Lebih 2 Juta Lansia Hidup Sebatang Kara, Kemana Negara?
Kita pernah digegerkan oleh kisah Nenek Murjinem yang ditelantarkan oleh seorang ibu yang membawa anak dan ditinggal di Mesjid Agung Kraton Yogyakarta 29 Oktober 2015 silam. Ia lalu ditolong oleh beberapa orang, kemudian bersama Ibu yang akhirnya ditemukan tersebut dibawa ke Pos Polisi sekitar, polisi menyarankan dibawa ke panti sosial. Nenek tersebut akhirnya diantar ke Panti Wredha Wedhabudi. Setelah ditelusuri, ternyata Ibu tersebut sudah enggan mengurusi Nenek Murjinem karena suaminya baru di PHK dan sudah tak punya uang.
Awal tahun ini, 16 Maret 2017,
Mbah Kadiyem meninggal dunia setelah hidup sebatang kara karena ditelantarkan
anaknya selama 10 tahun. Di Medan, baru saja di 24 Oktober 2017 lalu, Nenek Andong
Aisyah yang berusia 85 tahun ditelantarkan anaknya sendiri di warung kosong
milik warga setempat. Ia sudah menempati warung kosong tersebut selama 3
minggu. Sebentar lagi warung tersebut akan difungsikan karena sudah disewa. Selama
ini, Ia dibantu warga yang secara bahu-membahu memberi makan nenek tersebut
untuk bertahan hidup.
Itu sedikit dari banyak kisah-kisah
pilu orang-orang lanjut usia (lansia) di negeri yang dikenal ramah diseantero
dunia ini. Ramah imagenya tapi kurang
ramah kenyataannya?
Orang lanjut usia, di Indonesia,
dimulai sejak orang tersebut berusia 60 tahun. Ada 3 tingkatan penduduk lanjut
usia ini, yakni: lansia muda (usia 60-69 tahun), lansia madya (usia 70-79
tahun) dan lansia tua (usia diatas 80 tahun). Nah, bila kita pikir-pikir, untuk anak-anak
generasi milineal bisa jadi orang tuanya sudah mulai memasuki usia lansia muda.
Beberapa teman saya orang tuanya sudah mulai memasuki masa pensiun 60 tahun, bahkan
sudah ada yang pensiun dari 5 tahun lalu.
Bayangkan kisah Nenek Murjinem,
Mba Kadiyem atau Nenek Aisyah terjadi disekitar kita, mungkinkah orang tua kita
sendiri kita perlakukan demikian? Jikapun orang tua kita rawat sendiri, bila
ada tetangga kita yang lansia juga, apakah kita meyakini ia tidak ditelantarkan
oleh keluarganya? Kalau ada yang ditelantarkan, apakah kita berani campur tangan
dalam permasalahan mereka? Jumlah lansia tidak sedikit loh.
Kenyataan yang ada sekarang, pada tahun 2015, ada sekitar 21,69 juta lansia di
Indonesia. BPS memproyeksikan pada tahun 2020 meningkat ke 27,09 juta jiwa, dan
pada 2035 bisa mencapai 48,20 juta jiwa. Semakin banyak lansia, semakin rentan
masyarakat kita. Kita punya orang-orang yang kaya pengalaman, namun hari demi
hari kemampuan fisik mereka menurun. Indepensi lansia semakin hari akan semakin
berkurang. Lansia akan menjadi beban bagi generasi yang masih produktif. Semakin
banyak lansia tidak produktif, semakin berat beban yang akan ditanggung.
Hari ini, komposisi
penduduk Indonesia dari segi umur, 8,69% nya adalah lansia. dari angka
tersebut, angka ketergantungan lansia 13,65%, artinya setiap 100 penduduk usia
produktif harus menanggung sekitar 14 orang penduduk lansia. Fungsi negara
harus hadir disini. Kita tentu tidak ingin mendengar lagi kisah nenek atau
kakek yang ditelantarkan keluarganya di mesjid, jalan, warung kosong, dsb.
Kita perlu tahu bahwa tidak semua
lansia diinginkan oleh keluarganya. Kita juga harus mulai meyakini bahwa tidak
semua lansia ditemani oleh orang yang bisa membantunya sehari-hari. Ada lansia
yang ditinggal anak, ada yang memilih hidup sendiri, serta ada yang hidup bersama
pasangannya. Memang untuk urusan pasangan, 59,82 % dari 21,69 juta lansia masih
berada dalam status perkawinan aktif. Belum ditinggal mati pasangan. Dari 21,69
juta tadi, 36,82% cerai mati sedangkan 2,35% lainnya cerai dengan mantan
pasangan masih hidup, dan 1% diantaranya belum kawin. Dari 36,82% yang cerai
mati, lansia perempuan mendominasi lansia lelaki. Angka harapan hidup lansia
perempuan berada diatas lansia lelaki, yakni 74,36 tahun untuk perempuan dan
70,26 tahun untuk lelaki. Lansia yang ditinggal mati pasangannya sebagian besar
tidak menikah lagi.
Penduduk lansia
tersebut ada yang tinggal bersama keluarganya, jumlah mereka 33,92% tinggal
bersama 3 generasi (anak, cucu, cicit), 28,09% tinggal bersama keluarga inti, 20,04% tinggal hanya
bersama pasangannya, dan 10,41% tinggal sendiri. Ini artinya 1 dari 10 orang
lansia di negara kita tinggal sendiri. Jumlah kasarnya lebih dari 2,1 juta jiwa
lansia. lansia yang tinggal sendiri memang menjadikan lansia tersebut lebih
mandiri dan produktif namun risiko depresi, kesepian, kekurangan ekonomi,
kesehatan tentu akan lebih besar.
ini, kita perlu sadar bahwa 1 dari 4 rumah tangga keluarga di negara kita
merupakan rumah tangga penduduk lansia. jumlahnya sekitar 17,90 juta rumah
tangga. Dalam rumah tangga lansia
ini, lansia bisa berperan sebagai Kepala Rumah Tangga (KRT), bisa sebagai
pasangan, bisa sebagai orang tua KRT, atau keluarga namun satu rumah. Nah, dari
17,90 juta rumah tangga lansia, 62,77% nya menempatkan lansia sebagai Kepala
Rumah Tangga.
Kepala Rumah Tangga tugasnya
bertanggung jawab secara ekonomi, mengatur, memimpin dan mengarahkan keluarga. Bisa
dibayangkan berapa banyak keluarga yang bergantung pada lansia secara ekonomi sedangkan
kemampuan lansia akan semakin menurun hari demi hari. belum lagi kenyataan
bahwa kini berada dalam sakit manahun dengan proses penyembuhan yang lama sebanyak
13,02% dari total lansia. Disisi lain, Puji Tuhan, 73,69% lansia atau 3 dari 4
lansia dilaporkan hanya mengalami sakit rentang 1-7 hari. berturut-turut 8,80% untuk
yang sakit antara 8-14 hari dan 4,5% untuk sakit dengan masa penyembuhan 5-21
hari.
Tantangan Kita
Bertambahnya lansia, perubahan
kondisi fisik lansia, dan kondisi sosialnya mendorong kita untuk mempersiapkan
banyak hal. Kita perlu persiapan yang lebih matang untuk menyambut pertumbuhan
lansia ini dimasa depan. Kita tidak bisa lagi menyisihkan keberadaan lansia
begitu saja. Kita menjadi butuh untuk memperbaiki arah pembangunan kita untuk
ramah lansia.
Insfrastruktur misalnya, kita
tidak bisa lagi membangun halte yang jauh dari pemukiman. Bisa jadi ada lansia
yang perlu untuk menaiki kendaraan umum. Kalaupun halte jauh dari pemukiman
padat, kita perlu siapkan moda pengangkut yang terintegrasi dengan tetap
mengutamakan kenyamanan bagi lansia. Halte juga harus dilengkapi anak tangga
yang bersahabat dengan lansia. jika halte berada di jembatan layang, kita perlu
pertimbangkan tangga berjalan atau lift khusus lansia.
Selaras dengan itu jembatan
penyeberangan misalnya, kita perlu memikirkan jembatan penyeberangan yang ramah
lansia. Kondisi fisik lansia akan semakin menurun, disaat yang sama sekarang
ada 2,1 juta jiwa lansia yang tinggal sendiri, dan hampir setengah jumlah
lansia tinggal di perkotaan. Ada kemungkinan yang besar lansia akan menggunakan
fasilitas jembatan penyeberangan ini. Bayangkan bagaimana hendak lansia bisa
menyeberang jika jembatannya tinggi tangga tinggi semua tinggi sedangkan
kondisi fisik lansia tidak sebaik yang penduduk usia produktif?
