Instagraming

Kita Jangan Teriak Anti Korupsi Saja



Beberapa hari lalu, saya menemani istri saya berkeliling sekitar wilayah rumah kami, daerah Pisangan-Ciputat. Istri saya ini orang nya sedikit teliti pada hal-hal kecil. Dia punya banyak sudut pandang yang saya perkirakan sebelumnya. Mungkin karena itulah saya tergila-gila padanya #ups. Nah, Ketika kita berjalan beberapa kilometer, ada sebuah spanduk anak gadis, masih muda, dan cantik. 

"Eh, anak muda visi partainya anti korupsi. Sama kayak kampanye aa. Bagus nih a”, kata istri saya.

Lama saya terdiam mendengar obrolan istri saya yang intinya orang hidup harus jujur. Ada anak muda jujur, itu bagus. Orang-orang di parlemen itu diisi orang-orang jujur, itu bagus. Saya cerna obrolan itu, tapi masih ada yang mengganjal di kepala saya. Saya tidak pernah notice dengan spanduk para politikus di jalan-jalan selama ini yang berteriak dan berisi “Saya Jujur” atau “Saya Anti Korupsi”. Kali ini pun, Istri saya yang sadar duluan ini. Lah untuk apa notice kalau toh akhirnya yang jadi bintang iklan anti korupsi juga masuk penjara. Semuanya pula. Saya masih ingat juga ada spanduk bilang dia jujur ini-itu, eh itu orang nya dipenjara belasan tahun sekarang karena korupsi. Spanduk-spanduk demikian sudah tidak berguna di era kini.

Spanduk yang ada dibaca istri sayapun, sama seperti spanduk-spanduk lainnya. Bedanya kali ini modelnya lebih cantik, lebih mulus, lebih muda, lebih fresh. Ini yang menarik. Mereka masih muda, imut, lucu, cantik pula. Saya akhirnya coba riset ini orang dari partai mana, apa yang dikerjakannya, bagaimana visi partainya, misi yang mereka bawa apa. Oh ternyata ini anak dari partai muda, gerakan muda, dan semangat muda. Membaca tulisan teman anak ini tentang pemimpin harus anti korupsi, ini itu, kok saya jadi makin gatel. Kayak ada yang kurang.

Kita Tidak Bisa Membangun Indonesia Dengan Anti Korupsi Saja
Karena ini sudah masuk urusan pemilu, yang artinya, kita jualan ide, ada hal yang harus kita ingat bahwa kita tidak bisa membangun negara hanya dengan visi anti korupsi. Anti korupsi bukanlah tujuan yang harus kita capai dalam bernegara. Kita tidak memberi makan rakyat kita yang kelaparan dengan anti korupsi. Kita tidak bisa menyediakan air bersih untuk anak-anak di Nusa Tenggara dengan anti korupsi. Menjadikan anti korupsi sebagai tujuan, artinya, kita akan menyiapkan anggaran yang besar untuknya, kita akan menfokuskan energi untuknya. Padahal anti korupsi tidak memberikan ide pembangunan apapun. 

Ide Pembangunan tidak bisa kita sarikan dari visi anti korupsi. Anti korupsi tidak bisa jadi tujuan. Anti korupsi adalah budaya yang harus kita bangun. Anti korupsi adalah cara kita menjamin tujuan kita tercapai dengan sempurna. Kita tentu tidak bisa memberikan dana yang begitu besar agar “kita anti korupsi”. Biayanya harus sekecil mungkin, kejujurannya harus setinggi mungkin. Bagaimana caranya? Sistem yang Akuntabel!

Apa itu akuntabel? Bahasa sederhananya, akuntabel itu artinya semua yang dikerjakan harus bisa dijelaskan. Kita mengadakan mesin traktor teknologi terbaru untuk kelompok tani di Kabupaten X misalnya, kita bisa jelaskan dari mana mesinnya kita beli, siapa vendor nya, berapa harganya, berapa harga normalnya, berapa biaya angkut traktor dari pabrik ke kelompok tani, siapa kelompok tani yang menerimanya, apa syarat kelompok tani yang berhak menerimanya, siapa kelompok tani yang belum menerima, kenapa ia belum bisa menerima, atau apakah kelompok tani mampu menggunakan traktornya. Semuanya harus bisa dijelaskan. Itu akuntabel!

