Instagraming

Tanpa kritik, Pemerintah Tak Berkembang. Tanpa Kelembutan, Kritik Burukkan Keadaan




Zaman nabi, konsepsi negara Madinah belum dipatenkan sehingga kepemimpinan Islam berkembang dari tahun ke tahun dari dan oleh Umat Islam itu sendiri. Beberapa kebijakan pemimpin-pemimpin awal dalam kekhalifahan Islam menjadi sumber dalam pendirian negara itu sendiri. Dalam setiap jenjang pemerintahan, ada kritik dan polemik yang harus dihadapi.

Kritik paling awal yang dihadapi oleh kekhalifahan Islam adalah masalah pembayaran zakat. Abu Bakar Ash-Shiddiq kala itu memegang amanah sebagai khalifah pertama Umat Islam. Banyak kabilah yang enggan membayar zakat dan menyatakan bahwa zakat hanya kewajiban pada zaman Nabi. Abu Bakar pun mengirim pasukan untuk “men-taubat-kan” para pembangkang ini.

Kebijakan ini tentu mendapat kritik keras dari Umar bin Khattab dan para sahabat lainnya. Umar menyampaikan, "Bagaimana kita akan memerangi orang yang kata Rasulullah Sallallahu alaihi wasallam : Aku diperintah memerangi orang sampai mereka berkata: Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul-nya. Barang siapa berkata demikian darah dan hartanya terjamin, kecuali dengan alasan, dan masalahnya kembali kepada Allah.”

Para sahabat terpecah menjadi dua golongan. Pertama, yang menginginkan menyatukan kekuatan dengan para pembangkang zakat tersebut dan fokus menghadapi musuh bersama. Kedua, memerangi kabilah yang tidak mau membayar zakat.

Golongan pertama menjadi mayoritas dalam pertemuan-pertemuan tersebut. Abu Bakar berada di golongan Kedua. 

Ia berdiri bersama minoritas keyakinan sambil tanpa ragu Abu Bakar langsung menjawab Umar: "Demi Allah, aku akan memerangi siapa pun yang memisahkan Sholat dengan zakat. Zakat adalah harta. Dikatakan: "kecuali dengan alasan". 

Mungkin kala itu, Abu Bakar maksudnya sebagaimana Peristiwa yang pernah terjadi antara Rasulullah dengan delegasi Saqif yang datang dari Ta'if, bahwa mereka menyatakan bersedia masuk Islam dengan permintaan agar dibebaskan dari kewajiban sholat. Waktu itu Nabi Muhammad SAW menolak permintaan mereka dengan mengatakan:

"Tidak baik agama yang tidak disertai salat". Mungkin inilah yang dimaksudkan Abu Bakar mereka yang memisahkan sholat dan zakat. Zakat bagian dari tuntunan agama, sholat adalah tiang agama. Tidak terpisah keduanya, melainkan karena dengan alasan.

Dalam menyimpulkan pembicaraan itu, sumber-sumber menyebutkan bahwa Umar kemudian berkata: "Demi Allah, tiada lain yang harus kukatakan, semoga Allah melapangkan dada Abu Bakr dalam berperang. Aku tahu dia benar."

Kritik-kritik tersebut menjadi perbincangan yang hangat di tengah-tengah umat. Kala itu, umat masih gamang. Kita baru kehilangan pemimpin Nabawiyah dan diganti oleh pemimpin dari suku Quraisy yang satu suku dengan Nabi. Umat masih bingung, apa-apa kewajiban di zaman nabi apakah tetap harus dilaksanakan bila nabi telah tiada? Abu Bakar tampil sebagai pemimpin yang kuat dan penuh percaya diri.

Kritik-Kritik Kita Di Masa Lalu
Indonesia sebagai sebuah negara telah menjalani proses ini. Dalam menjalankan pemerintahan, kritik kepada pemerintah dilakukan secara bebas dan bertanggung jawab. Secara struktur formil, negara memiliki Legislatif yang memiliki fungsi utama “mengkritisi” kinerja eksekutif (pemerintah). Hanya saja, Masyarakat juga memiliki kebebasan untuk menyampaikan aspirasi tanpa terikat ruang dan waktu.

