang bersifat “mengayomi” yang mampu melakukannya.

Untuk menguji kepantasan ya 10 kali debat bisalah ya. Kita pula harus cari orang yang tidak banyak kebutuhan pribadinya. Jadi dia hidup sederhana. Kalau istri lebih satu kan, ada banyak dapur yang harus diberi makan. Bisa saja dia silap, kan?

Dan well, ini yang terpenting, stand up comedy.
Kemampuan ini harus dimiliki oleh calon kepala daerah. Biar lucu dan bahagia rakyatnya. Ini agar yang komedi ada pada tempatnya, tidak seperti sekarang yang serius dikomedikan. Nasib rakyat jadi bahan lelucon anggota dewan. Alih-alih membela rakyat untuk gemilang, eh malah jadi dagelan ruang sidang. Ya kan?

Untuk itu, mari dukung Partai Hura-Hura untuk mendukung opsi alternatif ini. Semoga Tuhan bersama kita. Karena kita mengembalikan semuanya pada Tuhan.

Saya Riyan Al Fajri, Mari bersama saya membangun Indonesia!

Komentar

Postingan Populer