Instagraming

Memutuskan Menjadi Suami Juga Butuh Pertimbangan Matang Ya.


Menjadi Suami Mu adalah Suatu Cita dan Harapan untuk Menjawab Kerinduan Pada Allah SWT


Menjadi seorang suami adalah hal yang paling saya perhitungkan sebelum menikah dahulu. Saya perlu berkali-kali sholat istikharah, perlu berkali-kali menyendiri untuk memutuskan keinginan menikahi seorang gadis. Ya gadis. Kebetulan pada masa-masa itu saya memiliki pilihan pada wanita janda. 

Ada beberapa lapis bahan pikiran yang saya perlu lalui sebelum saya bulat keputusannya. Banyak orang mendorong pemuda-pemudi menikah untuk menyempurnakan setengah agama. Saya pikir lemah sekali iman saya jika hanya untuk memenuhi setengah agama saya jadikan alasan menjadi suami. Itu dua hal yang berbeda dengan pertimbangan yang berbeda.

Memutuskan untuk menjadi seorang suami berarti berpikir tentang mengambil segala kewajiban dan hak pada diri seorang wanita, sedangkan berpikir tentang memenuhi setengah agama hanyalah ganjaran positif dari apa-apa yang diputuskan.

Lapisan pertama pertimbangan saya adalah masalah syahwat.
Seks bebas, itu sudah biasa. Saya sudah kenal lama dengan hal tersebut. Beberapa teman saya bahkan sudah ada yang bunting ketika SMP. Beberapa hamil diluar nikah ketika SMA. Beberapa lagi semasa kuliah. Tapi tidak sedikit yang saya kenal melakukan hubungan seks yang aman selama masa-masa ini. Wajarlah ya, saya toh hidup dikota besar, Jakarta. Kalau menurut data Kemenkes pada tahun 2012 kala saya kuliah itu, 35,9% remaja punya teman yang sudah pernah melakukan hubungan seks, dimana 6,9% mengaku sebagai pelakunya. Remaja loh itu. Jika remaja kala itu jumlahnya 62 juta orang, setidak-tidaknya pada 2012, 21 juta remaja kita sudah mengenal teman seusia yang melakukan hubungan seksual diluar nikah, dimana 4,2 juta diantaranya pelaku seks pranikah. Itu 2012. 

Saya termasuk orang yang beruntung. Selain berteman dikalangan yang terjaga akhlaknya, saya juga memiliki teman-teman yang bebas dalam pergaulan. Bebas yang saya maksud “benar-benar bebas” seperti seks bebas, narkoba, dan minuman beralkohol. Karena itu pula saya jadi terbuka pada pilihan-pilihan. Misal, beberapa teman saya berpakaian minim. Awalnya bagi lelaki yang jarang lihat wanita berpakaian seksi di Riau, tentu itu memacu syahwat saya. Saya kemudian terbiasa melihat belahan dada, ada yang besar ada yang kecil, saya terbiasa melihat paha-paha lawan jenis, bahkan beberapa teman saya yang menggunakan bikini. Syahwat yang awalnya membuncah, karena seringnya malah tidak berpengaruh sama sekali seiring bertambah usia saya. 

Saya masih ingat 2014 lalu ketika survey hari valentine, salah satu media kala itu JPNN menuliskan 26,4% dari 413 remaja responden mengaku melakukan hubungan seks dalam merayakan hari valentin. Jakarta sendiri di 2014, 51 % dari remaja yang disurvei mengaku telah melakukan hubungan seks pranikah. Saya tidak termasuk dalam hitung-hitungan tersebut.

Saya bisa bilang semenjak di Jakarta, saya tidak terlalu bernafsu ketika melihat wanita berpakaian minim. Apalagi kalau saya pulang ke Riau, lihat anak-anak SMA pakai baju gemes, duh, ga banget. Ya karena saya biasa melihat demikian. Kalau saya tak pernah lihat begitu, lihat betis saja bisa memancing saya melakukan hubungan seks pranikah loh. Ini terjadi pada seorang teman dari istri saya. Dua orang yang dikenal baik bertunangan, pergi cek rumah yang mereka beli bersama. Lalu si wanita tersandung, rok terangkat memperlihatkan betis, lalu terjadilah yang diinginkan oleh dua pasangan yang telah bertunangan tersebut. Secara tiba-tiba, si pria meninggal dunia karena kecelakaan. Si wanita hamil. Akhirnya terbongkarlah “asmara pranikah” dua anak manusia itu. Alasan mereka sedikit lucu bagi saya, si pria melihat betis si wanita, si wanita terpukau mata si pria. Aneh kan? Itu terjadi loh. Akhirnya si wanita diusir dari rumah, keluarganya malu, dsb, dsb nasib buruk menimpanya.

Seks hanya karena melihat betis. Saya yang melihat banyak hal, eh masih perjaka aja tuh waktu itu.
Januari 2016 lalu, ketika saya mulai mempertimbangkan akan menikah. Saat itu syahwat saya belum besar-besar sekali. Saya biasa melihat wanita-wanita yang berpakaian minim karena mereka berada dalam lingkup pergaulan saya. Hanya saja, bila saya tunggu menikah sampai syahwat saya tinggi, duh, bisa-bisa saya jadi pelaku seks pranikah. Enaknya diawal, mikir tanggung jawab setelahnya.
Pada bulan-bulan itu saya memutuskan, mumpung saya belum bernafsu-nafsu banget, belum sange-sange banget, otak saya masih normal, saya masih bagus dalam mempertimbangkan orang yang menjadi calon istri, tentu, ini adalah momen terbaik untuk saya mulai memilih calon istri saya. Siapa tahu dimasa-masa berikutnya, saya masuk dalam syndrome want-to-marry-soon atau syndrome want-sex-so-much yang kini banyak melanda teman-teman saya.

“Dari pada terdesak, lebih baik memulai lebih cepat”, saya pikir demikian

Lapisan kedua dari pertimbangan saya adalah wanita yang akan saya nikahi.
Setiap orang punya kriteria pasangan ideal bagi dirinya. Kalau kita udah sange, kita tidak akan baik pertimbangannya. Terlebih lagi kalau baper sebelum kenal. Lama saya berpikir tentang kriteria idaman ini. Akhirnya saya mengamini keinginan masa lalu saya yakni menikahi teman yang terdekat dengan saya.

Alasan memilih menikahi teman adalah faktor perkenalan. Saya tidak perlu berkenalan lagi bilamana hendak menikahinya. Akan terasa lucu, saya malam pertama dengan orang yang asing dengan saya. Jangankan hendak membuka bajunya nanti, untuk menciumnya saja pun saya tidak terbayang cara saya melakukannya. Kalau teman kan bisa dibawa lucu-lucu terlebih dahulu. Baru mesra-mesra. Belum lagi esok harinya, kita bangun tidur yang disebelah kita orang asing. Bagaimana bisa nyaman jika orang yang tidur disebelah kita saja kita tidak kenal?

Dari pertemanan yang ada, saya gariskan beberapa hal yang harus dimiliki seorang istri saya. Kala itu, tersebarlah gossip bahwa saya akan segera menikah dan sedang mencari calon istri. Duh, malah di bully. Kemudian apakah gadis atau janda. 

Sebenarnya, saya memiliki kecenderungan ketika itu untuk memilih menikahi janda. Alasannya sederhana, saya mengejar pahala yang dijanjikan Rasulullah dengan menikahi janda seolah-olah kita berpuasa disiang hari dan sholat disepanjang malam hari melalui Hadits Bukhori No. 5353. Jika saya bisa mempertahankan pernikahan dengan janda selama 100 tahun saja, bayangkan berapa banyak pahala yang saya terima dalam hidup saya.

Belum lagi jika janda tersebut adalah janda karena ditinggal meninggal. Anak-anaknya adalah anak yatim. Berapa banyak pahala yang berpotensi saya raih dengan membesarkan anak yatim?

Ada beberapa janda yang telah saya kenal pada masa-masa itu. Ada yang janda cerai, ada juga yang janda karena meninggal. Satunya menggugah syahwat, satu lagi seolah-olah menambah iman. Kedekatan saya dengan mereka ya seperti saya dekat dengan teman lainnya. Belum ada sesuatu yang spesial. Saat keduanya semakin dekat dengan saya, saya merasa masih saja belum menemukan ritme yang pas dengan dua ini. Ideal bagi saya adalah wanita tersebut teman terdekat saya. Jika dia gagal menjadi teman terdekat saya, bagaimana hendak saya menikahinya?

Bagi saya, sebagai seorang pria, pertimbangan agama wanita bukan hal yang penting. Agama adalah urusan pria nya. Sebelum menikah, biarkan wanita memilih jalannya. Setelah menikah, adalah kewajiban pria mengarahkan si wanita. Jadi tentu, saya tidak menimbang wanita yang akan nikahi harus bagus agamanya, bagus ini-itu, dsb. Tidak! Ideal bagi saya adalah dia dekat dengan saya.