Gerakan masyarakat massif yang paling pertama pasca kemerdekaan adalah gerakan mahasiswa angkatan 1966 yang mengusung Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) sebagai visi perjuangannya. Selanjutnya, pergerakan inilah yang meruntuhkan kekuasaan Orde Lama dan diganti oleh nahkoda baru Orde Baru, Soeharto. 

Setelah itu, ada kejadian Malari (Lima Belas Januari). Kejadian ini terjadi pada tahun 1974 dalam menyambut kehadiran PM Jepang, Kakuei Tanaka. Demonstrasi besar-besaran ini diakhiri bentrok besar dan kericuhan besar. Sejumlah fasilitas publik terbakar habis. Mahasiswa mengejutkan aparat keamanaan pemerintah demi “mengkritisi” adanya indikasi penyelewangan program-program pemerintah oleh para pejabat dan aspirasi yang dibungkam oleh pemerintah orde baru.

Tidak lama setelah itu, gerakan reformasi 1997-1998 pun muncul. Kericuhan, korban nyawa, kerusakan fasilitas publik kembali terulang. Kritik masyarakat atas pemerintahan yang korup menjadi ledakan konflik yang berakibat terjadinya pelanggaran hak asasi manusia oleh aparat keamanan. 

Kritik-kritik yang berakhir ricuh tersebut lahir dari kritik-kritik kecil yang disisipi isu SARA. Reformasi 1998 misalnya, kritik pada pemerintahan yang korup disusupi oleh isu cina dan islam-kristen. Terjadi kericuhan yang teramat besar, pemerkosaan, pengrusakan, dan penjarahan. 

Kericuhan terjadi di toko-toko, kediaman etnis cina, dan itu tidak dilakukan oleh mahasiswa sama sekali. 

Kritik-Kritik Kita Kini
Kini kita sudah menikmati reformasi hampir 20 tahun. Ruang aspirasi publik kita sudah terbuka oleh Pak Habibie. Gus Dur pun sudah berinisiatif menghilangkan sentimen etnis dan agama. 

Puncaknya, ketika media sosial sedang booming zaman Pak SBY. Semua kritik, berita bohong dan keributan terjadi di dua dunia, dunia nyata dan kini dunia maya.
 Batas-batas kritik sudah tidak mengenal ruang dan waktu. Para pejabat kini sudah berada di media sosial. Para Pejabat kini sudah menggunakan media sosial. Saya masih ingat ketika menjelang Wisuda tahun 2013 lalu, dan wisuda kami ditunda karena Menteri Keuangan berhalangan hadir pada tanggal semula. Semua pengeluaran pribadi wisudawan tidak bisa ditarik kembali. 

Tiket pesawat sudah dibeli, kamar hotel sudah dibayar, down payment kendaraan sewa menuju dan dari tempat acara sudah dibayar. Tiba-tiba perhelatan wisuda ditunda. Untuk beberapa keluarga yang mapan, mereka bisa berdamai dengan kerugian penundaan acara tersebut. Ada lagi beberapa keluarga yang beruntung, seperti saya misalnya, keluarga saya belum membeli tiket pesawat, hotel maupun akomodasi apapun ketika itu. Hanya saja, tidak sedikit teman saya yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja, alih-alih mendapatkan harga promo dengan memesan lebih awal, semua pengeluaran akhirnya sia-sia. Ini menjadi beban yang lumayan berat kala itu.

Biaya wisudanya hanya Rp 800 ribu, tapi biaya akomodasi keluarga yang sudah keluar bisa saja mencapai Rp 4 jutaan. Ketika itu kita masih ingat sekali ada anjuran agar kita menjaga status media sosial kita mengenai “wisuda” ini. Lepas dari kawalan kita, ada satu anak mention Menteri Keuangan di twitter. Beliau bertanya “Äpakah penundaan wisuda kami karena sibuknya agenda beliau?”. Anak ini bertanya dengan literasi yang sangat sopan. Hanya saja, kebathinan ketika itu, dimana seorang mahasiswa yang “belum” lulus mention menteri nya bertanya apakah wisuda dia ditunda karena agenda si menteri, ini sangat high tense.
 
Puji Tuhan ketika itu, menteri langsung merespon twit tersebut dengan baik pula sambil berjanji akan hadir di wisuda yang telah kembali dijadwalkan. Anaknya bertanya dengan sopan, menterinya menjawab dengan layak. Namun, seantero akademika bergejolak. Semua pihak memastikan semoga Pak Menteri tidak tersinggung akan pertanyaan anak tadi. Sampai wisuda dilaksanakan, Pak Menteri hadir pada pelepasan kami sebagai wisudawan. Beliau menagih janji kami untuk bangsa ini, sembari beliau memenuhi janjinya untuk hadir melepas kami ke dunia nyata.

Kasus tersebut menggambarkan bahwa batas ruang sudah tidak ada lagi, batas waktu tidak terikat lagi. Mahasiswanya bisa menyampaikan kritik secara langsung pada menterinya. Menterinya bisa berkomunikasi langsung dengan mahasiswanya. Ini perkembangan yang luar biasa.

Tadi itu contoh positif.

Semakin kesini, kritik kita semakin bebas. Kritik kita sering kali berisi ujaran-ujaran kebencian dan berita-berita bohong dengan muatan politik yang jelas. Sering kali, yang dikritik tidak pula melakukan klarifikasi. Akhirnya, setiap isu yang muncul menjadi pemecah kerukunan. 


Jika 132,7 juta penduduk Indonesia menggunakan Internet dimana 129,2 juta diantaranya adalah pengakses media sosial, maka kritik yang salah ini punya kesempatan untuk menyentuh ke semua orang yang mengakses media sosial di Indonesia. Ini sangat rentan.

Maka dari ini, kita tidak jarang membaca cuitan politikus mengomentari politikus lainnya di Media Sosial. Dimensi kritik kini meluas. Voters kini mendapat informasi tidak melalui berita dari tv atau radio saja, melainkan media sosial berupa tulisan dan gambar. Menguasai media sosial, memiliki banyak akun kloningan dengan bala tentara siber, ini akan menguatkan kemenangan di media sosial.

Apalagi biasanya kritik yang hoax ini disebarkan 91.8% diantaranya memiliki muatan sosial politik. Bila kita tidak hati-hati menanggulanginya, ini bisa berakibat ledakan konflik kembali pada tahun-tahun mendatang. 

Toh, informasi salah, bila kita selalu ulang-ulang, itu akan menjadi kebenaran, bukan? 

Bagaimana Harusnya Kita Mengkritik
Esensi dari kritik sebenarnya adalah bagaimana kita bisa menjadikan kondisi yang ada menjadi lebih baik, konstruktif. 

Perubahan adalah sesuatu yang diinginkan dari kritik. Perubahan tidak mudah dilakukan, selalu ada tantangan yang menghalangi. Benturan kepentingan akan menyebabkan kondisi yang tidak stabil. Bilamana kritik menyebabkan kondisi instabilitas, apakah itu bisa dikatakan sebagai kritik yang baik? Bila kondisi menjadi lebih buruk karena kritik apakah itu menjadi maksud kegagalan proses kritik tersebut?

Kita harus lihat dimensi dari kritik tersebut. Kritik memiliki dimensi subjektifitas dan emansipatoris. Subjek adalah orang. Subjektifitas adalah pandangan yang bergantung pada informasi yang terima oleh seseorang. Ketika orang tersebut memiliki pandangan subjektif, ia punya dorongan untuk menyampaikan, melakukan dan menikmati keinginannya secara bebas. 

Jadi secara sederhana, dimensi kritik berkait erat dengan pandangan seseorang atas informasi yang ia miliki dan kebebasan ia memilih, melakukan, dan menikmati yang diyakininya. Salah satu saja dari dimensi kritik diciderai, orang akan menganggap pihak berkuasa melakukan tindakan represif.
Bila tindakan represif dilakukan, akan muncul sikap defensif. Sikap mempertahankan diri yang lebih kuat, akan merusak keseimbangan. Keseimbangan yang rusak, merusak pula tatanan sosial dan masyarakat. 

Contoh sederhananya, Arab Spring beberapa tahun lalu yang menjatuhkan Hosni Mobarak. Gelombang kritik yang kuat, tindakan represif aparat keamanan, melahirkan desakan politik yang mengubah alur politik Mesir. Hosni Mobarak jatuh. Rakyat menang. Padahal hari ini, pasca jatuhnya Hosni Mobarak, dan kudeta militer kembali kepada Presiden sipil pertama, Rakyat Mesir tidak lebih baik saat Hosni Mobarak berkuasa. Bahkan lebih menyedihkan. 

Bahkan tataran agama, kritik pada pemimpin disarankan untuk dipelankan. Rasulullah bahkan bersabda, “Barang siapa ingin menasihati seorang penguasa maka jangan ia tampakkan terang-terangan, akan tetapi hendaknya ia mengambil tangan penguasa tersebut dan menyendiri dengannya. Jika dengan itu, ia menerima (nasihat) darinya maka itulah (yang diinginkan, red.) dan jika tidak menerima maka ia (yang menasihati) telah melaksanakan kewajibannya.” (HR. Ahmad)

Kritik pemimpinnya, sampaikan kebenarannya, tapi perbaiki caranya. Allah berfirman “Pergilah kamu berdua kepada fir’aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas. Maka bicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat dan takut” (Thaha ayat 43-44).

Karena sesungguhnya kalimat-kalimat lembut itu akan menghiasinya. Bilamana ia dicabut, tidak berlembut lagi, ia tidak lain akan memperburuknya. 

Fir’aun saja harus dilemah-lembutkan, apalagi pemerintah yang sama-sama seetnis, seagama dan sebangsa?

Untuk menghadapi kritik ini, pemerintah bisa melakukan komunikasi pada subjektifitasnya. Wisudawan butuh menteri, maka menterinya hadir. Harga BBM butuh dipastikan, maka pemerintah siapkan formula yang memberikan win-win solution kepada semua pihak. Daya beli turun, maka pemerintah berikan dorongan dengan operasi pasar. Sehingga, apa-apa yang diinginkan, akan terwujud. 

Apabila masalah utamanya adalah berita hoax. Pemerintah harus pasok informasi yang benar pada orang-orang. Gunakan media sosial untuk menyampaikan program pemerintah hingga masuk ke rumah-rumah warga negaranya. Subjektifitas erat hubungan dengan informasi yang seseorang dapatkan, dengan sumber daya yang besar, pemerintah harusnya mampu menyampaikan informasi tersebut. Berdiam diri dan berharap ada yang membela di Medsos saja dari fans-fans garis keras tidak akan mengubah banyak hal.

Untuk itu, kita sebagai masyarakat harus benar-benar beradab dalam menyampaikan aspirasi. Esensi kritik adalah menjadi lebih baik. Jika kritik kita memperburuk keadaan, kita perlu sampaikan kepada pemimpin secara langsung dengan lembah lembut. Umar saja setelah mengkritik Abu Bakar terus mendukung Abu Bakar dalam perang. Apalagi kita kan? Keadaan yang buruk karena kritik kita tentu adalah dosa yang harus kita tanggung jawabkan diakhirat kelak.

Dan pada akhirnya, hal yang patut kita jaga adalah kritik yang benar, tidak hoax. Kritik kita membangun, tidak memperburuk keadaan. Kita tentu tidak ingin sejarah mencatat peristiwa malari terjadi kembali. Kita tentu tidak ingin ada jatuhan korban nyawa kembali. Maka dari itu, kita harus bangun dan tegap, kembali mulai memperbaiki diri dan tujuan kita menyampaikan kritik.

Karena tanpa kritik, pemimpin kita tidak akan berkembang. Tanpa kelembutan, kritik kita hanya akan memperburuk keadaan. Itu dosa yang akan kita tanggung untuk anak cucu kita nanti.


Komentar

Postingan Populer