Instagraming

Masalah Kita Banyak, SARA bukan salah satunya, Melainkan Kita!




Ketika film Umar nge-hits beberapa tahun lalu,  saya sempat memikirkan ucapan Abu Bakar Ash-shiddiq tentang sabda nabi, “Al-aimmah min Quraisy”. Saat itu Umar, Abu Bakar dan kaum muhajirin mendatangi Kaum Anshor yang sedang berkumpul menentukan Khalifah penerus ajaran nabi. Pada forum itu pula, Abu Bakar di baiát oleh Umar bin Khattab dan kaum Muslimin menjadi Khalifah.

Ketika itu saya berpikir, jika Rasulullah bersabda demikian, bukankah ini artinya jika kita memilih pemimpin, kita harus pilih sesuai dengan SARA? Rasulullah seorang Quraisy, ia mengutamakan Quraisy dalam kepemimpinan. Ini wajar?

Terus saya coba melakukan riset untuk mengetahui lebih lanjut masalah ini. Sabda ini akan mengubah sikap saya bila saya memahami dengan cara yang berbeda. Ternyata, perihal ini, Syarat kaum Quraisy menjadi pemimpin/imam, sudah dibahas oleh ulama secara luas. Sebagian menjadikan “Quraisy” sebagai suatu syarat iníqad (legal). Tidak ada kepemimpinan kecuali dibawah tangan Quraisy. Sebagian lagi menempatkan Quraisy sebagai suatu nilai tambah (Afdl Aaliyah), bukan syarat legal. Boleh ada kepemimpinan selain dari Quraisy, namun bila disodorkan nama-nama calon pemimpin, maka nama dari Quraisy mendapat keutamaan untuk dipilih bila semua calonnya sama-sama baik.

Pendapat kedua adalah pendapat jumhur ulama. Pendapat kedua ini pula yang melegitimasi kekuasaan Kekhalifahan Turki Usmani yang jelas-jelas bukan keturunan Quraisy. Pendapat kedua ini pula yang menjadikan dasar para ulama menerima Khilafah dari Turki Usmani. 

Kalau kita Tarik sabda tersebut dengan kehidupan kita sehari-hari di Indonesia kini, apakah kita boleh memilih pemimpin dengan didasari kesamaan SARA? Apakah kita harus mendahulukan pemimpin yang memiliki kesamaan SARA dengan kita ketimbang yang lebih baik Ilmunya, lebih baik kepemimpinannya, lebih baik kepribadiannya serta lebih baik pengalamannya?

Jawaban yang paling dekat yang bisa kita ambil adalah:

Pertama, Tidak masalah memilih pemimpin dengan didasari oleh kesamaan SARA. Lagi pula, tidak ada juga aturan yang melarang memilih pemimpin atas kesamaan SARA. Toh bangsa ini terdiri dari golongan-golongan. Tentu, kita harus izinkan seseorang memilih atas dasar kesamaan Partai Politik. Kita juga tidak bisa larang seseorang untuk memilih pemimpin yang satu suku dengan dia. Satu partai saja tidak dilarang, satu suku juga tidak dilarang, satu asal daerah tidak dilarang, apalagi memilih satu agama?

Akan sedikit terasa asing bila di perkumpulan paguyuban Jawa diketuai oleh seorang Melayu, bukan? Akan sedikit susah dirasa juga, bila disuatu wilayah yang dominan Melayu Limo Koto dipimpin oleh orang Batak. Misal, kabupaten A mayoritas adalah orang Melayu Limo Koto, adat istiadat yang berlaku umum Melayu Limo Koto, norma-norma yang berlaku sehari-hari Melayu Limo Koto, mereka punya tokoh-tokoh yang mampu membangun masyarakat mereka, masa mereka dilarang memilih Calon dari Melayu Limo Koto dan harus memilih orang Batak, misalnya, kan? 


Pemimpin daerah toh harus yang paling dekat dengan masyarakatnya, bukan? Mereka harus yang paling tahu kebutuhan masyarakatnya, harus yang paling mengerti keinginan masyarakatnya, harus yang paling merasa suasana hati masyarakatnya. Setelah itu, para pemimpin itu akan bisa memberikan solusi paling tepat untuk masyarakat yang diurusinya.

Lah, orang batak kan ada yang jadi Budayawan Melayu. Oh itu benar. Kita kalau sudah setidak-tidaknya 5 tahun berada diwilayah tersebut, ya kita sudah bisa memakai asal dari daerah tersebut. Saya sudah di Banten 7 tahun, ya saya bisa pakai Al-Bantani. Apalagi melayu kan, orang yang belajar nilai-nilai melayu, berada di wilayah melayu, hidup dengan cara melayu, ya otomatis sudah menjadi orang melayu kecuali tidak mengakui dirinya sebagai seorang melayu, Meskipun ia punya hak untuk mengaku sebagai seorang melayu. 

