Instagraming

Mereka Hanya Butuh Kita Peduli

FGD Spesialisasi Anti Korupsi salah satu cara membangun Peduli Generasi Muda Indonesia

12 orang dari Jawa, 3 orang dari Sumatera, 2 orang dari Sulawesi, 1 orang dari Kalimantan, 1 orang dari Nusa Tenggara, 1 orang dari Maluku, dan 1 orang dari golongan Tionghoa, mereka ditunjuk oleh 62 orang anggota Dokuritsu Junbii Chosakai untuk menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Jepang kala itu menjanjikan kemerdekaan pada Indonesia di detik-detik kekalahan mereka pada Perang Asia Timur Raya. Dimulai pada 1 Maret 1945, 7 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan dibentuk dan menggantikan badan tersebut yang akhirnya dibubarkan setelah menjalani lelahnya perang argumentasi dan sukses menyusun dasar negara masa depan yang akan terbentuk sebentar lagi seusai perang.

9 Agustus 1945, Panitia itu secara simbolik dilantik oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Tidak lama setelah itu, 12 Agustus  1945 tepatnya, Terauchi mengabarkan pada Soekarno dan Hatta bahwa mereka bisa memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dalam waktu dekat. Tak terbendung gumpalan kebahagiaan pada hati mereka untuk segera balik dan mengabarkan berita bahagia itu kepada rekan sejawat di tanah air.

Sampai di Indonesia, yang muda mendapat kabar jatuhnya Jepang ditangan sekutu. Yang tua masih saja berpegang pada janji Jepang bahwa kemerdekaan akan diproklamirkan pada 24 Agustus 1945. Berseteru mereka. Akhirnya, ketua dan wakil ketua PPKI mereka asingkan ke Rengasdengklok. Soekarni, Aidit, Chaerul Saleh dan Wikana amat kuat nyalinya. Menculik disaat genting, menyusun rencana menaklukkan jepang dalam semalam. Mana berani yang tua. Gegabah kata golongan tua pada mereka. Dan tak lama setelah itu, 17 Agustus 1945 merdeka lah kita. Merdeka lah kita.

Pemuda kala itu membantu mendesak proklamasi kemerdekaan dilakukan secepatnya, bila tidak, bisa jadi proklamasi tidak akan pernah terjadi. Sekutu sudah masuk ke Nusantara, Jepang berjanji mengembalikan kekuasaan Belanda di tanah ini karena mereka kalah. NICA Memboncengi sekutu untuk kembali bertahta di tanah nusantara.

Itu pemuda. Mereka berperang dengan terburu-buru sebagai bentuk kecintaannya pada bangsa. Kini pemuda juga sedang berperang. Pemuda berperang melawan bahaya narkoba, penyakit HIV/Aids, penyebaran hoax, kemiskinan, pengangguran bahkan putus sekolah.

Narkoba
2015 saja, pengguna narkoba mencapai 4,1 juta orang. Pulau Jawa menjadi tempat tersubur pengguna narkoba. 2,4 juta diantaranya ada disini. Sumatera mengikuti dengan jumlah pengguna diproyeksikan 849,5 ribu pengguna. Berturut-turut Sulawesi 267,6 ribu pengguna, Kalimantan 238,3 ribu pengguna, Bali dan Nusa Tenggara 169,6 ribu pengguna, Maluku 42,1 ribu pengguna dan Papua 38,9 ribu pengguna.



22% pengguna narkoba tersebut ternyata pelajar dan mahasiswa. Jumlah itu setara setidak-tidaknya 899 ribu pengguna. Ada 899 ribu orang pelajar diluar sana pada 2015 telah pernah menggunakan narkoba. Itu bukan angka yang kecil dan mereka adalah masa depan kita.

2017 awal, BNN merilis kasus narkoba sepanjang 2016 terdapat 423 kasus narkoba dengan jumlah tersangka 597 orang dengan tegahan aset Rp 279,1 miliar. Angka ini mengakibatkan merupakan bagian dari yang menyebabkan 18.250 orang meninggal setiap tahunnya atau setara 50 orang perhari. Teman menjadi sumber terbanyak untuk mengakses penawaran dan transaksi narkoba, dan rumah teman menjadi tempat utama menawarkan narkoba. 
Narkoba sudah masuk melalui rumah-rumah kita. Rumah teman anak-anak kita. Rumah tetangga-tetangga kita, bahkan pabriknya ada disekitar kita.



