Instagraming

Mewujudkan Indonesia Ramah untuk Ibu Hamil



Usia saya sekarang 25 tahun. Beberapa teman saya mulai melangsungkan pernikahan pada usia-usia ini. Saya yakin undangan pernikahan ini akan berlanjut hingga usia 30an tahun nanti. Seiring banyak pasangan muda di kantor, beberapa wanita sudah hamil. Banyak calon ibu muda bolak-balik ke ruangan saya, atau mungkin hanya sekedar berpas-pasan di dalam lift. Setiap pagi itu, ada calon ibu muda turun untuk presensi melalui mesin presensi kantor. Ada yang hamil muda, ada yang hamil tua.

Saat awal-awal hamil, calon-calon ibu muda ini bolak-balik kamar mandi. Sebagian besar mengeluh muntah, Morning sickness. Ada juga yang tidak cuma dipagi hari tapi setiap makan muntahnya. Duh, kasihan sekali lah. Ketika mulai memasuki usia hamil tua, lebih kasihan lagi. Jalannya sudah berbeda. Saya saja gamang melihat mereka jalan. Saya sadar mereka membawa beban yang berat di perut mereka. Muncul dalam benak saya, kenapa tidak ambil cuti saja? Hemat cuti? Ada teman saya bahkan baru ambil cuti di beberapa minggu sebelum melahirkan. Itu pilihan yang sangat berisiko.

Secara aturan sebenarnya dalam UU Ketenagakerjaan (UU No 13 th 2003), ibu hamil berhak mengambil cuti bersalin 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Kira-kira 6 minggu sebelum, 6 minggu setelah. Karena pada 1,5 bulan terakhir itu, bayi bisa lahir kapan saja tergantung kontraksi. Bayi biasanya lahir pada usia kehamilan 38-40 minggu. Bayi dikatakan premature jika lahir kurang dari 34 minggu. Untuk itu, sebaiknya di 1,5 bulan terakhir sebelum waktu kelahiran, calon ibu sudah harus siap-siap. Calon ibu sudah tidak dibenarkan beraktifitas berat, bepergian jatuh, serta apa saja kegiatan yang tidak menfasilitasi usia kehamilan.

1,5 bulan saja sebenarnya belum angka yang ideal untuk mengambil hari cuti. Penelitian oleh para ahli dari Columbia University dalam Economic Journal mencatat bahwa cuti selama tiga bulan setelah melahirkan (bila digabung dengan cuti sebelum bersalin berarti total empat bulan) sudah cukup untuk menjamin kesehatan ibu dan bayi bahkan hingga jangka panjang. Hasil serupa juga dibuktikan oleh studi dalam Journal of Health, Politics, Policy, and Laws tahun 2013 lalu. Cuti bersalin selama tiga bulan setelah melahirkan mampu mengurangi risiko depresi pasca melahirkan dan dampak kesehatan lainnya pada ibu dan bayi (https://hellosehat.com/kehamilan/melahirkan/berapa-lama-cuti-melahirkan-ideal/).

1,5 bulan itu kira-kira 6 minggu lamanya. Bila kita merujuk pada Konvensi No. 183 International Labor Organization (ILO) yang telah diratifikasi oleh 34 negara, cuti hamil diberikan pada wanita pekerja itu minimal 14 minggu dengan ketentuan setidak-tidaknya 6 minggu diambil setelah kelahiran. Negara kita belum meratifikasi konvensi tahun 2000 ini. Kita baru memberikan hak cuti bersalin selama 3 bulan dengan rincian 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Total cuti bersalin yang diberikan oleh Indonesia 12-13 minggu per persalinan.

Bila kita bandingkan dengan Negara-negara di dunia, Indonesia termasuk Negara dengan cuti bersalin yang belum memenuhi konvensi ILO tersebut. Bersama Malaysia yang hanya dua bulan cuti hamil, wilayah Indocina lainnya, Amerika Tengah dan sedikit wilayah di Afrika. Secara umum ada setidak-tidaknya 47% Negara-negara di dunia ini yang tidak memberikan cuti bersalin minimal 14 minggu pada ibu hamil, terbanyak wilayah Timur tengah, Asia secara keseluruhan, Afrika dan Amerika Selatan.



Di Asia, 19% Negara memenuhi waktu cuti bersalin yang ditetapkan konvensi ILO tahun 2000. Beberapa Negara sangat memuaskan dengan memberikan cuti bersalin setidak-tidaknya 14 minggu, seperti Vietnam 6 bulan, Mongolia 120 hari, Singapura 16 minggu dan China 14 minggu). 15 negara lainnya memberikan cuti 12-13 minggu sedangkan sisanya 6 negara, seperti:  Brunei Darussalam, Hong Kong, Nepal, Papua New Guinea dan Filipina, memberikan cuti bersalin dibawah 12 minggu. Wilayah jazirah arab sedikit lebih menegangkan, hanya Negara yang kini sedang dilanda perang saudara, Suriah, yang memenuhi konvensi ini selama 17 minggu. 11 negara lainnya tidak memenuhi dengan rata-rata cuti bersalin hanya 9,2 minggu.



Eropa dan Australia jauh lebih baik daripada kontinen lainnya, 100% wilayah eropa dan Australia mengizinkan cuti bersalin minimal 14 hari kerja. Swedia bahkan memberikan cuti bersalin 68 minggu atau 480 minggu untuk Ibu Bersalin. Mengikuti Swedia dibelakang, Estonia 62 minggu, Bulgaria dan Kroasia 58 minggu, Inggris, Bosnia Herzegovina, Albania 52 minggu. Sisanya berkisar antara 14-42 minggu cuti bersalin.

Dari semua Negara tersebut, hanya Amerika Serikat, Papua New Guinea, dan Suriname serta beberapa Negara-negara kepulauan di Samudera Pasifik yang tidak memberikan hak cuti bersalin. Boleh cuti 12 minggu tapi tidak mendapatkan bayaran/upah.

Alasan tidak memberikan cuti bersalin lama
Masalah produktifitas dan penggajian pada ibu bersalin menjadi alasan utama Negara-negara tidak memberikan cuti bersalin yang cukup bahkan tidak sama sekali kepada pekerjanya. Amerika serikat misalnya, meskipun memberikan izin cuti, tapi tidak mengharuskan pemberi kerja menggaji orang tua yang mengambil cuti bersalin tersebut. Pada prakteknya, setidak-tidaknya 11% dari pekerja di Amerika Serikat mendapatkan kebijakan dibayar oleh pemberi kerjanya. Itu jumlah yang sangat kecil.

Secara logis, kita tidak membayar orang yang tidak bekerja. Benar. Alasan tersebut masuk akal. Kalaupun orang yang diberi hak cuti bersalin dibayar, uang apa yang bisa digunakan untuk membayarnya? Toh yang sedang cuti tidak produktif menambah pemasukan bagi pemberi kerja? Kita mendapat upah ya karena kita melakukan sesuatu untuk perusahaan, jika kita tidak melakukan sesuatu, apakah kita berhak mendapat upah?

Pola pikir tersebut akan memberikan insentif negatf tenaga kerja Wanita. Pertama, Wanita yang sudah menikah dan akan hamil pasti akan memutuskan untuk sementara berhenti bekerja untuk fokus pada kehamilannya. Kedua, semakin banyak perusahaan yang enggan menerima pekerja Wanita mengingat risiko mereka akan tidak bekerja bila sudah menikah dan hamil. Ini akan mempercepat peningkatan jumlah pengangguran dari pekerja Wanita, dilain pihak, tindakan diskriminatif ini berisiko tinggi akan menyebabkan kemerosotan ekonomi dalam waktu panjang.

Potensi tenaga kerja wanita sangat besar, untuk Indonesia saja misalnya, jumlah angkatan kerja yang Wanita mencapai setengah populasi angkatan kerja aktif. Dari 128,06 juta angkatan kerja, bila setengahnya, kekuatan tenaga kerja Wanita Indonesia mencapai lebih 64 juta tenaga kerja. Bila insentif negatif tersebut terjadi, banyak Wanita akan menganggur. Kemampuan daya beli akan turun. Ekonomi akan memburuk.

Selain masalah ekonomi, tingkat bahaya bila wanita memaksakan diri untuk masuk kantor saat hamil tua dan beberapa waktu singkat setelah melahirkan adalah masalah kesehatan. Kita berekspektasi dengan membatasi wanita untuk cuti bersalin akan baik bagi produktifitas. Wanita masuk lebih cepat, kerja lebih cepat, lebih banyak kontribusi dalam penghasilannya secara nyata. Nyatanya, kondisi yang belum fit bagi wanita tersebut akan mengurangi produktifitasnya. Cenderung, kegiatan tersebut membahayakan dirinya. Produktifitas turun, kesehatan terganggu. Ini suatu risiko yang sangat sia-sia.

Siapa yang membayar wanita cuti bersalin?
Berpijak dari masalah produktifitas, bila wanita cuti bersalin dan gaji mereka tetap jalan, siapa yang harus membayarnya? Amerika serikat, Papua New Guinea memberikan hak 12 minggu cuti tapi tidak dibayar. Bagi mereka masalah selesai. Bagaimana dengan Negara-negara lain semacam Indonesia dsb?

Menurut laporan ILO, ada beberapa cara menyiapkan pembayaran untuk pekerja yang mengambil cuti bersalin. 

Cara pertama, asuransi/jaminan sosial. Beberapa Negara memiliki sistem jaminan sosial bagi para pekerjanya. Indonesia memiliki satu diantaranya yakni BPJS Ketenagakerjaan. Dalam hal kegiatan bersalin, beberapa Negara memiliki sistem jaminan dimana pemberi kerja, pekerja dan Negara (melalui subsidi terbatas) bersama-sama membayar asuransi untuk kejadian kehamilan tersebut. Biasanya asuransi tersebut satu paket dengan asuransi kesehatan, jiwa, kompensasi pengangguran, kecelakaan dsb.

Sistem ini diciptakan oleh Negara-negara tersebut prinsipnya untuk memenuhi suatu prinsip solidaritas dengan subsidi silang. Subsidi silang antara orang sehat ke orang sakit, orang berpenghasilan tinggi ke berpenghasilan rendah, dan dari pekerja single ke orang berkeluarga. Sistem seperti ini diharapkan melahirkan suatu kerja sama dan solidaritas sesama sehingga tidak tercipta diskriminasi di dunia kerja.

Ini bisa disebut sebagai kontribusi bersama. Pembiayaan asuransi bersama antara pekerja dan pemberi kerja adalah cara paling sering terjadi dibanyak Negara di dunia ini.  Aljazair, Belize, Cyprus, Yunani, Prancis, Maroko, Pakisan dan Tunisia misalnya, semua Negara ini menggunakan sistem ini. Meskipun Asuransi untuk pembayaran cuti bersalin yang dibayarkan pemberi kerja saja juga dipraktekkan di beberapa Negara seperti Yordania dan Peru. Bedanya, di Yordania, hanya pemberi kerja membayar premi asuransi, selisih antara yang dibayar dan premi pemberi kerja akan diganti oleh pemerintahnya. Sistem pembayaran premi asuransi antara 3 pihak memang jarang dipraktikkan, tapi dilakukan oleh Meksiko dan Honduras. Disana, Negara bersama-sama pemberi kerja dan pekerja membayar premi asuransi khusus bersalin ini.

Cara kedua, beban pemberi kerja. Kasus ini bisa kita temukan di Indonesia. Pemberi kerja berkewajiban membayar gaji pekerja selama ia cuti bersalin. Sebenarnya, sistem ini tidak memenuhi prinsip solidaritas. Tentu, efeknya, pemberi kerja akan berkeberatan bila pekerjanya cuti lama. Ini yang menyebabkan diskriminasi terjadi bagi wanita di dunia kerja. Menerima wanita sebagai pekerja berisiko membayarnya secara Cuma-Cuma saja wanita tersebut hamil tua dan cuti bersalin. Pemberi kerja dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tidak mudah. Biasanya, pemberi kerja akan lebih menyukai merekrut pekerja lelaki karena kebijakan seperti ini.

Kadang, meskipun pemberi kerja merekrut tenaga kerja wanita, mereka cenderung tidak mematuhi aturan tersebut. Sebuah studi di Zambia dan Ghana, menunjukkan hanya sedikit pemberi kerja yang rela membayar gaji pekerja yang cuti bersalin sedangkan Negara tersebut memberikan hak cuti dengan tetap dibayar selama 12 minggu. Hal ini menyebabkan para pemberi kerja lebih memilih memperkerjakan lelaki ketimbang wanita. Negara lain seperti Malta hanya mewajibkan pemberi kerjanya membayar 14 minggu pertama dari cuti bersalin dari 18 minggu yang diizinkan.

Cara ketiga, tanpa kontribusi. Cara terakhir ini sebenarnya menggeser beban dari pemberi kerja dan pekerja ke pemerintah secara keseluruhan. Pemerintah pada kasus ini diharuskan sudah memiliki jaminan sosial yang dibangun dalam suatu sistem keuangan nasionalnya. Pada praktiknya secara meluas, pemerintah menetapkan rate tertentu untuk pembayaran jaminan sosial tersebut kepada pekerja yang mengambil cuti hamil. Banyak Negara yang mempraktikkan cara ini seperti Australia, Selandia Baru, Wilayah Eropa, kecuali jerman dan inggris, serta banyak wilayah di belahan dunia.



Ideal Bagi Indonesia
Cuti Bersalin di Indonesia secara nyata berada dibawah konvensi ILO No. 183. Indonesia juga belum termasuk Negara yang meratifikasi konvensi tersebut. Kita perlu mendorong pemerintah untuk setidak-tidaknya menyesuaikan diri dengan Negara-negara internasional.

Meskipun sebenarnya, kita patut mengerti dan memahami bahwa ini bukan hal yang mudah. Indonesia masih membebankan pemberi kerja sebagai pembayar penghasilan pekerja yang mengambil cuti bersalin. Tentu, ada perlawanan dan ketidakrelaan bagi pemberi kerja bila cuti bersalin diberikan dengan jangka waktu yang panjang. 68 minggu misalnya, seperti Swedia.

Swedia bisa memutuskan memberi jatah cuti bersalin 68 minggu karena pembiayaan mereka dilakukan dengan tidak membebankan pemberi kerja saja. Mereka membayarnya melalui jaminan sosial. Jaminan sosial tersebut memberikan kenyamanan bagi pemberi kerja untuk rela mengizinkan pekerjanya cuti lama. Istilahnya mereka hanya membayar ketika mereka bekerja. Ketika mereka cuti bersalin, mereka dibayar oleh asuransi. Swedia membayar 56 minggu pertama dengan 80% dari penghasilan pekerja dengan batasan penghasilan tertentu dengan sisanya dibayar dengan flat rate. Negara lain seperti Serbia misalnya, yang pembiayaan penghasilan melalui mixed insurance 100% pada 26 minggu pertama, 60% 27-39 minggu berikutnya, dan 30% pada 40-52 minggu.

Memaksakan pemberi kerja membiayai cuti yang panjang, itu akan menjadi insentif negatif bagi pemberi kerja. Apalagi investor asing, mereka pasti akan berpikir dua kali berinvestasi di Indonesia. Bila Indonesia mau membuka diri untuk pilihan pembiayaan yang lain, Indonesia bisa jadi mampu menetapkan waktu yang lebih lama untuk cuti bersalin.

Pembiayaan lain yang bisa kita contoh dari Negara-negara lain adalah pembiayaan melalui jaminan sosial yang dibayar secara tripartit, pemerintah melalui subsidi, pekerja dan pemberi kerja. Hanya saja kini tantangannya, Kita punya jaminan sosial, BPJS namanya. Namun BPJS masih saja defisit antara premi dan realisasi pembayaran pada pelanggan. Kita bisa saja mensubsidi asuransi baru untuk pembiayaan tersebut bersama pemberi kerja dan pekerja, potongan BPJS sekarang saja banyak yang tidak rela. Trade off memang. Untuk melahirkan suatu kebijakan yang menguntungkan semua buat semua, tidak gampang.

Pembiayaan dengan menetapkan rate tetap untuk pekerja cuti hamil juga bisa dilakukan. Pemerintah harus menyisihkan subsidi lagi untuk membiayai cuti bersalin. Bila kita ambil laju pertumbuhan total penduduk tahun 2015 sebagai dasar jumlah kelahiran pertahun yakni 1,49%, setidak-tidaknya, ada sekitar 4,5 juta kelahiran setiap tahun. Bila setengah dari jumlah wanita yang melahirkan itu adalah pekerja, setidak-tidaknya pemerintah harus menyiapkan subsidi untuk 2 juta wanita pekerja. Bila satu wanita mendapatkan 2 juta saja perbulan dalam rate tetap, kira-kira pemerintah membutuhkan dana setidak-tidaknya Rp 4 Triliun perbulan untuk subsidi tersebut.

Cara yang paling realistis yang bisa kita lakukan sekarang tanpa mengubah skema pembiayaan, memang dengan memaksakan setidak-tidaknya cuti bersalin itu 14 minggu. Bila hendak menambahkan masa cuti bersalin, masalah pembiayaannya bisa kita kembangkan seiring niatan awal. Atau kita bisa gunakan sistem Negara-negara lain seperti pembayaran penuh di 14 minggu pertama, 50% di minggu-minggu berikutnya, dan 0% pada minggu-minggu setelahnya. Atau kombinasi 100% pada 7 minggu pertama, 50% pada 7 minggu setelahnya, 50% lagi untuk 7 minggu berikutnya. Dengan sistem tersebut, biaya cuti bersalin 21 minggu sama dengan 14 minggu.

Sembari memperbaiki lama cuti bersalin tersebut, kita juga memperbaiki sistem jaminan sosial kita. Negara-negara maju sudah menunjukkan komitmen “menyelamatkan” ibu bersalin, kita kapan menuju Negara maju? Alhasil, disuatu masa nanti kita bisa mendambakan Indonesia wujud sebagai Negara yang memberikan cuti bersalin hingga 68 minggu dengan pembiayaan murni dari jaminan sosial kita, serta tidak merugikan pemberi kerja dan pekerja.

Negara-negara maju mencatat, cuti bersalin yang cukup akan menambah produktifitas pekerja wanita. Penambahan produktifitas ini akan memajukan sosial ekonomi negaranya. Persentase wanita yang kembali bekerja setelah cuti bersalin yang lebih panjang lebih tinggi ketimbang wanita dengan cuti bersalin yang pendek. Pemenuhan penghasilan saat cuti bersalin yang layak juga akan mempertahankan kualitas hidup pekerja yang mengambil cuti bersalin. Kalau perlu jenis pembiayaan digunakan dengan prinsip menjunjung solidaritas, semua terlibat untuk Ibu hamil.

Bahkan banyak negara Afrika yang sudah memberikan cuti hamil setidak-tidaknya 14 minggu. Kita tentu mendambakan Indonesia menjadi negeri yang ramah Ibu hamil. Kita tentu tidak ingin melihat Ibu-Ibu hamil kita “terpaksa” bekerja sampai saatnya mereka melahirkan dan masuk kerja secepat yang mereka bisa. Mereka butuh masa penyembuhan yang layak. Ibu-ibu kita butuh waktu untuk kesehatan yang layak. Mereka butuh untuk hadir disamping bayi barunya. 
Memberikan fasilitas itu semua pada Ibu-Ibu kita artinya kita mempersiapkan kejayaan bangsa kita. Karena Ibu adalah kunci kebesaran suatu bangsa.

Bahan bacaan:

Komentar

Postingan Populer