Instagraming

Kesetaraan Itu Bukan Soal Sama-Sama Kerja Saja!


15 Juni 2016 lalu, kita sempat dikejutkan oleh berita pelecehan seksual yang dialami buruh pabrik mebel, J yang berusia 33 tahun di Kawasan Industri terboyo, Semarang, Jawa Tengah. Ia melaporkan 6 orang rekannya, 1 diantaranya adalah atasannya, atas tindakan pelecehan yang ia alami selama kurun waktu 2014 hingga 2016. J tak kuasa menolak aksi cabul keenam rekannya tersebut karena ia diancam untuk dipindahkan ke tempat kerja yang berat atau dipecat dari pekerjaannya. Ia awalnya dipegang-pegang bagian pantat, dipegang-pegang, dipeluk dari belakang hingga akhirnya disuruh pegang kelamin pria-pria tersebut untuk di-onani. Aksi ini menurut pengakuan suami J, dilakukan bergantian. Setiap aksi ada yang menjaga. Bila kode hijau, berarti aman mencabuli J. Bila merah, ada mereka akan berhenti karena ada orang yang datang. 2 tahun dilecehkan, 2 tahun menanggung beban di dalam hati.1 

Sementara di 2011, sempat juga ada kasus Ibu bekerja yang cukup hits yakni pemecatan terhadap staf anggota DPR RI yang sedang hamil, Nurely Yudha Sinaningrum, oleh anggota Fraksi PDIP, Itet Tridjajati. Kasus ini dilatarbelakangi tuduhan kinerja yang kurang maksimal dari staf tersebut padahal Nurely mengaku itu karena ia sedang hamil. Ketika ia hendak mengajukan cuti, bukan tunjangan dan cuti yang ia dapatkan melainkan pemberhentian2. Kejadian ini kurang lebih sama seperti kasus di 2015, dimana ada 3 PAMDAL DPR RI yang dipecat karena hamil. Meskipun usia kehamilan mereka berbeda, Perusahaan outsourcing yang menaungi mereka tetap memecat mereka padahal mereka sudah bekerja untuk perusahaan tersebut dalam jangka waktu 6—8 tahun.3
 
Tenaga Kerja Perempuan
Perempuan yang bekerja memang menghadapi risiko yang lebih besar dari pada laki-laki. Risiko itu bisa seperti pelecehan seksual, upah yang lebih rendah, kesetaraan kesempatan dalam berkarir, atau bahkan hak-hak maternalitas untuk perempuan. Secara nyata, kita memang tidak bisa menyamakan perempuan dengan laki-laki. Apalagi kenyataannya, banyak perempuan menjadi objek bagi laki-laki. 

Selain itu, secara fisik saja perempuan memiliki siklus haid yang bisa jadi membutuhkan perhatian yang lebih dari pada laki-laki. Perempuan juga memiliki masa hamil yang secara nyata tidak dimiliki oleh laki-laki. Masalah-masalah given yang dimiliki perempuan ini tentu akan menjadi penghambat dalam karir perempuan yang bekerja. 

Hanya saja, kita harus mengakui pula bahwa jumlah perempuan diusia produktif yang besar merupakan potensi besar bagi pasar tenaga kerja kita. Semakin banyak pekerja, semakin produktif suatu negara, semakin sejahtera negara tersebut. 

Pada Agustus 2014 saja, setidak-tidaknya, ada sekitar 91.690.690 perempuan yang berada di usia produktif bekerja. Jumlah ini diatas jumlah laki-laki 91.301.514 orang. Hanay saja, dari jumlah ini ternyata, perempuan yang aktif secara ekonomi hanya 46 juta orang saja. Kalah jauh dari laki-laki yang berjumlah 75,8 juta orang.  

Tingkat partisipasi kerja perempuan hanya 50,2%. Jauh tertinggal dari laki-laki yang mencapai 83,0%. Rendahnya tingkat partisipasi ini serta banyaknya perempuan yang tidak aktif secara ekonomi menunjukkan bahwa perempuan banyak yang berada diluar dunia kerja. Ini diakibatkan pandangan masalah tanggung jawab keluarga yang dititikberatkan pada peran perempuan. Bahkan ada perempuan yang mendedikasikan dirinya hanya untuk mengurusi kebutuhan rumah tangga saja. Dalam hal pasar tenaga kerja, pandangan yang memaksa perempuan untuk hanya sekedar mengurusi keperluan rumah tangga menjadikan perempuan begitu rentan.