Masih ingat 18 September 2017 lalu Polisi meng-grebek Pabrik pembuatan PCC di Purwokerto? Pabrik obat terlarang tersebut berada di sebuah ruko di jalan raya Baturraden nomor 182-184, RT 2 RW 1 Kelurahan Pabuaran, Kecamatan Purwokerto Utara, Banyumas, Jawa Tengah. Ruko dijalan raya, didepan kepala kita semua.

Belum lama ini, 9 November 2017 lalu, Polrestabes Surabaya meng-grebek pabrik pembuatan narkoba di sebuah rumah Jalan Bukit Bali B2, Citraland, Surabaya barat. Dalam rumah tersebut, polisi mengamankan barang bukti berupa 63 karton berisi 2.630.000 butir karnopen, 2 buah drum berisi 100.000 butir pil karnopen, 1 unit mesin produksi dan 3 unit mesin alat press.

Mengutip wawancara yang dilakukan jawapos.com kepada Komjen Pol. Budi Waseso pada 29 Mei 2017 lalu, beliau menuturkan bahwa di Indonesia kini ada sekitar 72 jaringan internasional yang beroperasi. Beliau menyampaikan bahwa ada data sekitar 1.097,6 Ton prekursor Cina (bahan baku pembuat obat yang bisa diolah menjadi narkoba) disinyalir masuk ke Indonesia. Dari angka tersebut, sedikit prekursor yang menjadi obat, selebihnya digunakan untuk meracik narkoba.

Ini perang yang sangat serius. Perang ini sudah menewaskan ribuan orang generasi muda kita, masa depan kita. Kira-kira kerugian ekonomi mencapai Rp 72 triliun per tahun.

HIV/Aids

Selain kematian, Narkoba juga bisa menularkan HIV/Aids. Penggunaan narkoba melalui jarum suntik merupakan pola paling umum terjadi untuk menularkan HIV/Aids di dunia. Hanya saja, Di Indonesia pola penyebaran HIV/Aids lebih banyak melalui seks bebas. Unicef menyebutkan pada 2012, Setiap 25 menit di Indonesia terdapat satu orang baru yang terinfeksi HIV. Penyebaran HIV/Aids tersebut menurut infodatin Kemenkes 1 Desember 2016 melalui seks setidak-tidaknya menyumbang 71.4% dari total kasus HIV/Aids yang terlapor, terdiri dari heteroseksual 67,6%, homoseksual 3,3%, dan biseksual 0,5%.



65,7% dari 208.920 dari jumlah kumulatif penderita HIV hingga Juni 2016 merupakan orang dalam kelompok usia 15-39 tahun. Kelompok usia 15-19 tahun 2,8%, kelompok usia 20-29 tahun 31,4%, dan kelompok usia 30-39 tahun 30,3%. Pemuda semua loh ini. Bayangkan pemuda melakukan gonta-ganti pasangan dan melakukan seks pra nikah, risiko ini akan menjadi lebih besar.

BKKBN pada 2010 saja sempat mempublikasikan hasil survei yang sedikit mengejutkan. Survei tersebut menunjukkan bahwa 51% remaja di Jabodetabek telah melakukan seks pranikah. Hasil yang sama mengejutkan juga terjadi di kota-kota lain seperti Bandung 47%, Surabaya 54%, dan Medan 52%. Seks pranikah yang masif tentu akan menimbulkan risiko yang lebih besar atas penyebaran HIV/Aids.

Kalau menurut data Kemenkes pada tahun 2012, 35,9% remaja punya teman yang sudah pernah melakukan hubungan seks, dimana 6,9% mengaku sebagai pelakunya. Jika jumlah remaja di Indonesia 60 juta orang saja, setidak-tidaknya ada 4 juta remaja yang berisiko tinggi terkena HIV/Aids karena seks pranikah. Angka 208.920 tadi itu hanyalah komulatif dari kasus yang terlapor. Remaja kita masih gamang sekali.

Pemuda kita sedang berperang dengan sesuatu yang mereka belum tahu siapa yang akan diperangi. Dilain pihak, Orang Dengan HIV/Aids sendiri harus diobati, dilayani dan dilindungi serta dijaga hak-haknya.

