Memutuskan Menjadi Suami Juga Butuh Pertimbangan Matang Ya.
Menjadi Suami Mu adalah Suatu Cita dan Harapan untuk Menjawab Kerinduan Pada Allah SWT |
Menjadi seorang suami adalah hal
yang paling saya perhitungkan sebelum menikah dahulu. Saya perlu berkali-kali
sholat istikharah, perlu berkali-kali menyendiri untuk memutuskan keinginan
menikahi seorang gadis. Ya gadis. Kebetulan pada masa-masa itu saya memiliki
pilihan pada wanita janda.
Ada beberapa lapis bahan pikiran
yang saya perlu lalui sebelum saya bulat keputusannya. Banyak orang mendorong
pemuda-pemudi menikah untuk menyempurnakan setengah agama. Saya pikir lemah
sekali iman saya jika hanya untuk memenuhi setengah agama saya jadikan alasan
menjadi suami. Itu dua hal yang berbeda dengan pertimbangan yang berbeda.
Memutuskan untuk menjadi seorang
suami berarti berpikir tentang mengambil segala kewajiban dan hak pada diri
seorang wanita, sedangkan berpikir tentang memenuhi setengah agama hanyalah
ganjaran positif dari apa-apa yang diputuskan.
Lapisan pertama pertimbangan
saya adalah masalah syahwat.
Seks bebas, itu sudah biasa. Saya
sudah kenal lama dengan hal tersebut. Beberapa teman saya bahkan sudah ada yang
bunting ketika SMP. Beberapa hamil
diluar nikah ketika SMA. Beberapa lagi semasa kuliah. Tapi tidak sedikit yang
saya kenal melakukan hubungan seks yang aman selama masa-masa ini. Wajarlah ya,
saya toh hidup dikota besar, Jakarta. Kalau menurut data Kemenkes pada tahun
2012 kala saya kuliah itu, 35,9% remaja punya teman yang sudah pernah melakukan
hubungan seks, dimana 6,9% mengaku sebagai pelakunya. Remaja loh itu. Jika
remaja kala itu jumlahnya 62 juta orang, setidak-tidaknya pada 2012, 21 juta
remaja kita sudah mengenal teman seusia yang melakukan hubungan seksual diluar
nikah, dimana 4,2 juta diantaranya pelaku seks pranikah. Itu 2012.
Saya termasuk orang yang
beruntung. Selain berteman dikalangan yang terjaga akhlaknya, saya juga
memiliki teman-teman yang bebas dalam pergaulan. Bebas yang saya maksud
“benar-benar bebas” seperti seks bebas, narkoba, dan minuman beralkohol. Karena
itu pula saya jadi terbuka pada pilihan-pilihan. Misal, beberapa teman saya
berpakaian minim. Awalnya bagi lelaki yang jarang lihat wanita berpakaian seksi
di Riau, tentu itu memacu syahwat saya. Saya kemudian terbiasa melihat belahan
dada, ada yang besar ada yang kecil, saya terbiasa melihat paha-paha lawan
jenis, bahkan beberapa teman saya yang menggunakan bikini. Syahwat yang awalnya
membuncah, karena seringnya malah tidak berpengaruh sama sekali seiring
bertambah usia saya.
Saya masih ingat 2014 lalu ketika
survey hari valentine, salah satu
media kala itu JPNN menuliskan 26,4% dari 413 remaja responden mengaku
melakukan hubungan seks dalam merayakan hari valentin. Jakarta sendiri di 2014,
51 % dari remaja yang disurvei mengaku telah melakukan hubungan seks pranikah. Saya
tidak termasuk dalam hitung-hitungan tersebut.
Saya bisa bilang semenjak di
Jakarta, saya tidak terlalu bernafsu ketika melihat wanita berpakaian minim. Apalagi
kalau saya pulang ke Riau, lihat anak-anak SMA pakai baju gemes, duh, ga
banget. Ya karena saya biasa melihat demikian. Kalau saya tak pernah lihat
begitu, lihat betis saja bisa memancing saya melakukan hubungan seks pranikah
loh. Ini terjadi pada seorang teman dari istri saya. Dua orang yang dikenal
baik bertunangan, pergi cek rumah yang mereka beli bersama. Lalu si wanita
tersandung, rok terangkat memperlihatkan betis, lalu terjadilah yang diinginkan
oleh dua pasangan yang telah bertunangan tersebut. Secara tiba-tiba, si pria
meninggal dunia karena kecelakaan. Si wanita hamil. Akhirnya terbongkarlah
“asmara pranikah” dua anak manusia itu. Alasan mereka sedikit lucu bagi saya,
si pria melihat betis si wanita, si wanita terpukau mata si pria. Aneh kan? Itu
terjadi loh. Akhirnya si wanita diusir dari rumah, keluarganya malu, dsb, dsb
nasib buruk menimpanya.