Menjadikan anti korupsi menjadi tujuan, hingga menggelontorkan dana yang berlebihan padanya, ini akan menjadi biaya sosial yang tinggi bagi masyarakat. Politikus kita hanya akan berfokus bagaimana agar pelayanan publiknya jujur saja, tapi tidak mengetahui bagaimana produk dari layanan publik tersebut. Akan lucu sekali, kita punya orang jujur tapi produk layanan kita tidak berkualitas. Kuantitas pun sangat terbatas. Tujuan bernegara tetap tidak akan tercapai.

Padahal, tujuan bernegara kita itu sangat sederhana, yakni: membentuk suatu pemerintahan yang melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia. 

Jika kita sudah memiliki 4 tujuan utama tersebut, hal apa yang selanjutnya yang bisa kita maksimalkan? Oh ternyata, untuk melindungi segenap bangsa, kita perlu pelayanan keamanan yang baik. Polisi yang mandiri, profesional, melayani dan bebas pungli. Oh ternyata, melindungi itu juga termasuk masalah pertahanan. Untuk itu, kita butuh TNI yang kuat, profesional, dan bermarwah. Peralatan alat utama sistem persenjataan harus mumpuni. 

Oh ternyata, melindungi segenap bangsa itu juga termasuk perihal ketahanan. Untuk itu, ketahanan pangan kita harus terjaga. Sembilan Bahan Pokok harus bisa terjangkau oleh masyarakat. Cadangan Sembilan Bahan Pokok harus pun harus cukup. Kita harus penuhi kebutuhan masyarakat manakala terjadi hal-hal darurat yang tidak kita inginkan. Bahan pokoknya terjamin, industri bahan pokoknya juga harus terjaga. Pertanian mendapatkan insentif yang cukup dari pemerintah. Petani jadi bergairah meningkatkan produksi. Teknologi pertanian harus dimodernisasi. Produktifitas yang meningkat bagaimana yang kita harapkan bila kita masih semangat meminta petani berproduksi tapi alatnya masih karapan sapi?

Selain ketahanan pangan, kita ternyata harus tahan ekonomi. Industri kita harus bebas saing, tidak ada monopoli pasar, ekonomi kita menfasilitasi usaha kecil dan menegah berkembang, melindungi konsumen dengan layak, atau bahkan ekonomi kita siap dengan gempuran-gempuran krisis. Untuk itu, kita harus punya protokol krisis, kita harus atur bagaimana perbankan bisa menambah-tumbuh ekonomi kita sebagai motor perekonomian, kita harus menjamin para pekerja mendapatkan hak-haknya, kita menjamin bagaimana kesehatan mereka akan terjaga melalui program-program jaminan kesehatan baik oleh pemberi kerja maupun insentif dari pemerintah. 

Ini belum termasuk ketahanan idelogi dan ketahanan politik kita. Kita punya pengalaman yang buruk dengan komunisme dan leninisme dimasa lalu. Kita perlu membendung kebangkitan mereka agar tidak ada kisah masa lalu yang terulang. Ideologi kita terjaga. Pancasila adalah ideologi terbuka. Memastikan orang-orang hidup dengan diilhami nilai-nilai Pancasila, kita berarti memastikan setiap orang itu harus beragama, beradab, bersatu sesama kita, berdemokrasi dan bertindak adil di masyarakat. Dengan terjaganya ideologi kita, kita bisa jaga stabilitas politik. Ketahanan politik kita juga akan terjaga, seperti tidak gonta-ganti presiden, tidak banyak politikus bermain muka di media, tidak ribut-ribut di parlemen, tidak nonton bokep disaat sidang parlemen, turun ke jalan tapi tidak ricuh, menjaga kebersihan, itu ketahanan politik.