Pemuda kita harus tahu siapa dan apa yang perlu kita lawan. Seks bebas bukan persoalan paksa memaksa tapi rasa. Ia bukan ideologi tapi pola pikir. Tidak ada orang yang menjadi pengusungnya, tapi sering terlihat oleh mata. Mereka terlihat melalui media-media, melalui cerita, melalui data-data, dsb. Mereka dalam bentuk gambar-gambar, video-video, dan kelompok-kelompok.

Belum lama ini Oktober 2017 lalu, Polisi meng-grebek pesta seks LSL (Lelaki sesama Lelaki) disebuah spa di Harmoni, Jakarta. 51 orang dalam rentang usia 20-30 tahun diamankan. Mereka berasal dari profesi mahasiswa, karyawan maupun pengangguran. Sebelumnya, 141 orang di Kelapa Gading diciduk polisi karena mengadakan pesta LSL disebuah tempat fitnes pada 21 Mei 2017.

Masalah didepan mata kita, narkoba dan seks bebas. Kita memang sudah merdeka tahun 1945, tapi pemuda belum selesai perangnya. Sekali lagi, perang melawan penjajah, kita tahu siapa musuhnya. Perang melawan narkoba, mereka disekitar kita. Perang melawan seks bebas, siapa yang hendak dikalahkan bila itu sudah mulai menjadi suatu hal yang biasa? Siapa yang hendak disalahkan jika yang melakukannya ternyata anak-anak kita?

Sebagian orang-orang tua kita akan menyalahkan akses informasi yang luar biasa. Gampang menyalahkan memang. Apalagi pengguna internet Indonesia sangat besar, beragam, dan bebas. Menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia sudah mencapai 132,7 juta pengguna. 18,4% diantara adalah pengguna berusia 10-24 tahun. 24,4% lainnya adalah pengguna berusia 25-34 tahun.

Pornografi dan Penyebaran HOAX

Dari potensi besar ini, pada Juli 2017, Kemenkominfo mempublikasikan bahwa telah memblokir 773.517 akun dan situs porno. Twitter yang diakses oleh 7,7 juta atau 5,5% pengguna internet Indonesia setidak-tidaknya setiap 48 jam ada 1 miliar lebih konten yang beredar di twitter. 1 dari 1000 tweet bermuatan pornografi. Itu jauh melampaui angka-angka pemblokiran yang dilakukan oleh kemenkominfo. Belum lagi media sosial lainnya seperti facebook, whatsapp, instagram yang amat besar. 71,6 juta pengguna internet Indonesia merupakan pengakses media sosial facebook, sedangkan Instagram diakses oleh 19,9 juta pengguna. Media sosial lainnya, Aplikasi whastapp dimiliki oleh 35,8 juta pengguna. Ini jadi alasan yang masuk akal menyalahkan keleluasaan akses informasi sebagai penyebab masalah ini.

Apalagi sekarang faktanya, 35% data yang didownload di Indonesia menurut psikolog-i.com merupakan data yang berhubungan dengan pornografi, 28ribu orang mengakses konten pornografi perdetik. Selain itu, ada 11 juta anak dibawah 18 tahun mengakses konten pornografi perminggu dimana 81% anak-anak tersebut menikmati akses konten pornografi ini di rumah.

Besarnya pengguna media sosial ini juga menjadikan pemuda rentan untuk mendapatkan informasi Hoax. Berita hoax disalurkan melalui beberapa saluran, seperti radio 1,20%, email 3,10%, media cetak, 5%, televisi 8,70%, situs web 34,90%, aplikasi chatting (seperti whatsapp, line, telegram) 62,80%, secara umum sosial media menjadi saluran hoax mencapai 92,40%. Hal ini menjadikan isu persatuan menjadi rentan mengingat hoax yang tersebar kini 91,8% merupakan isu sosial politik dan 88,6% menyangkut SARA. Sangat bermasalah, bukan?



Menjaga Generasi Muda Kita
Fakta dilapangan menunjukkan keburukan yang amat banyak atas keleluasaan akses informasi tersebut. Tapi kita perlu ingat, keterbukaan akses bukan penyebab utama terjadinya konsumsi narkoba. Orang-orang yang mengkonsumsi narkoba sebagian besar mengenal narkoba dari temannya. Artinya ini masalah pengawasan di rumah kita. Produsen narkoba ada di sekitar kita. Di rumah-rumah tetangga kita, di ruko-ruko pinggiran jalan.

Narkoba disebarkan dari rumah ke rumah. Bila rumah teman jadi tempat paling populer untuk menawarkan narkoba, kita patut bertanya, dimana orang tua si teman berada sehingga narkoba bebas ditawarkan di rumahnya? Pabrik narkoba besar ada di perumahan penduduk, dimana pengurus Rukun Tetangga dan Rukun Warga kita?

Anak-anak kita melakukan seks pranikah dengan orang terdekatnya, temannya, pacarnya, keluarganya, bahkan anak-anak korban pelecehan seksual mengaku mendapatkan tindakan pelecehan dari keluarga terdekatnya. Masalah utama kita bukan akses informasi, melainkan pengawasan di dalam rumah kita, di dalam masyarakat kita, di dalam lingkungan terdekat kita. Bahasa yang lebih sederhana, masalah utama kita adalah kepedulian kita pada lingkungan terdekat kita.

Sebenarnya, kita harus adil, mengakses konten pornografi dalam batasan tertentu tidak terlalu menjadi masalah. Masalah muncul apabila pengguna menjadi ketagihan atas konten tersebut. Dalam frekuensi yang terbatas dan bukan suatu penyimpangan seksual, konten pornografi tersebut bisa dikategorikan sebagai hiburan. Kecanduan pornografi lah yang dapat mendorong terjadinya seks bebas maupun tindakan pemerkosaan, pelecehan seksual atau tindakan asusila lainnya.

Kapan seseorang dikatakan kecanduan? Seseorang kecanduan saat frekuensi mengakses meningkat dan menjadi kebutuhan. Ini masalah pengawasan, 81% anak kita menikmati mengakses pornografi dari rumah, kemana orang-orang tua kita? 11 juta konten pornografi yang diakses remaja dibawah 18 tahun loh per minggu, di rumah. Itu bukan angka yang kecil.

Senada dengan pornografi, seks pranikah sebetulnya jika dilakukan dengan satu pasangan saja dan terbatas, risiko penyebaran HIV/Aids juga tidak akan tinggi. Seks bebas baru akan menjadi masalah besar bila dilakukan dengan berganti-ganti pasangan, dengan sesama jenis maupun jenis penyimpangan seksual lainnya.

Ketika memutuskan untuk memiliki pasangan, anak-anak kita pasti memperkenalkan pasangannya ke rumah. Tidakkah orang tua menyadari anak-anaknya berganti-ganti pasangan? Oh ternyata, pemuda melakukannya paling banyak di kos-kosan mereka. Ketika anak tinggal dikosan, apakah orang tua tidak berhak memperdulikan anaknya? Tidakkah teman-temannya berhak memperhatikan tindak tanduk temannya lainnya? Apa yang hilang bila ada seorang teman memasukkan lawan jenis yang tidak sah ke kamarnya bermalam terus teman kosannya membiarkan saja? Peduli!

Jadi perang yang dihadapi pemuda ini siapa yang bersalah? Kita yang tidak peduli! 
Pemuda masa lalu berperang karena mereka peduli. Pemuda masa kini berperang karena kekurangan rasa peduli. Korban sudah banyak yang berjatuhan, ribuan meninggal dunia, apakah kita akan membiarkan? Tidak!

Bangun peduli itu dengan berkelompok. Kita akan semakin kuat bila bersama. Kita akan semakin yakin bila ada yang mendukungnya. Untuk pemuda, buatlah kelompok-kelompok kecil. Jaga dirimu bersama kelompok-kelompok kecil itu. Barangkali hoax kamu terima, konfirmasi ke teman dikelompokmu. Barangkali narkoba merayumu, kuatkan bersama teman-temanmu. Barangkali seks bebas menggodamu, temanmu akan membantu. 
Orang terdekatmu adalah masa depanmu.

Bagi yang sudah menjadi orang tua, dituakan dalam masyarakat dan sudah menjadi pemimpin kita, jagalah pemuda kita. Beri semangat mereka menghadapi perang ini. Bukan dengan membatasi mereka, melainkan mendorong mereka berkarya. Buka akses selebar mungkin, tapi awasi penggunaannya. Ajarkan mana yang baik dan mana yang tidak baik dalam nilai-nilai dan norma kita. Perbanyak komunikasi dengan pemuda, agar lancar cerita kita dan bersambung semangat kita. 
Karena kepedulian orang tua adalah masa depan pemuda.


Komentar

Postingan Populer