Seks hanya karena melihat betis.
Saya yang melihat banyak hal, eh masih perjaka aja tuh waktu itu.
Januari 2016 lalu, ketika saya
mulai mempertimbangkan akan menikah. Saat itu syahwat saya belum besar-besar
sekali. Saya biasa melihat wanita-wanita yang berpakaian minim karena mereka
berada dalam lingkup pergaulan saya. Hanya saja, bila saya tunggu menikah
sampai syahwat saya tinggi, duh, bisa-bisa saya jadi pelaku seks pranikah.
Enaknya diawal, mikir tanggung jawab setelahnya.
Pada bulan-bulan itu saya
memutuskan, mumpung saya belum bernafsu-nafsu banget, belum sange-sange banget, otak saya masih
normal, saya masih bagus dalam mempertimbangkan orang yang menjadi calon istri,
tentu, ini adalah momen terbaik untuk saya mulai memilih calon istri saya.
Siapa tahu dimasa-masa berikutnya, saya masuk dalam syndrome want-to-marry-soon
atau syndrome want-sex-so-much yang
kini banyak melanda teman-teman saya.
“Dari pada terdesak, lebih baik memulai lebih cepat”, saya pikir demikian
Lapisan kedua dari
pertimbangan saya adalah wanita yang
akan saya nikahi.
Setiap orang punya kriteria
pasangan ideal bagi dirinya. Kalau kita udah sange, kita tidak akan baik pertimbangannya. Terlebih lagi kalau baper sebelum kenal. Lama saya berpikir
tentang kriteria idaman ini. Akhirnya saya mengamini keinginan masa lalu saya
yakni menikahi teman yang terdekat dengan saya.
Alasan memilih menikahi teman
adalah faktor perkenalan. Saya tidak perlu berkenalan lagi bilamana hendak
menikahinya. Akan terasa lucu, saya malam pertama dengan orang yang asing
dengan saya. Jangankan hendak membuka bajunya nanti, untuk menciumnya saja pun
saya tidak terbayang cara saya melakukannya. Kalau teman kan bisa dibawa
lucu-lucu terlebih dahulu. Baru mesra-mesra. Belum lagi esok harinya, kita
bangun tidur yang disebelah kita orang asing. Bagaimana bisa nyaman jika orang
yang tidur disebelah kita saja kita tidak kenal?
Dari pertemanan yang ada, saya
gariskan beberapa hal yang harus dimiliki seorang istri saya. Kala itu,
tersebarlah gossip bahwa saya akan segera menikah dan sedang mencari calon
istri. Duh, malah di bully. Kemudian
apakah gadis atau janda.
Sebenarnya, saya memiliki
kecenderungan ketika itu untuk memilih menikahi janda. Alasannya sederhana,
saya mengejar pahala yang dijanjikan Rasulullah dengan menikahi janda
seolah-olah kita berpuasa disiang hari dan sholat disepanjang malam hari
melalui Hadits Bukhori No. 5353. Jika saya bisa mempertahankan pernikahan
dengan janda selama 100 tahun saja, bayangkan berapa banyak pahala yang saya
terima dalam hidup saya.
Belum lagi jika janda tersebut
adalah janda karena ditinggal meninggal. Anak-anaknya adalah anak yatim. Berapa
banyak pahala yang berpotensi saya raih dengan membesarkan anak yatim?
Ada beberapa janda yang telah
saya kenal pada masa-masa itu. Ada yang janda cerai, ada juga yang janda karena
meninggal. Satunya menggugah syahwat, satu lagi seolah-olah menambah iman.
Kedekatan saya dengan mereka ya seperti saya dekat dengan teman lainnya. Belum ada
sesuatu yang spesial. Saat keduanya semakin dekat dengan saya, saya merasa
masih saja belum menemukan ritme yang pas dengan dua ini. Ideal bagi saya
adalah wanita tersebut teman terdekat saya. Jika dia gagal menjadi teman
terdekat saya, bagaimana hendak saya menikahinya?
Bagi saya, sebagai seorang pria,
pertimbangan agama wanita bukan hal yang penting. Agama adalah urusan pria nya.
Sebelum menikah, biarkan wanita memilih jalannya. Setelah menikah, adalah
kewajiban pria mengarahkan si wanita. Jadi tentu, saya tidak menimbang wanita
yang akan nikahi harus bagus agamanya, bagus ini-itu, dsb. Tidak! Ideal bagi
saya adalah dia dekat dengan saya.