Bagaimana mungkin kita bisa mewujudkan semua ketahanan tadi, bila kita hanya sampai pada level “saya menjadikan anti korupsi sebagai tujuan yang akan saya bawa ke parlemen nanti. Maka pilihlah saya”?

Kita punya banyak masalah yang harus kita selesaikan untuk memenuhi tujuan bernegara kita. Memajukan kesejahteraan umum saja misalnya, Maret 2017, kita masih punya 27,77 juta orang yang berada dibawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan kita baru Rp 374.478 per orang per bulan. Kira-kira Rp 12.482 per hari. Ini kurang dari USD 1 perhari. Sedangkan secara internasional tahun 2011 menurut World Bank, batas minimal nya adalah USD 1,9 atau sekitar setidak-tidaknya Rp 24.000 per orang per hari. Pada 2015 saja, jika kita kali dua batas garis kemiskinannya, menurut UNICEF, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 137.541.500 orang. Ada 137 juta orang lebih di Indonesia yang berpenghasilan dibawah 2 x Rp 354.386 per orang per bulan atau sekitar Rp 708.772 per orang per bulan. Ini 54% lebih dari jumlah penduduk Indonesia.

Laporan Unicef July 2017 SGD Baseline Report on Children In Indonesia

Ini masalah. Masalah ini belum termasuk jumlah pengangguran kita kini yang mencapai 7.01 juta orang. Sudah miskin dan hampir miskin 137 juta orang lebih, kita masih ada risiko 7,01 juta orang pengangguran. Yang kerja saja masih miskin, apalagi yang tidak bekerja?

Kesejahteraan ini bukan soal bekerja, miskin dan hampir miskin saja. Urusan kesehatan juga termasuk kesejahteraan. Kita baru memiliki 9.767 unit puskesmas tersebar di 34 propinsi di Indonesia. Pemerintah punya program 1 kecamatan, 1 puskesmas. Nyatanya, Kalimantan Utara, Papua dan Papua Barat belum mencapai rasio 1 tersebut. Kaltara baru 0,98, Papua 0,70, dan di paling bawah rasionya Papua Barat di 0,69. 

Bayangkan 1 puskesmas melayani dua kecamatan, ada dua masalah yang berisiko akan muncul disini. Masalah yang pertama, akses menuju kecamatan. Penduduk yang sakit akan membutuhkan waktu yang lebih lama mencapai puskesmas terdekat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Apalagi kalau kita ingat-ingat Kecamatan di wilayah Papua daerahnya luas-luas. Ini tentu akan merugikan bilamana sakit yang diderita membutuhkan penanganan yang segera. Masalah kedua adalah kualitas layanan kesehatan yang bisa diberikan Puskesmas. 
Miris sekali bilamana sudah puskesmas jauh, tapi ketika sampai, layanan juga tidak bagus. Ruginya dua kali.
 Ini masalah? Ya ini masalah!

Masalah-masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan “Saya anti korupsi, maka pilih saya!”. Kalau dengan anti korupsi saja semua masalah selesai, kita tidak perlu susah memikirkan pendidikan anak-anak kita terjamin dengan baik. Juli 2017 saja menurut laporan UNICEF, pada 2015 setidak-tidaknya 183.300 anak usia SD, 1,8 juta remaja usia SMP dan lebih dari 5 juta remaja Usia SMA yang putus sekolah. Anti korupsi saja tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah ini.

Pandangan yang Lebih Baik
Melihat spanduk-spanduk klaim atas citra diri tidak akan membantu banyak dalam pembangunan negara kita. Kita butuh orang yang visioner merencanakan pembangunan insfrastruktur kita. Kita butuh pejabat publik yang visioner melihat kebutuhan transportasi masyarakat kita. Kita butuh orang-orang yang bisa memastikan anak-anak kita mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak, pendidikan yang cukup, serta pangan yang menyehatkan. Ada lagi, kita butuh orang-orang yang bisa menjaga visi keamanan lingkungan serta pembangunan moral kaum muda maupun generasi tua.
Semua kebutuhan tersebut tidak akan bisa dipenuhi oleh satu slogan saja, “saya anti korupsi maka pilih saya”. 
Masalah negara ini jauh lebih kompleks daripada anti korupsi saja. Untuk membangun masyarakat yang lebih baik, pejabat publik yang lebih terbuka, anti korupsi harusnya bisa kita tegaskan sebagai usaha untuk menjadikan pengelolaan kebijakan kita menjadi akuntabel. Jadi kita memaksakan semua kegiatan harus akuntabel, tapi dengan sistem yang ada. Bukan menjadi anti korupsi sebagai acara tahunan atau bulanan atau jualan politik yang kita bahkan tidak tahu manfaat sebenarnya apa.

Menjadi politikus artinya kita bersiap-siap menjadi pejabat publik. Harusnya, kita berpikir bagaimana menerapkan prinsip akuntabel pada pengelolaan kebijakan publik kita ketimbang menjual klaim “saya anti korupsi, maka pilih saya”. Kita punya ide bagaimana memastikan kelemahan sistem kini agar semakin akuntabel, kita buat rancang bangun nya, kita presentasikan pada masyarakat. Jual ide rancang bangun akuntabilitas itu. Selain ide akuntabilitas, kita juga akan jualan ide pembangunannya. Ini jauh lebih baik! Sisi anti korupsinya dapat, sisi ide pembangunannya dapat. Intinya maksimalkan ide pembangunannya, anti korupsinya harus sudah melekat menjadi satu dengan mereka. Cara kita memastikannya bagaimana? Ya dari pengawasan dan akuntabilitas yang ditawarkan dalam rancang bangun ide pembangunnya.

Banyak politikus muda kita mengklaim mereka menjual ide yang cemerlang, segar dan kuat pada masyarakat. Kalau yang kita jual itu hanya ide anti korupsi, bahkan sejak zaman Soeharto, itu sudah jadi jualan banyak politikus. Itu bukan hal baru. Apa yang baru? Rancang bangun akuntabilitas nya! Apa yang baru? Ide pembangunannya. Kalau kita bisa memaksakan para politikus muda ini menawarkan ide pembangunan dengan memastikan akuntabilitas program nya untuk mencapai tujuan bernegara, kita punya masa depan yang bagus.

Ide pembangunan yang ditawarkan juga tak harus muluk-muluk. Yang jelas saja. Kita tawarkan misal fasiltas untuk digitalisasi UMKM, menfasilitasi UMKM melalui e-commerce. Potensi pasar ­e-commerce sangat besar. 2016 saja menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, pengguna internet di Indonesia mencapai 132,7 juta jiwa. Ini termasuk 82,2 juta pengguna yang memanfaatkan internet sebagai tempat belanja. 


Perlu kita ketahui bahwa 94,8 juta dari pengguna internet kita berusia antara 25-54 tahun. Ini adalah usia produktif kita. Mereka memiliki penghasilan sendiri, mereka ada yang kepala keluarga, dan mereka adalah pengakses internet. Menfasiltiasi UMKM dekat dengan internet bisa jadi membukakan pasar yang lebih besar bagi UMKM untuk berkembang. Caranya bisa melalui konsultasi bagaimana membuka toko di platform yang telah tersedia seperti tokopedia, bukalapak, dsb. UMKM ini ada orang-orang tua yang kurang melek internet, dengan sedikit bimbingan, saya pikir kita bisa bantu menuju UMKM pasar paripurna. Program ini juga tidak perlu menanti si politikus terpilih jadi anggota legislatif. Sekarang pun, perkumpulan 3-4 orang pemuda sudah bisa menfasilitasinya. Apalagi kalau jadi anggota legislatif yang bisa memaksa pemerintah menyiapkan kelas konsultasi?