Kedua, Lebih disarankan memilih pemimpin Yang Diterima oleh Banyak Pihak. Kita cenderung melihat kualitas seseorang dalam memecahkan masalah itu berbeda-beda. Ada yang punya pengetahuan yang baik, tapi tidak mampu mengelola konflik. Ada yang pandai mengelola konflik, namun tidak punya impian yang besar. Sebagian besar pemimpin bijak yang kita miliki secara tradisional memiliki kemampuan ini, bijak. Hanya saja, terbatasnya ilmu pengetahuan, informasi, interaksi sosial dengan masyarakat lain, menjadikan mimpi-mimpi mereka terbatas. 

Biasanya, pemimpin-pemimpin yang lahir secara tradisional ini bisa kita sebut sebagai society’s made Leader. Ia lahir dari norma, pengaruh, harapan serta kepercayaan masyarakatnya. Ia lahir dan tumbuh besar dengan masyarakatnya. Ia tidak berebut dan merebut kepercayaan itu. Kepercayaan tidak timbul dengan rebut-merebut, melainkan didapatkan dengan usaha dan tindakan. Bilamana ia rebut-merebut, ia sudah tentu tidak diberi kekuasaan itu.

Saya masih ingat betul ketika SD, kita menghindar semua ketika disuruh jadi ketua kelas. Lalu muncul satu orang yang mau jadi ketua, terus ada satu orang lagi yang jadi korban menjadi lawan si yang mencalonkan diri. Biasanya sih korbannya adalah anak paling dikenal dikelas, anak yang paling baik dikelas atau anak yang paling unik dikelas. Hampir sebagian besar siswa akan memilih yang tidak mencalonkan diri tersebut. Si yang mau jadi ketua kelas biasanya hanya jadi wakil ketua. 

Dalam islam juga demikian, Rasulullah pernah bersabda “Demi Allah kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau berambisi pada jabatan itu”. Hadits Bukhari Muslim. Walaupun kenyataannya yang paling bagus visi dan bekerjanya ya si wakil ketua. Si Ketua hanya jadi anak populer di mata anak kelas. Yang kerja si wakil, yang mendamaikan ya si ketua. 

Karena menjadi pemimpin ya demikian itu tugas dan fungsinya. Mendamaikan, memberikan keadilan. Sebagaimana Daud dalam Surat Shad ayat ke 22. “Wahai Daud, Kami jadikan engkau khalifah dimuka Bumi, maka berilah putusan dengan adil. Dan janganlah mengikuti hawa nafsu”. Mereka yang dikenal sebagai penengah dimasyarakat, yang menfasilitasi keadilan bagi mereka, merekalah yang harusnya menjadi pemimpin dimasyarakat. 

Bagaimana jika mereka menolak? Ya tidak masalah. Abu Bakar juga tidak langsung menerima untuk jadi Khalifah. Umar juga menghindar dan menolak baiát Abu Bakar sehingga Abu Bakar yang jadi Khalifah. Mereka hidup dan besar dalam dan oleh masyarakat, mereka menolak harus jadi pemimpin umat mereka. Merekalah yang pantas menjadi pemimpin. 

Sama, kita cari yang seperti ini untuk Riau kita. Mereka yang tumbuh dimasyarakat kita, mereka yang diterima baik oleh semua masyarakat kita.

Terus bagaimana posisi kita dalam memilih pemimpin yang berkualitas?

Perlu kita pahami bahwa masyarakat kita belum siap menerima orang-orang yang berkualitas dalam memimpin. Masyarakat kita belum sanggup untuk maju dan memilih orang terbaik menjadi pemimpin. SARA, kedekatan dan mistis masih menjadi dorongan utama masyarakat kita dalam memilih. Kita tidak bisa mengacuhkan hal ini. Kita masih seburuk itu. Kita masih setertinggal itu.

Yang perlu kita bangun sekarang adalah bagaimana orang yang SARA sama dan dekat itu berkualitas. Caranya? Kita tingkatkan indeks pembangunan manusia kita. Mulai dari pendidikannya, kesehatannya, dan standar hidupnya. 

Untuk menyiapkan putra daerah terbaik, kita harus yakinkan sekolah gratis 12 tahun dirasakan oleh semua pihak. Kini menurut BPS tahun 2017, secara nasional saja, walau sudah gratis, 5 dari 1000 anak SD putus sekolah. SMP yang putus sekolah 17 dari 1000 anak SMP. SMA 33 dari 1000 anak yang putus sekolah. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin banyak anak yang putus sekolah. Mayoritas, anak-anak tersebut tinggal di pedesaan. Dengan perbandingan putus sekolah anak kota : desa adalah 4:6 untuk SD, 12:23 untuk SMP, 26:43 untuk SMA. Untuk perguruan tinggi, perbandingannya lebih menyedihkan lagi 39:118. 

Secara nasional, rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun menurut data BPS 2017 adalah 8,5 tahun. Itu artinya, secara nasional anak-anak Indonesia dengan usia diatas 15 tahun hanya bersekolah sampai menamatkan kelas 2 SMP. 

Kira-kira, jenis putera daerah dengan kualitas yang seperti apa yang diharapkan dengan rata-rata sekolah hanya sampai kelas 2 SMP saja?
Satu-dua orang akan punya kualitas yang mumpuni. Mereka menyelesaikan pendidikan 12 tahun, dilanjutkan ke perguruan tinggi. Ini asumsi mereka sudah terdidik dengan baik dan kurikulum mendukung pendidikan mereka dengan baik ya. Masyarakat mereka adalah masyarakat yang baru 8,5 tahun sekolahnya. 

Walaupun mereka punya ide yang sangat cemerlang untuk ditawarkan, masyarakat mereka tidak siap menerima ide-ide mereka.

Maka dari itu, contoh kecil, Gojek hadir, demo taksi, angkot dan tukang ojek kadang diakhiri anarkis. Saya berada loh diantara perang batu di depan gedung DPR saat demo Gojek itu. Gojek adalah bentuk karya baru milineal yang memudahkan semua transaksi transportasi jarak dekat. Perubahan itu tidak siap diterima oleh masyarakat. Masyarakat bergejolak, bahkan Menteri ikut-ikutan gelisah dan resah. Itu karena kita tidak siap menerima orang-orang dengan ide yang terbaik yang lahir dari pendidikan yang terbaik.

Ujung-ujungnya, masyarakat kita hanya mendewakan orang-orang yang bisa memenangkan jabatan. Itu akan memberi rasa nyaman pada mereka. Apalagi kalau yang dipilih bisa mewakili kepentingan mereka. 
Yang mereka pilih, akhirnya, ya yang berjanji mengamankan mereka, yang berjanji melarang perkembangan teknologi hadir ditengah mereka, yang berjanji memberi mereka uang. itu masalah!

Jika pendidikan gagal memenuhi gairah perkembangan masyarakat kita, bagaimana kita hendak meningkatkan standar hidup kita? Masyarakat kita masih semangat sekali membuka kebun sawit tanpa sadar merusak lingkungan kita. Apa peduli kita dengan lingkungan kalau uang bisa masuk ke rekening kita dengan lancar, toh? Bakar saja hutan kita. Hemat biaya buka lahan. Bakar saja hutan perusahaan A, toh kita dibayar mereka. Tinggal bakar saja pun, bukan pula susah.

Kemudian akibat dari dosa-dosa yang kita lahirkan dari pendidikan yang gagal mendidik masyarakat kita itu, yang hanya 8,5 tahun itu, kita dihadapkan dengan asap, banjir, mati lampu, penyakit pernafasan, campak, demam berdarah, malaria dan tipes. Standar hidup kita menurun. Uang makan dipotong untuk uang berobat. Uang sekolah diambil untuk makan. Uang transpor dipakai untuk uang perbaikan rumah akibat kebanjiran. 

Kita menjadi miskin karena kesalahan kita sendiri! Kita menjadi susah karena kesalahan kita sendiri! Terus sebagai pembelaan, kita salahkan pemerintah pusat. Sebagai pengobat rindu, kita minta pemekaran kecamatan, kabupaten, dan propinsi. 

Kalau kita hanya berputar pada dosa-dosa ini, kita hanya akan menjadi miskin selama-lamanya.

Untuk itu, kita bisa memilih pemimpin dengan dasar SARA, tapi kita harus pastikan ia serius meningkatkan kualitas pendidikan kita. Kualitas saya bilang, bukan sekedar jumlah gedung yang bertambah, tapi kualitas gedungnya yang tidak hancur karena angin begitu saja. Kualitas yang saya maksud juga guru yang layak mengajar, perbandingan siswa per kelas dan jumlah guru mengajar, sarana teknologi sekolah, sarana prasarana menuju dan dari sekolah, fasilitas pengembangan ekstrakurikuler disekolah, perbaikan kurikulum yang membosankan dan tidak applicable serta peningkatan penghasilan pengajar.

Kita bisa pacu anak-anak kita melek teknologi, informasi, perkembangan zaman, sehingga mereka bisa membantu orang-orang tua kita berubah dan berkembang. Kita bisa selamatkan anak-anak kita dari narkoba ya Itu melalui pendidikan. Kini di 2017, persentase jumlah siswa yang mengakses internet dalam 3 bulan terkahir baru 52,38%. Jika Riau punya peserta didik 1,29 juta, setidak-tidaknya 615.9 ribu diantaranya belum mengakses internet. Jika pendidikan model ini kita pertahankan, kekayaan informasi apa yang bisa diperoleh oleh generasi muda kita? Ini tantangan kita. Selain memang, akses internet ya positif, bukan hal-hal porno.