Selain itu, Pelayanan kesehatan
perlu juga kita perhatikan agar lebih baik lagi. Kita patut apresiasi usaha
pemerintah dalam menaikkan angkat harapan hidup. Dengan meningkatnya angka
harapan hidup negara kita, artinya semakin baik pelayanan kesehatan yang
diberikan negara. Sejauh ini, angka harapan hidup kita masih berada dikisaran
71-73 tahun.
Peta Angka Harapan Hidup berdasarkan Laporan CIA 2011 |
Kondisi kita sudah membaik dengan
setara dengan Rusia, Afghanistan, Turki, Mesir, dsb. Dengan perbaikan pelayanan
kesehatan, kita harapkan angka harapan hidup kita juga bertambah. Harapan ke
depannya kita bisa memiliki angka harapan
hidup setara dengan Eropa, Australia maupun Jepang.
Lansia menua kondisi fisik juga
akan semakin turun. Lansia yang memiliki keluhan kesehatan dalam sebulan
terakhir mencapai 49,77% dari total lansia. Kita sebetulnya patut apresiasi
usaha pemerintah yang berhasil menurunkan keluhan kesehatan lansia dari 2014
sekitar 52,67% turun ke 51,16% pada 2015 dan menuju angka 49,77% pada 2016. Hasil
ini adalah tren positif bagi pemerintah yang menandakan bahwa lansia kita
semakin membaik kesehatan, disatu sisi. Disisi lain, masih ada setengah dari
total lansia yang butuh pelayanan kesehatan yang baik.
49,77% itu berarti ada
sekurang-kurangnya 10 juta lansia yang memiliki keluhan kesehatan dalam sebulan
terakhir dan butuh pelayanan kesehatan. Selain keluhan kesehatan, ada juga
lansia yang sakit-sakitan. Angka kesakitan lansia kita di 2016 adalah 27,46%. Itu
artinya setiap 100 lansia ada 27 orang yang mengalami sakit minimal 1 hari
dalam sebulan terakhir. Sedangkan penduduk lansia yang mengalami sakit parah
mencapai 35,91%. Dari 27,46% tadi, 35,91% nya bisa dikategorikan lansia sakit
parah. Dari 3 lansia yang sakit ada 1 yang sakit parah. Hitungan kasarnya, jika
ada 21 juta lansia, setidka-tidaknya ada sekitar 5,2 juta lansia yang mengaku
sakit. Dari 5,2 juta tersebut, kemungkinan ada lebih dari 1,5 juta lansia yang
menderita sakit parah.
Kita berharap saja semoga 1,5
juta lansia yang sakit parah ini tidak termasuk 2,1 juta lansia yang tinggal
sendiri. Sudah tinggal sendiri, sakit parah pula. Lansia hidup sendiri ini
tentu akan sangat membutuhkan dukungan sosial untuk memperoleh pelayanan
kesehatan untuk bertahan hidup.
Usaha pemerintah patut kita
dukung. Hingga tahun 2016, pemerintah sudah menyediakan layanan khusus lansia (Geriatri)
di puskesmas-puskesmas dengan brand
Puskesmas Santun. Tercatat sekarang terdapat 824 Puskesmas Santun. Selain itu,
ada 10 Rumah sakit yang tersebar di 8 propinsi yang melayani geriatri ini. Rumah
sakit tersebut adalah RSUPN Cipto Mangunkusumo – Jakarta, RSUP Karyadi –
Semarang, RSUP Sardjito – Yogyakarta, RSUP Sanglah – Denpasar, RSUP Hasan
Sadikin – Bandung, RSUP Wahidin – Makassar, RSP Soetomo – Surabaya, RSUD
Moewardi – Solo, RSUP Adam Malik – Medan, dan RSU Syaiful Anwar – Malang.
Jumlah tersebut masih kurang,
perlu penambahan, perlu perbaikan. Tidak mungkin 824 puskesmas bisa melayani
5,2 juta lansia yang mengeluh sakit. Apalagi merawat 1,5 juta lansia yang sakit
parah. Kita patut mendorong pemerintah untuk menambah jumlah layanan geriatri
meskipun puluhan ribu posyandu lanjut usia sudah tersebar di 23 propinsi untuk
melakukan gerakan preventif. Jawa Timur memiliki posyandu lanjut usia terbesar
dengan jumlah 54.522 unit, diikuti Jawa tengah 7.215 posyandu, Jawa Barat 6.585
posyandu, Sulawesi Selatan 3.904 posyandu, DIY 3.280 posyandu, dst hingga Riau
yang hanya memiliki 9 posyandu.
Selain sisi pelayanan kesehatan,
lansia yang tinggal sendiri bisa juga difasilitasi pada panti-panti sosial
milik pemerintah atau swasta. Panti-panti tersebut akan merawat lansia yang
sendiri dengan layak. Bertemu dengan sesama lansia dan ada program pemberdayaan
lansia pada panti-panti tentu akan menambah kualitas hidup dari lansia. Hanya
saja, kita perlu sadar dan menyadari bahwa lansia adalah tanggung jawab kita. Penduduk
lansia akan semakin baik kualitas hidupnya jika mendapat dukungan keluarga
langsung. Anak-anak, cucu-cucu yang selalu hadir di usia tua mereka pasti akan
menjadi penyemangat para lansia dalam menjalani hidup sehari. Idealnya, dari
pada menyerahkan orang tua lansia pada panti sosial, sebagai anak, kenapa tidak
merawatnya sendiri? Sudah dibesarkan dari kecil, masa dihari tuanya kita “asingkan”
ke panti sosial khusus lansia?
Terlepas dari siapa yang berkewajiban
merawat penduduk lansia, kita, sebagai rakyat, juga perlu mendorong pemerintah
untuk menyiapkan fasiltias yang ramah pada lansia. kenapa? Mendorong pemerintah
menyiapkan fasilitas yang baik berarti menghargai dan menjamin kelayakan hidup
lansia sekaligus menyiapkan masa depan “kita” sebagai calon penduduk lansia.
Bukankah sebagai calon lansia kita perlu mempersiapkan masa depan kita? Kalau perlu
kita siapkan panti sosial khusus lansia sesama teman sepergaulan kita,
barangkali suatu masa nanti setelah menjadi lansia kita ingin tetap bersama,
kan? Terkadang teman saat masa-masa lansia itu akan menjadi lebih berharga dari
pada keluarga sendiri. Oleh keluarga, lansia kadang diasingkan karena tua dan
tidak nyambung dengan keluarga. Teman
seusialah yang pasti lebih memahami kondisi lansia.
Berikutnya adalah masalah lansia yang masih bekerja. Bila lansia masih bekerja (terutama untuk lansia madya dan lansia tua) erat hubungannya dengan kebutuhan ekonomi yang belum layak terpenuhi dari hasil pekerjaan dimasa lalu. Berdasarkan sensu BPS, ada sekitar 47,37% lansia yang masih bekerja.
Terdapat fluktuasi dari lansia
yang masih bekerja ini. Pada dasarnya, lansia muda masih dianggap sebagai
lansia potensial. Biasanya, lansia muda masih menggeluti pekerjaan semasa usia
produktifnya (15-59 tahun). Jenis pekerjaan juga sangat variatif, seperti
pekerjaan profesional, maupun pekerjaan kasar. Hanya saja, Perbandingan antara
pekerja kasar (Kerah Biru) dan pekerja profesional (kerah putih) dari kelompok
lansia ini sedikit bisa ditebak, tidak berimbang. Perbandingannya 3,63% :
96,37% dari 47,37% lansia yang bekerja.
Untuk itu, menanggapi lansia yang
masih bekerja sebagai pekerja kasar ini, kita bisa membantu lansia tersebut
dengan cara termudah yang kita bisa, seperti memberi support, konsultasi, ataupun menfasilitasi lansia tersebut untuk
menempati panti sosial khusus lansia milik pemerintah. Banyak lansia yang masih
bekerja dibidang pertanian, turun ke sawah dan berkebun. Kondisi fisik yang
menurun dan beban kerja yang tinggi berdampak pada risiko kesehatan lansia
tersebut. Kita berharap dengan sedikit memberi perhatian pada lansia pekerja
kasar ini kita bisa menekan lansia yang sakit parah ditahun-tahun berikutnya. Usaha
itu baik dengan mendorong pemerintah, maupun melalui swadaya masyarakat. Siapa tahu
dilingkungan sekitar ada program #siagalansia kan? Itu tentu akan sangat
bermanfaat.
Mari bersama kita siapkan negara ini siap untuk melayani lansia, menjadi negara layak lansia. karena penduduk lansia adalah aset kita. Kita butuh pengalaman dan kebijaksanaan mereka. Kita butuh mereka yang masih memegang erat budaya. Kita perlu menjaga mereka karena mereka orang tua kita.Pada akhirnya, selamat bekerja, selamat mendorong pemerintah menyiapkan layanan yang lebih layak bagi lansia. Karena bila lansia kini menikmatinya, tentu kita akan menikmatinya juga dimasa depan
Komentar
Posting Komentar