Saya ingat betul pesan
Rasulullah, bahwa wanita dipilih karena 4 hal yaitu: karena hartanya,
keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Menikahi wanita kaya akan menaikkan
standar hidup pria. Menikahi wanita yang baik keturunannya akan menaikkan
derajat sosial pria. Menikahi wanita cantik akan menambah semangat hidupnya.
Namun, menikahi wanita karena agamanya akan menghangatkan jiwa si pria.
Saya percaya orang akan
didekatkan dengan orang yang diinginkannya. Maka dari itu, saya memilih wanita
dari wanita-wanita yang ada di sekitar saya. Jika saya menginginkan wanita yang
baik agamanya, wanita yang baik agamanya itu akan mendekat disekitar saya. Puji
tuhan, selain berteman dengan teman yang bebas pergaulannya, saya pula berteman
dengan baik akhlaknya. Jadi saya tidak susah-susah sekali memutuskannya. Walau
sebenarnya, siapapun yang saya dapat apakah yang baik akhlaknya atau pun tidak,
saya yang akan memperbaikinya. Toh, itu masa lalu dia yang buruk, masa depannya
dengan saya harus baik karena itu menjadi tanggung jawab saya.
“Ideal menurut saya adalah orang terdekat. Jika yang terdekat itu baik agamanya, cantik orangnya, bagus keturunannya, ada hartanya, ya itu bonus bagi saya”- kala itu saya berpikir.
Lapisan ketiga dari
pertimbangan saya adalah kedewasaan saya
Menikah bagi saya bukan suatu hal
main-main. Walau saya termasuk yang banyak teman lawan jenisnya, tapi bila
hendak berkomitmen, itu suatu hal yang serius. Kita tidak bisa berkomitmen tapi
tidak konsisten. Melanggar komitmen sama artinya mempercundangi diri sendiri
karena perbuatan sendiri.
Keidealan saya berupa teman
terdekat itu sebenarnya ada latar belakangnya. Memilih teman terdekat berarti
memilih orang yang paling memahami siapa saya. Saya tidak perlu menyesuaikan
banyak hal pada beliau karena kita tentu sudah saling kenal. Kita hanya perlu
menambah sisi saling mengerti diantara kita nantinya.
Untuk itu, saya harus
pertimbangkan diri saya sudah dewasa atau belum. Tidak mungkin, saya menikah
tapi setiap hari hanya diisi oleh marah-marah saja. Menikah tapi bikin stress.
Bila menikah hanya menimbulkan stress berkelanjutan, untuk apa menikah?
Kriteria dewasa yang diterima
umum itu sebenarnya sederhana, kita bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Kita boleh marah, tapi marah sesuai takarannya. Tidak berkelanjutan, merusak
hubungan serta kontra produktif atas hubungan yang dibangun. Kita boleh tetap
bermain dengan teman lawan jenis, tapi sesuai peruntukannya. Ini akan sangat
merugikan bila setelah menikah kita serta merta mengubah pergaulan kita. Puji
Tuhan, saya menikahi wanita yang amat dewasa. Beliau membebaskan saya melakukan
apapun selama masih dalam pengetahuan beliau. Syarat dari beliau hanya satu,
yakni support dia melakukan apapun yang ia ingin wujudkan dalam
hidupnya.
Kita juga boleh berargumen tapi
tentu sesuai dengan tujuannya, berargumen tiap hari kan akan membosankan juga.
Sesekali mengalah tidak pula salah toh? Intinya ya bisa menempatkan segala
sesuatu pada tempatnya. Masa pernikahan itu ya masa bersenang-senang, masa
membangun peradaban, masa mewariskan mimpi dan kenangan. Maka mimpi dan
kenangan seperti apakah yang mungkin bisa diwariskan bila pernikahan hanya
diisi pertikaian saja?
Kita harus paham bahwa setiap
orang perlu dan butuh untuk dimengerti. Kita tidak bisa memaksakan ideal kita
ke semua orang, apalagi istri kita. Beliau adalah manusia merdeka yang hidup
mandiri sebelum bersama kita. Ini akan sangat melukainya bila ia harus mengikuti
gaya kita sedangkan ia punya cita-cita nya sendiri.
Kita harus menempatkan bahwa
pernikahan bukan tujuan dari kehidupan, bukan pula alat kita mencapai tujuan
kita. Kita harus yakini bahwa pernikahan adalah alat kita berdua, suami dan
istri, untuk mewujudkan mimpi masa muda kita. Bisa jadi dimasa muda lalu, kita
bercita-cita terbang ke bulan, masa karena menikah kita dilarang?
Saya sempat begitu sakit hati
saya ketika menikah lalu teman baik saya kebetulan baru seminggu bertunangan,
ia ingin dan bermimpi bisa hadir dihari spesial saya, malang bagi nya, ia
dilarang oleh calon suaminya. Saya rasakan betapa sedihnya ia tak bisa hadir
dihari penting sahabatnya, jika saya melakukan hal yang sama, apakah saya tidak
akan menyakiti hati istri saya?
Pernikahan bukan tentang siapa
yang bisa mengalah. Tidak. Dewasa bukan demikian adanya. Dewasa bukan tentang
siapa yang berani mengalah. Dewasa adalah tentang bagaimana kita memahami
kondisi pasangan kita sehingga kita bisa
tempatkan segala sesuatu pada tempatnya.
“Jika saya tak mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya, bagaimana saya hendak menempatkan istri saya pada tempat yang terbaik menurut impian dan kemampuan saya?”- begitu saya pikir.
Lapisan terakhir dari
pertimbangan saya adalah kemampuan
materil saya
Saya bukan berasal dari keluarga
kaya raya. Ayah dan Ibu saya adalah guru SMA. Ayah diberi amanah menjadi Kepala
SMA. Bila hendak mengharap warisan orang tua, kira-kira berapa harta yang bisa
diwariskan dua orang tua PNS Guru SMA kepada 3 orang anaknya selain ilmu agama
dan bimbingan mereka?
Menjadi siap secara materil dan
immaterial adalah kewajiban bagi setiap pria. Kesiapan materil setiap pria
tidak sama. Ada yang harus punya rumah dulu baru bisa dianggap siap materil,
ada yang cukup punya gaji 2 juta saja sudah menganggap dirinya siap secara
materil. Ada yang harus pernah mencapai satu hal dulu, baru siap materil. Ada
pula yang cukup punya kerja saja dia sudah menganggap dirinya sudah siap
materil.
Pada kasus saya, saya menargetkan
beberapa capaian agar saya bisa meyakini diri saya sudah siap materil. Beberapa
capaian diantaranya seperti pernah mengelilingi setidak-tidaknya 60% wilayah
Indonesia, pernah menginjakkan kaki di tanah Anatolia, pernah menginjakkan kaki
di daratan eropa, dan memiliki rumah sendiri. Dan Ya! Saya mewujudkan capaian
saya. Pada akhirnya, saya menanggap diri saya siap secara materil.
Pentingnya kesiapan materil
tersebut semacam pengujian diri sendiri terhadap kemampuan bertahan hidup.
Kita, sebagai pria, tentu harus punya kemampuan bertahan hidup. Bagaimana
hendak menyenangkan istri bila bertahan hidup saja tak bisa? Bagaimana hendak
memberi makan anak istri bila makan sendiri saja mengutang sini dan sana?
Kira-kira seperti itu. Dengan mempertimbangkan itu, kita tidak hanya akan menjadikan
pernikahan sebagai pelampiasan hasrat seks saja, melainkan suatu bentuk
tanggung jawab paripurna. Bila bukan kaya hitungan kita, setidak-tidaknya, makanan
sehari-hari kita bisa menanggungnya.
Istri itu sebenarnya dalam agama
cukup diam saja menikmati layanan dari suami. Yang menyiapkan makan ya suami,
mencuci baju ya suami, membersihkan rumah ya suami. Istri itu tingkatnya berada
di tempat tertinggi, yakni menikmati harta dan pelayanan suami. Hanya saja,
tidak semua suami kaya toh, bilamana istri melakukan hal-hal kebaikan tersebut,
ia tentu mendapat pahala.
Mencuci, memasak, itu bukan
kewajiban istri, namun suami. Bila sebagai pria tidak bisa mandiri secara
materil, tidak mampu melayani istri, terus bagaimana kita hendak siap dipanggil
suami. Saya kadang merasa iri dengan suami-suami berbangsa Irlandia. Mereka
memasak makanan untuk keluarganya sebelum berangkat bekerja. Orang irish saja bisa, masa kita engga?
“Memang siap secara materil ini lebih pada penilaian subjektif, Bila secara subjektif saja kita merasa tidak mampu, bagaimana hendak meminta pendapat orang lain dan melihat secara objektif terhadap kemandirian kita atas materi?” – Pikir saya ketika itu.
Pernikahan 16 September 2017 |
Karena Menikah kita tujukan untuk mengharap Ridho Allah SWT, maka ia haruslah melalui pertimbangan paripurna untuk menandakan kita benar-benar serius untuk meraih Ridho Nya
Komentar
Posting Komentar