Lalu bagaimana dengan rancang bangun akuntabilitasnya, misal, laporan pengelolaan dana semesteran, laporan capaian target UMKM yang sudah memasuki pasar e-commerce, jumlah transaksi UMKM melalui e-commerce, atau bahkan pajak yang terkumpul melalui transaksi e-commerce. Dengan informasi-informasi itu saja, setidak-tidaknya kita bisa memastikan bahwa apakah uang konsultasi yang kita sisihkan bagi konsultan UMKM tersebut sudah tepat sasaran. Kalau dananya besar tapi pertumbuhan omset UMKM tidak maksimal, kita bisa pertanyakan,”Diapakan uang tersebut?”

Ide pembangunan lainnya misal, ketersediaan hunian tempat tinggal. Kita memiliki bonus demografi dengan generasi milineal berjumlah lebih 80 juta orang. Mereka adalah konsumen atas hunian baru. Selain mereka, generasi X dan generasi baby boomer juga ada yang belum memiliki hunian. Bila kita tinjau dari jumlah rumah tangga yang sudah memiliki hunian, dari 68,21 juta rumah tangga pada tahun 2016, baru sekitar 91.09% rumah tangga yang memiliki hunian. Artinya setidak-tidaknya ada sekitar 6,138 juta rumah tangga yang belum memiliki rumah. Baik rumah milik sendiri, maupun rumah kontrak. Alasannya bisa karena masih bersama orang tua, bisa juga karena belum sanggup membeli hunian. Apa yang menyebabkan orang belum sanggup membeli hunian?


Pertama, harga hunian. Semakin tingginya permintaan atas hunian yang layak, ini akan meningkatkan harga hunian, baik di kota maupun desa. Di kota, hunian vertikal jadi solusi karena memang harga tanah sudah mahal. Tapi bila hunian vertikal juga diluar jangkauan masyarakat, bagaimana hendak membelinya?

Kedua, kuantitas hunian. Hunian yang ditawarkan semakin langka sehingga harga naik. Harusnya dengan semakin banyak hunian, harga terjangkau, kita bisa membantu masyarakat memiliki hunian pertamanya.

Beberapa program seperti 1 juta rumah sudah didengungkan pemerintah. Tapi apakah 1 juta rumah itu cukup untuk 6,138 juta rumah tangga yang belum memiliki hunian? Nah, kalau jadi politikus harusnya bisa menawarkan program 2 juta rumah murah, 3 juta rumah murah, dsb. Murahnya seberapa, ya disesuaikan dengan harga setempat dengan melakukan penyesuaian pada insentif yang diberikan pemerintah. Bisa melalui pengurangan PBB dan Bea Balik Nama, bisa melalui pinjaman lunak pada keluarga kurang mampu, bisa insentif terbuka berupa rumah sewa pada keluarga miskin. 

Akuntabilitasnya bisa kita rancang dengan menyusun dengan ketat syarat penerima bantuan, mengikat pelaksana anggaran dengan laporan-laporan pengelolaan dana semesteran, melakukan sidak-sidak pada lapangan, menetapkan syarat layak lingkungan untuk pembangunan hunian, dan hal-hal lain berupa pengawasan dan peraturan. 

Ide pembangunannya jelas, manfaat jelas, rancang bangun akuntabilitas kuat, pengawasan baik. Nah ini yang bisa kita sebut sebagai ide baru! Ini yang kita sebut ide yang segar. Jadi janji para politikus jelas dan terukur. Kita bisa lihat target angkanya, kita bisa pahami bagaimana cara menempuhnya, dan kita bisa pastikan bagaimana akuntabilitas program-programnya. Bukan seperti sekarang yang didominasi oleh janji kosong dan oase palsu. 

Katanya, kita kaum muda. Katanya, kita generasi pengubah. Katanya, kita pembeda. Kok yang berjanji dan klaim cara yang sama dengan generasi tua? Kapan berkembangnya kita?

Komentar

  1. wuih, alhamdulillah nggk sia2 baca artikelnya. lanjtutkan terus bang

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer