Tahun Pilkada, Riau Juga Berpesta, Tapi Setelah Itu Kemana?
2018 adalah tahun politik bagi
masyarakat Riau. Isu kiri-kanan, kabar burung sana-sini, bahkan janji-janji
calon yang maju pilkada sudah banyak ber-seliweran.
Ada banyak janji, ada yang saya suka, banyak yang tidak saya suka. Yang paling bikin
saya gregetan itu ada janji yang
mengatakan akan menurunkan harga BBM di Riau. “Saya Jadi Gubernur, BBM di Riau
akan turun lagi”. Itu tidak mudah.
Secara singkat, kini, BBM itu
setidaknya ada 3 jenis, yaitu: Jenis BBM tertentu (JBT), Jenis BBM Penugasan
(JBP) dan Jenis BBM Umum (JBU). JBT itu ada dua, solar dan minyak tanah. Formulasinya
ditentukan melalui cara fix subsidi. JBP
adalah BBM yang sudah dicampur dengan biofuel
yang disebarkan pada wilayah penugasan oleh badan usaha melalui penugasan oleh
badan pengatur. Harganya ditetapkan melalui harga dasar ditambah biaya
distribusi untuk badan usaha 2%. Dan JBU ya BBM umum yang kita pakai sekarang,
harga ditetapkan oleh pemerintah. Untuk yang mengikuti harga keekonomian,
diserahkan ke badan usaha untuk menghitung harganya namun merujuk dan
berpedoman pada formula dari pemerintah.
Jika ada 3 jenis BBM tersebut dan
saya jadi gubernur, BBM jenis apa yang bisa saya campuri urusannya untuk
diturunkan harganya? Jawaban cepat kita adalah semua jenis BBM dengan cara mensubsidi
dari Pemerintah daerah dari harga jual yang sudah ditetapkan oleh badan usaha
maupun pemerintah.
Itu jawaban cepat kita, namun tidak bijak.
Kalau kita rujuk data tahun 2016
(sumber)
dari BPH Migas, Riau menggunakan JBU 893.978,44 KL, JBKP 800,899 KL, dan JBT 622,743,66
KL. Lalu kira-kira Kita gunakan fix subsidi Rp 2000/liter saja disemua jenis
BBM tersebut. Setidak-tidaknya, kita membutuhkan Rp 4.6 Triliun untuk biaya
subsidi tersebut.
Perlu kita ingat, APBD Riau 2018 hanya
Rp 10,091 Triliun. Itu saja belanja tidak langsung sudah mencapai Rp5,7 triliun
lebih dengan rincian, Belanja Pegawai Rp2,3 triliun lebih, Belanja Hibah Rp1,3
triliun lebih, Belanja Bantuan Sosial Rp12 miliar lebih, Belanja Bagi Hasil
kepada Kabupaten/Kota Rp1,4 triliun lebih. Bila kita tambah belanja subsidi Rp 4.6
Triliun tadi, anggaran belanja dari tahun 2018 saja tidak mencukupi
“Ya sudah, kita turunkan ke
subsidi Rp 1000/liter. Itu hanya membebani kita Rp 2,3 Triliun”.
Well, itu bisa. Hanya saja, itu
artinya, kita baru hanya menurunkan harga Pertamax dari Rp 8600/liter ke Rp 7600/liter,
Pertamax Turbo dari Rp 9600/liter ke Rp 8600/liter, Solar dari Rp 5150/liter
ke Rp 4150/liter dan minyak tanah dari Rp 2500/liter ke Rp 1500/liter. Namun
kita sudah terbebani 23% dari total APBD kita. Terus, kita tidak membangun
fisik? Tidak bangun jalan? Tidak bangun rumah buat rakyat miskin? Tidak renovasi
gedung-gedung pemerintah yang mau rubuh? Tidak bayar listrik? Tidak ada jamkesda?
Tidak beli alat-alat kantor buat pelayanan? Lantas, buat apa jadi pemerintah
kalau tidak bisa melayani?
Propinsi Riau dalam Angka
Menjadi gubernur itu memang
kompetisi, tapi bukan berarti, kita bisa sembarangan. Kita tentu tidak boleh
sembarang bicara, menjanjikan yang tidak masuk akal, serta bermimpi tanpa punya
tujuan yang pasti. Riau bukan propinsi yang kecil, luas propinsi ini 87.023 km2
, atau sekitar 4,55% dari wilayah Indonesia. Kita tentu tidak ingin,
propinsi dengan 6,65 juta penduduk ini diperebutkan oleh calon-calon yang
kurang bijak dalam menentukan masa depan Riau.
Kalau kita sembarangan, 184,6
ribu orang yang mengganggur akan tetap sengsara. Itu data BPS bulan Agusutus
2017. 184,6 ribu orang menganggur atau sekitar 6,22% dari angkatan kerja
(sekitar 2,9 juta angkatan kerja) dengan TPT 7,43%. Propinsi ini juga masih memiliki 496,39 ribu
orang yang berada di bawah garis kemiskinan Rp 465. 181 per orang per bulan
atau sekitar 7,4% dari total penduduk. Termasuk 3 tertinggi bila kita
bandingkan satu pulau Sumatera. Jika kita asumsikan orang menganggur tersebut
miskin, setidak-tidaknya, ada lebih dari 311 ribu orang yang sudah bekerja tapi
masih dibawah garis kemiskinan. Yang bekerja saja masih dibawah garis
kemiskinan, apalagi tidak bekerja?
Masyarakat miskin ini
tersebar di Desa dan di Kota. Desa mendominasi jumlah masyarakat dibawah garis
kemiskinan ini, yakni 319,41 ribu orang di desa, 170,98 ribu di kota. Kita menantang
kehadiran propinsi di desa-desa di Riau. Riau kini memiliki 1.847 desa dengan
319,41 ribu orang miskin. Jika kita tidak berbuat sesuatu tentang ini, Riau
tidak akan kemana-mana. Jumlah ini baru orang-orang yang dibawah Rp 465.181.
Kita belum hitung jumlah orang yang berpendapatan dibawah USD 1,9 perhari
perorang atau sesuai garis batas minimal kemiskinan internasional dari Bank
Dunia, atau sekitar Rp 763.800. Jangan-jangan, hampir sebagian besar masyarakat
termasuk golongan miskin ini.
Di 2017, Indeks pembangunan manusia (IPM) kita sudah 71,20. Itu berada diatas rata-rata nasional. Hanya saja, kalah jauh dari DKI Jakarta 79,60 dan DIY 78,38. Bahkan tertinggal dibanding Kepulauan Riau yang kita mekarkan 73,99. Kenapa IPM begitu penting?
IPM menunjukkan tingkat
pembangunan dan keberhasilan suatu wilayah dalam, setidak-tidaknya, 3 dimensi. Dimensi
nya angka harapan hidup, pengetahuan dan standar hidup layak. Angka 71,20 tadi
menggambarkan, kita masih kalah dalam hal angka harapan hidup, lama sekolah
anak-anak dan tingkat pengetahuan serta standar kelayakan hidup di
propinsi-propinsi tersebut. Orang DKI lebih tinggi standar kelayakan hidup nya
ketimbang kita, padahal di DKI polusi sangat tinggi. Orang Kepri lebih bagus
pendidikannya, padahal Riau memiliki lebih banyak sekolah dan guru daripada
Kepulauan Riau. Padahal tahun 2017, Riau memiliki 3605 SD, 1105 SMP, 422 SMA,
dan 273 SMK, sedangkan Kepri hanya 904 SD, 331 SMP, 118 SMA dan 90 SMK. Ini
masalah? Ini tentu masalah!
Jawaban Untuk Riau
Propinsi ini hanya punya anggaran
Rp 10,091 triliun pada 2018 sedangkan masalah mendasar kita banyak sekali. Kita
patut sadar bahwa kita sudah tidak bisa bergantung pada bagi hasil produksi
minyak dan gas alam kita. Produksi di wilayah Riau hanya sekitar 360 ribu barel
per hari, dan terus turun. Pada 2013 produksi tahunan Barel Bagian Total
Lifting (BBTL) terdapat 126.556.611,67 barel, 2014 turun menjadi 119.433.077,73
barel, 2015 turun menjadi 111.064.878,01 barel. Kemudian 2016 turun lagi
menjadi 98.892.755,91 barel.
Kita juga sudah tidak bisa
pura-pura bahwa alam kita kaya sekali, semacam produksi CPO kita yang bagus
dengan merusak alam tentunya. Kita banyak penduduk miskin, kita riskan akan
kebakaran hutan, banjir, kecelakaan lalu lintas akibat lintasan yang tidak
baik, generasi muda yang putus sekolah dan narkoba, pendidikan kita yang biasa
saja, IPM kita yang dibawah propinsi yang kita mekarkan, pengangguran, dan
banyak lagi.
Kita sudah mulai harus
berpikir bagaimana memanfaatkan Dumai, Rokan Hilir, Inderagiri Hilir, Bengkalis
dan Siak untuk bisa Berjaya di Selat Melaka. Kita sudah harus berpikir
bagaimana menjadikan pesisir pantai kita menjadi pusat ekonomi kita, menjadi
pintu masuk barang ke seluruh Sumatera. Caranya? Perbaiki infrastruktur.
Perbaiki jalan. Perbaiki gudang-gudang peti kemas. Kita akan dapat imbal hasil
pajak dari itu.
Dumai memiliki prospek
yang bagus sebagai pintu impor untuk Sumatera. Terjadi peningkatan cukup tajam.
Tahun 2000 misalnya, volume impor melalui pelabuhan dumai baru 500 ribu ton.
2013 sudah 1,7 juta ton. Meningkat terus hingga 2,02 juta ton pada 2016. Itu
fasilitas masih biasa saja. Bayangkan, pelabuhan dumai kita perbaiki,
jalan-jalan dan akses menuju ke dan dari pelabuhan kita perbaiki, peluang kita
bisa meningkatkan volume ini sangat tinggi.
Ini mengingat Posisi Dumai sangat
dekat dengan saingan tetangganya Singapura dan Melaka. Setelah bongkar di
Dumai, tidak berapa lama bisa langsung ke Singapura atau ke Malaka. Kalaupun kita
coba bagi kluster, Pelabuhan Belawan bisa berperan untuk Sumatera bagian Utara,
Dumai Sumatera bagi tengah, Boom Baru untuk Sumatera Bagian Selatan. Porsi Riau
masih sangat besar sekali.
Untuk memanfaatkan posisi ini, selain
Dumai, Riau ternyata masih memiliki banyak pelabuhan lainnya yang siap untuk
mendukung kedigdayaan kita dipesisir timur Sumatera. Kita masih punya 13 pelabuhan
pengumpul, serta 33 pelabuhan umum lainnya. Ini hanya butuh keseriusan.
Pemerintah daerah serius memperbaiki jalan, memperbaiki fasilitas pendukung,
serta koordinasi antar instansi. Maka bagi hasil dari pajak-pajak bongkar muat
itu akan masuk ke rekening pemerintah daerah dengan lancarnya.
Memang, pertambangan
masih unggul dalam struktur ekonomi Riau yaitu 27,93%, menyusul bidang industri
24,63% dan pertanian 23,22%. Sedangkan perdagangan hanya 9,37%. Hanya saja kita
perlu ingat, Pertambangan dan Pertanian memiliki risiko yang berada diluar kontrol
propinsi. Harga pasar cenderung terpengaruh harga komoditi internasional.
Berbeda dengan industri, pemerintah bisa memberikan insentif dengan kemudahan
dalam berinvestasi, perizinan, dukungan promosi, serta menjadikan industri
sebagai pusat perhatian di daerah. Dengan meningkatnya bidang industri,
perkantoran baru tentu mulai muncul. Bidang konstruksi akan terpacu untuk
hadir. Jalan-jalan akan mulai diperbaiki, penghubung antar kabupaten akan semakin baik, Ini belum termasuk nantinya ada sekolah-sekolah baru yang menyiapkan
tenaga kerja yang berkualitas.
Banyak pegawai, banyak perusahaan, industri
berkembang, ini akan merangsang percepatan dan peningkatan kebutuhan
masyarakat. Perbankan akan mulai ramai, peluang kredit untuk modal akan semakin
tinggi, percepatan pertumbuhan akan semakin membuat percaya diri. Kita akan
dapat banyak keuntungan. Pertama, kita tidak perlu khawatir harga minyak naik
atau produksi lifting tidak sesuai target. Toh, harga bagi hasil bukan yang utama,
melainkan pajak dari industri. Kita juga tidak perlu menanti-nanti harga sawit
naik turun, toh, sawit kita hanya sebagai pelengkap industri kita. Industri
minyak makan misalnya. Tidak perlu yang bahan mentah, kita olah langsung. Kita
munculkan industrinya, bukan sekedar bahan mentahnya.
Dengan menjadi pusat ekonomi dan
berkah geografi berupa posisi kita ditengah-tengah Sumatera harusnya bisa kita
manfaatkan. Pemanfaatan lainnya bisa dengan mendandani Pekanbaru sebagai kota
transit yang ramah pendatang. Sebagai kota transit, kita butuh kembangkan
pusat-pusat hiburan baru, kita harus sediakan tempat-tempat rekreasi buatan
yang kalau orang beristirahat akan worthy
bagi mereka untuk singgah. Ini akan memacu kegiatan ekonomi melalui
perdagangan dan wisata. Kalau sekarang, Jangankan untuk singgah, jalan ke Danau Buatan
saja teruk habis.
Belum sampai ke tempat, nafas sudah lepas satu per satu. Belum pula macetnya.
Riau bisa menghubungkan antar daerah dengan jalan propinsi yang tidak hanya panjang saja, tapi kualitasnya baik. Jalan yang baik itu menjamin kemudahan transportasi dan kenyamanan pendatang di Riau. Kerusakan jalan mencapai 54,35% dari total jalan propinsi dan negara yang ada di Riau saat ini tentu tidak menarik untuk menjadikan Riau sebagai Kota Transit. Bagaimana hendak transit, untuk kesananya saja jalannya sudah mencekam. Itu tidak ramah pendatang jadinya.
Ramah pendatang maksudnya, kita
punya banyak tempat istirahat yang cozy.
Bukan cuma jalan. Bisa berupa pusat perbelanjaan, café-café, atau bahkan tempat tinggal yang
ramah bagi pendatang. Kalau untuk urusan wisata sejarah, Riau bisa menawarkan
banyak hal. Hanya memang, kita belum membungkus wisata-wisata tersebut dengan
baik. Bagaimana hendak dibungkus dengan baik, “nilai melayani” saja kita belum
paham? Nilai bagusnya fasilitas kita belum mengerti? Nilai menjaga kita tak
tahu-menahu? Kalau kita benar paham, Stadion Utama tidak akan jadi sarang mesum
itu sekarang. Sebesar-besarnya itu stadion, bukannya jadi tempat yang menarik
turis, ini malah jadi tempat mesum, ilalang, dan berantakan.
Ini semua akan menjadi PR bagi
Gubernur Baru kita. Seberapa baik visi Gubernur Riau berikutnya dalam
menentukan pertumbuhan ekonomi kita, lingkungan kita, fasilitas publik kita,
serta layanan masyarakat kita.
Kita sudah terlalu lama dibuat kecewa oleh gubernur-gubernur langganan penjara. Bisakah setidaknya kali ini, kita mendapat berkah gubernur yang membawa sejahtera?
Tidak perlu juga langsung
sejahtera. Setidaknya, Gubernur nya tahu ekonomi kita mau difokuskan kemana, Pembangunan
fasilitas apa yang perlu untuk kebutuhan rakyat, perbaikan layanan apa yang
bisa diberikan ke masyarakat, dan kemudahan berusaha apa yang bisa disajikan
pada pengusaha. Yang penting view nya jelas, visi nya terarah, bisa kita ukur,
terarah.
Jangan sampai, kita milih gubernur yang kita dapat hanya gubernur yang menjanjikan Pemekaran Kabupaten saja.
Itu anak bocah kelas 3 SD disuruh jadi Gubernur, bisa melakukan itu. Kalau
anak kelas 3 SD saja bisa, kenapa harus pilih dia jadi Gubernur?
Kita sudah dewasa, utamakan memilih dengan pengetahuan, bukan buwaian harapan.
Riau sudah mulai tua, kapan kita
maju nya kalau selalu disibukkan dengan Gubernur langganan penjara? Ada yang
tidak dipenjara, tapi ekonomi entah diarahkan kemana. Kan kita juga yang susah,
masyarakatnya. Mungkin perlu pula, para pemuda-pemuda Riau yang kini di negeri
mana-mana kembali ke daerah. Tidak penuh tidak apa-apa, tapi satu-dua waktu,
kembali memberikan pandangan untuk masa depan daerah yang membesarkan kita.
Kita merantau, untuk kembali, bukan? Kembali ke tempat ayah bunda membesarkan kita
Referensi:
1. Statistik Indonesia 2017, BPS
2. Laporan Perekonomian Indonesia 2017, BPS
3. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Agustus 2017, BPS
4. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi Januari 2018, BPS
5. Potret Pendidikan di Indonesia : Statistik Pendidikan 2017, BPS
6. Provinsi Riau dalam Angka 2017, BPS Riau
7. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2017, BPS Riau
8. Statistik Daerah Provinsi Riau 2017, BPS Riau
Komentar
Posting Komentar