Perusahaan juga cenderung mengupah perempuan lebih murah. Pertimbangannya karena perempuan memiliki banyak risiko yang merugikan perusahaan ketimbang laki-laki. Misal perkara haid, beberapa perempuan tidak bisa bekerja dengan maksimal pada hari-hari awal terjadinya haid. Indonesia memang memberikan hak cuti melalui UU No. 13 tahun 2003 pasal 81 pada perempuan yang dalam masa haid yang merasakan sakit dengan syarat memberitahukan kepada pengusaha yang memperkerjakan. Cuti tersebut diberikan pada hari pertama dan kedua haid. Dengan risiko cuti yang lebih banyak daripada laki-laki, pekerja tentu memiliki batasan dan pertimbangan untuk merekrut perempuan ketimbang laki-laki. Ini sangat erat berhubungan dengan masalah produktifitas dan efisiensi perusahaan
 
Tantangan Ibu bekerja
Beberapa perempuan yang sudah menjadi Ibu bekerja juga, pada masa kehamilan diperkenankan untuk mengambil cuti bersalin oleh perundang-undangan. Memang, secara hak dan kewajiban, ini adalah suatu langkah maju untuk meningkatkan jumlah tenaga kerja wanita dalam dunia kerja. Semakin lama perempuan mendapatkan cuti bersalin, semakin berkualitas kesehatan bayi yang dikandung, maka semakin baik kualitas kesehatan Ibu bekerja dan anak pasca melahirkan. Kondisi kesehatan yang lebih baik, tentu akan menjadikan perempuan lebih produktif di dunia kerja. Ini juga akan mengurangi turn over pekerja perempuan di dunia kerja. 

Hal ini tidak akan menjadi masalah bila saat cuti bersalin upah pekerja perempuan tersebut dibayar oleh suatu jaminan kesehatan. China, India, Pakistan, Swedia, Ukraina, Perancis, Belanda dan banyak negara lainnya sudah memiliki suatu jaminan sosial berupa asuransi yang dibiayai oleh anggaran negara, pekerja dan pemberi kerja. Beberapa wilayah lain seperti negara-negara di Jazirah Arab, Pakistan, Afganistan dan beberapa negara di benua Afrika masih mengatur bahwa upah Ibu cuti bersalin tersebut menjadi tanggung jawab pemberi kerja saja.  

Nah Sayangnya, di Indonesia, upah cuti bersalin ini juga masih menjadi tanggung jawab pemberi kerja. Ini menyebabkan semakin lama perempuan melakukan cuti bersalin, pemberi kerja akan semakin besar menanggung beban dari perempuan yang diupah tapi cuti. Semakin besar beban yang mungkin akan ditanggung pemberi kerja, semakin besar hambatan pemberi kerja untuk merekrut perempuan untuk bekerja di perusahaannya. 

Selain cuti bersalin, Ibu bekerja yang baru melahirkan memiliki tantangan dalam memberikan ASI pada bayinya. 6 bulan ASI eksklusif adalah jaminan untuk tumbuh kembang anak yang normal. Sayangnya, tidak semua perusahaan memberikan fasilitas untuk pemberian ASI ini. Memang idealnya, pemberi kerja harus memberikan kesempatan bagi Ibu bekerja yang baru memiliki bayi untuk melakukan pemberian ASI maupun pumping di jam kerja. ASI yang tidak dikeluarkan bisa menjadi ancaman kanker tersendiri bagi Ibu. Ini akan berpengaruh pada produktifitas Ibu bekerja tersebut. 

Selain masalah tersebut, fasilitas tempat pumping dan kulkas penyimpan ASI juga jarang ada. Ini menjadi masalah yang harus dipecahkan Ibu bekerja. Ia pula harus memastikan aktifitas pumping dan pemberian ASI tersebut tidak berpengaruh negatif atas kinerjanya dalam dunia kerja.  

Memang nyatanya, Ibu bekerja diharuskan menjaga anak, disaat yang sama, ia juga bekerja. Waktu yang digunakan untuk mengurusi keluarga ini akan menjadi hambatan bagi Ibu bekerja untuk memanfaatkan kesempatan dalam karirnya. Ini terbukti dari survei yang dilakukan oleh International Labor Organization pada tahun 2014 yang menyatakan bahwa dari 66 negara di dunia, perempuan menghabiskan waktu rata-rata 3,3 kali lebih banyak dari pada laki-laki dalam melakukan kegiatan “memperdulikan keluarga dengan tidak dibayar”. Ini artinya perempuan lebih banyak mengurusi keluarga ketimbang efektif bekerja yang mendapatkan manfaat ekonomi. 

Negara-negara maju memiliki rasio perempuan yang menghabiskan waktu mengurusi keluarga tanpa dibayar yang lebih kecil, seperti Swedia, Norwegia dan Denmark yang hanya 1,5 kali ketimbang laki-laki. Negara-negara miskin memiliki rasio yang lebih besar, seperti Kamboja, India, Mali, dan Pakistan 10 kali, dan Mali yang 11 kali.