Selain itu, Kita juga bisa memilih orang yang bijak diantara kita menjadi pemimpin namun kita harus pastikan visinya. Jangan sampai saking bijaknya, standar hidup kita tidak berkembang, kesehatan ya gitu-gitu saja. 

Kalau hanya untuk mempertahankan apa yang kita sudah dapatkan hari ini, ya tidak perlu orang tua jadi Gubernur. Anak SD juga bisa toh? 

Maka dari itu, silahkan pilih pemimpin berdasarkan SARA, Kedekatan, namun pastikan ia punya visi yang baik dalam hal pendidikan, kesehatan dan standar hidup

Kalau dia hanya menjanjikan uang buat kamu memilih dia, menjanjikan bantuan sosial, menjanjikan hadiah dsb, buang saja ke tong sampah. Kita tidak bisa meningkatkan kualitas hidup dengan bantuan sosial 300 ribu per orang per bulan. Makan saja itu tidak cukup. Biayanya mahal, tapi pemikiran kita tetap miskin. Kita bisa meningkatkan standar hidup kita dengan BBM yang disubsidi pemda. Biayanya mahal, uang dipakai sia-sia. Tapi tidak meningkatkan standar hidup juga.

Kita juga akan tetap galau kesehatannya, puskesmas saja jauh dari satu tempat ke tempat lainnya. Rasio puskemas perkecamatan di Riau 1,31. 3 kecamatan 4 puskesmas. Total puskesmas di Riau 213 Puskesmas, 79 nya memiliki fasilitas rawat inap, 134 lainnya non rawat inap. Dari semua puskesmas di Riau itu, hanya 28 puskesmas pada tahun 2016 yang dianggap memberikan layanan sesuai standar di Indonesia. Sisanya? Ini yang bikin galau kita-kita.

8,02% diantara 213 puskesmas terdata kekurangan dokter, walau 65,57% lainnya “terdata kelebihan dokter”. Ini artinya, Puskesmas ada, tapi dokternya entah kemana. Puskesmas ada, tapi atrian jaminan kesehatannya bikin orang meninggal saat menantinya. Puskesmas ada, tapi peralatan ada dan tiada. Hanya 28 dari 213 puskesmas yang sesuai standar yang melapor pada 2016. Itu pun hanya di 5 kabupaten saja. Lalu kemana saja 185 puskesmas lainnya? Berbuat apa saja kabupaten sisanya?

Kita juga tidak bisa memperbaiki semua masalah tadi hanya dengan janji dimekarkan menjadi kabupaten baru, kecamatan baru, propinsi baru. 

Kabupaten yang baru yang sejahtera hanya pejabat barunya, kontraktor yang bangun gedung barunya, serta pengusaha yang mensponsori yang bakal menang banyak tendernya. Masyarakatnya ya tetap saja miskin. Masyarakatnya ya tetap saja tidak diurus mereka.

Kemendagri bahkan menyebut 67% daerah hasil pemekaran gagal alias tidak sesuai harapan. (sumber). Pemekaran Propinsi secara garis besar bagus hasilnya (sumber). Namun, kabupaten? Apakah kita yakin bahwa pemekaran itu disiapkan untuk masyarakat kita atau kepentingan golongan semata? Mereka tak dapat jatah di daerah sekarang, terus panas-panasi masyarakat untuk dimekarkan?

Lantas bagaimana jika semua calon menawarkan itu semua dan tidak ada yang punya visi yang bagus?

Bertaubatlah, mohon ampun kepada Allah kenapa bencana diberikan kepadamu untuk kamu pilih dengan tanganmu sendiri. Bangun! Kawal! Terus pantau mereka. Jangan berhenti menyampaikan ide-ide pembangunan. Terus-terus aktif secara nyata dilapangan. 
Nyawa mungkin akan berhenti, tapi ide tidak akan pernah benar-benar mati. Ia akan diwariskan, ia akan digali kembali. 
Dengan tidak berhenti, setidak-tidaknya, kalaupun kita kalah nanti, masa depan mungkin akan menemukan ide besar kita kembali. Ide tentang bagaimana membangun pendidikan yang berkarakter dan baik. Ide tentang bagaimana meningkatkan standar hidup kita. Ide tentang bagaimana kita berusaha meningkatkan kesehatan kita semua. Saat para pejuang memahami ide-ide ini, generasi berganti, suatu masa nanti, negeri ini akan sejahtera dengan sendiri. Hanya saja, kini kita tidak boleh berhenti.

Komentar

Postingan Populer