Saya ingat betul pesan Rasulullah, bahwa wanita dipilih karena 4 hal yaitu: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Menikahi wanita kaya akan menaikkan standar hidup pria. Menikahi wanita yang baik keturunannya akan menaikkan derajat sosial pria. Menikahi wanita cantik akan menambah semangat hidupnya. Namun, menikahi wanita karena agamanya akan menghangatkan jiwa si pria. 

Saya percaya orang akan didekatkan dengan orang yang diinginkannya. Maka dari itu, saya memilih wanita dari wanita-wanita yang ada di sekitar saya. Jika saya menginginkan wanita yang baik agamanya, wanita yang baik agamanya itu akan mendekat disekitar saya. Puji tuhan, selain berteman dengan teman yang bebas pergaulannya, saya pula berteman dengan baik akhlaknya. Jadi saya tidak susah-susah sekali memutuskannya. Walau sebenarnya, siapapun yang saya dapat apakah yang baik akhlaknya atau pun tidak, saya yang akan memperbaikinya. Toh, itu masa lalu dia yang buruk, masa depannya dengan saya harus baik karena itu menjadi tanggung jawab saya.

“Ideal menurut saya adalah orang terdekat. Jika yang terdekat itu baik agamanya, cantik orangnya, bagus keturunannya, ada hartanya, ya itu bonus bagi saya”- kala itu saya berpikir.

Lapisan ketiga dari pertimbangan saya adalah kedewasaan saya
Menikah bagi saya bukan suatu hal main-main. Walau saya termasuk yang banyak teman lawan jenisnya, tapi bila hendak berkomitmen, itu suatu hal yang serius. Kita tidak bisa berkomitmen tapi tidak konsisten. Melanggar komitmen sama artinya mempercundangi diri sendiri karena perbuatan sendiri. 

Keidealan saya berupa teman terdekat itu sebenarnya ada latar belakangnya. Memilih teman terdekat berarti memilih orang yang paling memahami siapa saya. Saya tidak perlu menyesuaikan banyak hal pada beliau karena kita tentu sudah saling kenal. Kita hanya perlu menambah sisi saling mengerti diantara kita nantinya.

Untuk itu, saya harus pertimbangkan diri saya sudah dewasa atau belum. Tidak mungkin, saya menikah tapi setiap hari hanya diisi oleh marah-marah saja. Menikah tapi bikin stress. Bila menikah hanya menimbulkan stress berkelanjutan, untuk apa menikah?

Kriteria dewasa yang diterima umum itu sebenarnya sederhana, kita bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya. Kita boleh marah, tapi marah sesuai takarannya. Tidak berkelanjutan, merusak hubungan serta kontra produktif atas hubungan yang dibangun. Kita boleh tetap bermain dengan teman lawan jenis, tapi sesuai peruntukannya. Ini akan sangat merugikan bila setelah menikah kita serta merta mengubah pergaulan kita. Puji Tuhan, saya menikahi wanita yang amat dewasa. Beliau membebaskan saya melakukan apapun selama masih dalam pengetahuan beliau. Syarat dari beliau hanya satu, yakni support dia melakukan apapun yang ia ingin wujudkan dalam hidupnya. 

Kita juga boleh berargumen tapi tentu sesuai dengan tujuannya, berargumen tiap hari kan akan membosankan juga. Sesekali mengalah tidak pula salah toh? Intinya ya bisa menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Masa pernikahan itu ya masa bersenang-senang, masa membangun peradaban, masa mewariskan mimpi dan kenangan. Maka mimpi dan kenangan seperti apakah yang mungkin bisa diwariskan bila pernikahan hanya diisi pertikaian saja?

Kita harus paham bahwa setiap orang perlu dan butuh untuk dimengerti. Kita tidak bisa memaksakan ideal kita ke semua orang, apalagi istri kita. Beliau adalah manusia merdeka yang hidup mandiri sebelum bersama kita. Ini akan sangat melukainya bila ia harus mengikuti gaya kita sedangkan ia punya cita-cita nya sendiri. 

Kita harus menempatkan bahwa pernikahan bukan tujuan dari kehidupan, bukan pula alat kita mencapai tujuan kita. Kita harus yakini bahwa pernikahan adalah alat kita berdua, suami dan istri, untuk mewujudkan mimpi masa muda kita. Bisa jadi dimasa muda lalu, kita bercita-cita terbang ke bulan, masa karena menikah kita dilarang?

Saya sempat begitu sakit hati saya ketika menikah lalu teman baik saya kebetulan baru seminggu bertunangan, ia ingin dan bermimpi bisa hadir dihari spesial saya, malang bagi nya, ia dilarang oleh calon suaminya. Saya rasakan betapa sedihnya ia tak bisa hadir dihari penting sahabatnya, jika saya melakukan hal yang sama, apakah saya tidak akan menyakiti hati istri saya?

Pernikahan bukan tentang siapa yang bisa mengalah. Tidak. Dewasa bukan demikian adanya. Dewasa bukan tentang siapa yang berani mengalah. Dewasa adalah tentang bagaimana kita memahami kondisi pasangan kita sehingga  kita bisa tempatkan segala sesuatu pada tempatnya. 

Jika saya tak mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya, bagaimana saya hendak menempatkan istri saya pada tempat yang terbaik menurut impian dan kemampuan saya?”- begitu saya pikir.

Lapisan terakhir dari pertimbangan saya adalah kemampuan materil saya
Saya bukan berasal dari keluarga kaya raya. Ayah dan Ibu saya adalah guru SMA. Ayah diberi amanah menjadi Kepala SMA. Bila hendak mengharap warisan orang tua, kira-kira berapa harta yang bisa diwariskan dua orang tua PNS Guru SMA kepada 3 orang anaknya selain ilmu agama dan bimbingan mereka?

Menjadi siap secara materil dan immaterial adalah kewajiban bagi setiap pria. Kesiapan materil setiap pria tidak sama. Ada yang harus punya rumah dulu baru bisa dianggap siap materil, ada yang cukup punya gaji 2 juta saja sudah menganggap dirinya siap secara materil. Ada yang harus pernah mencapai satu hal dulu, baru siap materil. Ada pula yang cukup punya kerja saja dia sudah menganggap dirinya sudah siap materil. 

Pada kasus saya, saya menargetkan beberapa capaian agar saya bisa meyakini diri saya sudah siap materil. Beberapa capaian diantaranya seperti pernah mengelilingi setidak-tidaknya 60% wilayah Indonesia, pernah menginjakkan kaki di tanah Anatolia, pernah menginjakkan kaki di daratan eropa, dan memiliki rumah sendiri. Dan Ya! Saya mewujudkan capaian saya. Pada akhirnya, saya menanggap diri saya siap secara materil.

Pentingnya kesiapan materil tersebut semacam pengujian diri sendiri terhadap kemampuan bertahan hidup. Kita, sebagai pria, tentu harus punya kemampuan bertahan hidup. Bagaimana hendak menyenangkan istri bila bertahan hidup saja tak bisa? Bagaimana hendak memberi makan anak istri bila makan sendiri saja mengutang sini dan sana? Kira-kira seperti itu. Dengan mempertimbangkan itu, kita tidak hanya akan menjadikan pernikahan sebagai pelampiasan hasrat seks saja, melainkan suatu bentuk tanggung jawab paripurna. Bila bukan kaya hitungan kita, setidak-tidaknya, makanan sehari-hari kita bisa menanggungnya.

Istri itu sebenarnya dalam agama cukup diam saja menikmati layanan dari suami. Yang menyiapkan makan ya suami, mencuci baju ya suami, membersihkan rumah ya suami. Istri itu tingkatnya berada di tempat tertinggi, yakni menikmati harta dan pelayanan suami. Hanya saja, tidak semua suami kaya toh, bilamana istri melakukan hal-hal kebaikan tersebut, ia tentu mendapat pahala. 

Mencuci, memasak, itu bukan kewajiban istri, namun suami. Bila sebagai pria tidak bisa mandiri secara materil, tidak mampu melayani istri, terus bagaimana kita hendak siap dipanggil suami. Saya kadang merasa iri dengan suami-suami berbangsa Irlandia. Mereka memasak makanan untuk keluarganya sebelum berangkat bekerja. Orang irish saja bisa, masa kita engga?

“Memang siap secara materil ini lebih pada penilaian subjektif, Bila secara subjektif saja kita merasa tidak mampu, bagaimana hendak meminta pendapat orang lain dan melihat secara objektif terhadap kemandirian kita atas materi?” – Pikir saya ketika itu.
Pernikahan 16 September 2017
Setelah melalui pertimbangan itu semua, saya baru putuskan dengan siapa saya akan menikah dan kapan saya akan melakukannya. Ini even sekali seumur hidup, kenapa tidak saya persiapkan dengan sebaik mungkin? Demikianlah itu semua menjadi pertimbangan yang paripurna.

Karena Menikah kita tujukan untuk mengharap Ridho Allah SWT, maka ia haruslah melalui pertimbangan paripurna untuk menandakan kita benar-benar serius untuk meraih Ridho Nya

Komentar

Postingan Populer