Secara nyata kita bisa melihat bahwa perempuan “lebih ditekankan” mengurusi urusan rumah tangga tanpa dibayar ketimbang laki-laki baik di negara maju maupun berkembang. Memang, mengurusi anak dan rumah tangga bisa jadi suatu bentuk ekspresi yang menyenangkan bagi wanita. Hanya saja, kita perlu ingat bahwa waktu yang terbatas menjadikan ekspresi yang menyenangkan itu akan menjadi hambatan dalam kesempatan perempuan dalam mengejar karir.  

Perempuan-perempuan yang awalnya bekerja, setelah memiliki anak usia balita, dalam banyak studi kasus menunjukkan pengurangan jumlah yang bekerja. Mereka keluar dari pekerjaan mereka “hanya” untuk fokus memberikan perhatian pada anak-anak balita mereka. Kasus ini terjadi merata di seluruh dunia. Korea Selatan misalnya, terjadi penurunan 27,5% atas tingkat partisipasi bekerja perempuan pasca memiliki anak. Di Romania, Jerman dan Latvia 41%—56 % ibu dengan bayi dibawah 3 tahun tidak bekerja atau bekerja paruh waktu dengan alasan anak mereka kurang perhatian. Selain itu, diantara 27 negara Eropa, hampir seperempat wanita yang memiliki anak kecil tidak bekerja atau bekerja paruh waktu dengan alasan tidak ada yang menjaga anaknya, walaupun bisa melalui day care mereka tidak sanggup membiayainya. 

Alhasil, Ibu bekerja ini mencari alternatif lain dalam bekerja. Alternatif seperti bekerja di sektor informal, paruh waktu, adalah langkah nyata untuk tetap bekerja dan tetap bisa menjaga anak. Efek yang paling dirasakan adalah Ibu bekerja mendapatkan upah yang lebih rendah. Efek lainnya kualitas pekerjaan Ibu bekerja juga jadi lebih rendah. Ini akan menjadi kerugian signifikan secara ekonomi bagi Ibu bekerja. Bahkan di negara-negara miskin, setelah memiliki anak, Ibu bekerja ini banyak yang berhenti bekerja secara total. Kalaupun bekerja, mereka lebih memilih menjadi pembantu, jualan dalam jumlah yang kecil, serta pekerjaan yang tidak menyita waktu. 

Beberapa Ibu bekerja yang tetap konsisten dengan pekerjaannya harus menghadapi kurangnya perhatian pada keluarganya. Di dunia, ada setidak-tidaknya 35,5 juta anak dibawah usia 5 tahun yang ditinggal di rumah sendirian tanpa pengawasan orang tua. Overseas Development Institute pada tahun 2015 mencatat bahwa anak-anak yang berasal dari Ibu bekerja ini tinggal dengan beberapa opsi pengasuhan. Opsi yang paling banyak dilakukan adalah penitipan di day care dan sekolah usia dini, dititip kepada kakek-nenek sang anak, dan dengan pengasuh anak.  

Menurut Laporan Overseas Development Institute tahun 2015, dari 67 negara berkembang (yang menguasai 24% dari total populasi dunia), 1 dari 3 anak antara usia 3 hingga 5 tahun telah mengikuti program pra sekolah. Di Indonesia, sebagian besar Ibu bekerja menempatkan anaknya pada day care dan sekolah usia dini. Rasio mencapai 95% dari total populasi anak usia 4 tahun. Trade off yang ada adalah biaya besar yang digunakan untuk membayar program ini. Di negara berkembang, biaya program ini bisa mencapai 27% dari total upah yang diterima oleh Ibu bekerja tersebut.  

Sebagai contoh kasus, kita ambil day care tempat banyak pegawai Kementerian Keuangan menitipkan anaknya di Lapangan Banteng. Biaya day care mencapai Rp 1,2 juta rupiah per bulan. Rasio biaya tersebut atas gaji pegawai honorer di pusat Rp 1,2 juta/Rp 3,6 juta = 33,33%. Biaya day care menghabiskan sepertiga upah yang diterima Ibu bekerja sebagai honorer di Kantor Pusat Kementerian Keuangan. Bila kita rasiokan ke pegawai muda golongan IIc, maka rasio menjadi 16.2% (Rp 1,2 juta/Rp 7,4 juta). Ini biaya yang sangat besar. 

Selain dititipkan ke day care atau program pra sekolah, Ibu bekerja juga ada yang mempercayakan anaknya untuk diasuh oleh kakek-neneknya. Ini lebih fleksibel. Usia juga lebih variatif antara usia 0-18 tahun. Di beberapa negara, ini memberikan efek yang baik bagi perkembangan anak. Anak tidak sendiri di rumah, ada yang menjaga. Nilai plusnya, biaya tidak terlalu mahal. Kakek-nenek cenderung menanggung sendiri secara suka rela biaya dari cucu-cucu mereka. Ini menjadi tren tersendiri bagi banyak negara seperti di seluruh daratan eropa, 9% kakek-nenek tinggal bersama cucu mereka. Di Amerika Serikat, lebih dari 25% Ibu bekerja bergantung pada kakek-nenek sang anak untuk pengasuhan anak mereka. Selain kakek-nenek, Ibu bekerja juga bisa memanfaatkan baby sitter atau keluarga dekat untuk mengasuh anaknya. Biaya tentu lebih murah ketimbang disekolah khusus atau day care, hanya saja, apakah nilai ekonomi yang diperoleh Ibu bekerja cukup penting dibanding dengan kebersamaan dengan anak dan keluarga Ibu bekerja?

Jalan Keluar Ibu bekerja
Kita harus sadar dan percaya bahwa Ibu bekerja harus kreatif menyiasati banyak masalah. Baik itu masalah perhatian pada anak, perhatian pada keluarga, kondisi kesehatan, waktu bekerja maupun kualitas pekerjaan. Disisi lain, kita dengan potensi perempuan yang besar dalam angkatan kerja kita tentu perlu meningkatkan jumlah Ibu bekerja. Semakin banyak perempuan produktif, semakin meningkat produktifitas negara kita. 

Kita harus perlahan-lahan memulai kampanye bahwa kewajiban menjaga keluarga bukan sekedar kewajiban Ibu saja. Laki-laki atau ayah juga harus terlibat dalam pemberian perhatian pada anak. Ini akan membantu sekali dalam menfasiltiasi perempuan bekerja. Kerja sama antara suami-istri dalam memberikan perhatian pada keluarga akan berpengaruh positif pada anak dan kualitas kehidupan berkeluarga. 

Selain itu, pemerintah dan masyarakat kita secara swadaya perlu memikirkan jalan keluar jaminan sosial bagi Ibu bersalin, wanita haid, serta pelayanan pada anak setelah dilahirkan. Kita perlu menyiapkan suatu formula baru dimana pemberi kerja tidak terlalu terbebani dengan lamanya waktu cuti yang diambil oleh Ibu bekerja saat sebelum dan setelah bersalin, maupun cuti haid oleh wanita yang belum bersalin. Ini akan mendorong berkurangnya turn over Ibu berhenti bekerja karena bersalin. Cuti bersalin yang cukup akan meningkatkan kesehatan Ibu bekerja. Produktifitas juga pasti akan meningkat. Ini juga akan meningkatkan jumlah perempuan yang diterima bekerja oleh pemberi kerja. Pemberi kerja tidak terbebani, hambatan untuk menerima perempuan bekerja juga berkurang. 

Berikutnya, Biaya yang besar atas day care dan sekolah usia dini juga harus kita siasati dalam masyarakat kita. Jika biaya ini bisa ditekan serendah mungkin tanpa mengurangi kualitas pelayanan dari day care dan sekolah usia dini tersebut, jumlah ibu yang memutuskan untuk berhenti bekerja akan berkurang. Caranya bisa dengan pemberian insentif pada day care. Insentif bisa melalui campur tangan pemerintah, bisa juga melalui urunan dalam suatu kelompok kerja di suatu perusahaan, bisa pula melalui dana jaminan sosial. Sebenarnya, cara apapun bisa kita lakukan selama ada niat untuk memberikan layanan day care dan sekolah usia dini pada anak-anak Ibu bekerja ini.  

Day care, sekolah usia dini, jaminan sosial, layanan cuti, semua itu akan menjadi perlambangan kepedulian kita secara khusus pada pekerja perempuan ini. Ini akan menjadi bukti bahwa kita tidak mendiskriminasi perempuan dalam bekerja. Perempuan itu unik, perempuan butuh perhatian yang unik. Ini tidak akan menjadi suatu preseden buruk mengkhususkan perempuan, melainkan suatu peluang untuk peningkatan kehidupan bernegara yang lebih baik. Produktifitas semakin baik. Kesehatan semakin baik. Penghormatan sesama manusia semakin baik. Bangsa kita akan semakin baik.

Referensi:
Emman Saman. 2016. Women’s work: Mother, Children, and the Global Childcare Crisis. London : Overseas Development Institute.
International Labor Office. 2014. Maternity and Paternity at Work : Law and Practice across the world. Switzerland : ILO Copyright.
BPS. 2017. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi November 2017. Jakarta : BPS.
ILO Indonesia. 2015. Tren Tenaga Kerja dan Sosial di Indonesia 2014 – 2015. Indonesia : ILO.
Undang – Undang No. 13 tahun 2003.

Komentar

  1. New casino, poker, slots, and games at JTM
    All the latest casino and 제주 출장마사지 poker 태백 출장샵 games at JTM.com. Find 당진 출장안마 the best slots, table 보령 출장안마 games, and live dealer 거제 출장샵 tables.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer